Bayangkan seseorang yang tengah mendapat vonis mengidap kanker stadium lanjut. Kabar ini tidak hanya mengguncang keluarganya, tetapi juga memicu bisik-bisik di lingkungannya. Ada tetangga yang berkomentar lirih, “Kasihan, mungkin karena sering stres, kurang menjaga pola makan.” Ada yang dengan tega menuduh, “Hidupnya kurang dekat dengan Tuhan, makanya kena penyakit seperti itu.” Pada akhirnya, orang tersebut tidak hanya bergulat dengan sakit fisik, tetapi juga beban mental dari stigma yang menyertainya. Ia merasa sendirian, tak hanya di rumah sakit, tapi juga di tengah komunitas yang mestinya menjadi tempatnya berlindung.
Pengalaman seperti ini, yang melukai tubuh sekaligus relasi, sesungguhnya bukan fenomena baru. Mazmur 41 membawa kita melihat bagaimana pemazmur mengalami penderitaan serupa, sakit fisik yang diperparah oleh luka sosial, stigma, dan pengkhianatan dari orang-orang terdekat. Mazmur ini dimulai dengan deklarasi, “Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah!” (Mazmur 41:2). Ironisnya, pernyataan ini justru lahir dari pengalaman yang sebaliknya; pemazmur sedang terpuruk dalam sakit, tapi ia merasakan sepinya perhatian. Ia tidak sedang mengajarkan sebuah teori, melainkan bersaksi dari luka yang nyata.
Pemazmur sedang sakit, dan dalam penderitaannya, ia menyadari bahwa sakit jasmani seringkali menarik luka tambahan berupa prasangka sosial. Orang-orang di sekitarnya berbicara, “Kapan ia mati sehingga namanya lenyap?” (Mazmur 41:6), dan yang lebih menyakitkan, teman dekatnya, yang dahulu biasa makan bersama, kini telah berkhianat. Dalam situasi demikian, pemazmur tidak hanya memohon kesembuhan fisik, tetapi juga memohon agar Tuhan memulihkan kehormatannya di tengah komunitas yang memandangnya hina. Doa permohonan untuk disembuhkan dan pengakuan dosa yang dipanjatkan oleh pemazmur, bukanlah berarti bahwa ia mengakui dosa sebagai sebab penyakitnya, tetapi lebih sebagai seruan jujur dari jiwa yang merasa rapuh dan tertuduh. Doa ini menunjukkan bahwa pemazmur tidak sekadar ingin sembuh secara jasmani, melainkan juga ingin pulih dari trust issue, dari relasi sosial yang telah retak karena stigma. Sebuah permohonan akan pemulihan yang utuh, tubuh, jiwa, dan relasi.
Sahabat Alkitab, hingga hari ini, kita masih menjumpai pandangan sempit yang menghubungkan penderitaan fisik dengan dosa atau kurangnya iman. Beberapa orang memiliki kecenderungan menghakimi orang sakit. Mereka dianggap kurang menjaga hidupnya, atau paling tidak, kurang “beriman”. Padahal, tidak semua penderitaan adalah hasil dari kesalahan pribadi. Bahkan, ketika memang ada kesalahan, bukan itu yang patut didahulukan untuk dibicarakan di hadapan orang yang sedang menderita.
Setiap orang berhak untuk dipandang sebagai pribadi yang utuh, didengarkan tanpa penghakiman dan dirangkul dengan kasih yang tidak bersyarat. Itulah bentuk kasih yang memulihkan. Di zaman ini, di mana orang lebih mudah memberi komentar daripada mendengarkan, Mazmur 41 menantang kita untuk kembali menghidupi tugas dan panggilan iman yang dimulai dengan memperhatikan orang lemah. Kita diundang untuk tidak sekadar memberi bantuan, tetapi benar-benar memperhatikan mereka dengan kasih dan kepekaan. Memulihkan martabatnya, bukan hanya jasmaninya.