Sepanjang kehidupan kita sebagai manusia, secara jujur harus diakui bahwa ada beragam pengalaman yang kita alami. Setiap orang pasti mendambakan kehidupan yang baik, bahagia, serta berlimpah dengan sukacita. Namun seringkali yang terjadi adalah kebalik dari apa yang kita harapkan. Kesedihan, dukacita, dan derita menjadi realitas yang tidak terhindarkan. Kedua jenis pengalaman tersebut menantang kita untuk bersikap dalam dialog dengan iman yang kita hidupi. Terkhusus dalam derita yang terjadi serta mengacak-acak seluruh keberadaan kita. Sungguh sulit rasanya untuk mendialogkannya dengan keberadaan Tuhan yang Maha Mengetahui.
Pergumulan serupa dilukiskan dengan baik dalam rentetan syair-syair indah di pasal 22. Dari ayat 1-2 kita mendapatkan gambaran atas persoalan yang disoroti pemazmur. Ayat tersebut melukiskan suatu jeritan penderitaan yang hebat. Jeritan itu menampilkan raungan, rintihan, dan erangan yang hebat, terlihat dari seruannya kepada Allah sebanyak dua kali. Hidupnya sekarang berada dalam suatu ketegangan antara kepercayaan kepada Allahnya, Bapanya yang Mahabaik dengan perasaan dilupakan atau ditinggalkan. Sudah berulang kali ia berseru kepada Tuhan, tetapi Allah tetap jauh dan tidak menjawabnya seolah-olah telah menolak serta membuang dia. Situasi tersebut semakin membuatnya tidak tenang, meskipun demikian pemazmur tidak meninggalkan Allah. Sebaliknya, ia datang kepada Allah dan berseru: “Allahku, Allahku.”
Penderitaan berat itu tidak menghalangi iman serta kepercayaan pemazmur kepada Allah. Ia memang merasa seperti ditinggalkan Allah, tetapi ia memilih untuk tetap percaya kepada-Nya. Sebagaimana diungkapkan dalam ayat berikut, “Kepada-Mu nenek moyang kami percaya; mereka percaya, dan Engkau meluputkan mereka.” Namun ia sadar bahwa pilihannya tersebut yang dilandaskan pada ingatan akan pertolongan Tuhan pada nenek moyangnya akan semakin membuatnya merasakan derita. Sebab pertolongan Tuhan belum kunjung tiba. Bahkan derita itu dilukiskannya seperti perasaan kehilangan martabat sebagai manusia. Ia bagaikan ulat saja dan harus menerima olok-olok orang lain yang menertawakan kepercayaannya kepada Tuhan (Ayub 8-9). Apakah ia berhenti untuk percaya pada-Nya? Rupanya tidak, ia sama sekali tidak berniat untuk memutuskan hubungan-Nya dengan Allah.
Sahabat Alkitab, bukankah apa yang disampaikan pada perikop hari ini juga terjadi dalam hidup kita? Seringkali kita berada dalam ketegangan antara derita dan kehendak yang kuat untuk tetap mempercayai-Nya. Firman Tuhan mengamini ketegangan tersebut serta membiarkan manusia untuk jujur pada apa yang dirasakannya. Pada akhirnya Ia mengundang kita untuk tetap menaruh kepercayaan kepada-Nya. Mungkin saat derita datang kita merasa sendiri dan jauh dari segala pertolongan, tetapi ingatlah bahwa Ia tidak pernah meninggalkan kita. Teruslah berharap pada Tuhan karena hanya dari Tuhan sajalah datang pertolongan.