Di tengah dunia yang penuh gejolak, manusia kerap merasa rapuh. Krisis ekonomi, polarisasi politik, konflik sosial, hingga bencana alam membuat kita mudah kehilangan daya. Hidup terasa bagai bunga bakung di padang yang bisa layu kapan saja. Namun justru dalam kerapuhan itu sering kali lahir doa paling jujur dan pengharapan yang paling murni. Mazmur 60, yang sejak awal diberi catatan “menurut lagu Bunga Bakung”, mengundang kita untuk merenung, adakah iman yang justru mekar di tengah reruntuhan, sebagaimana bunga bakung yang tetap tumbuh di padang gersang?
Mazmur 60 lahir pada masa pahit, kemungkinan besar saat pengepungan Babel atas Yerusalem (589–587 SM). Saat itu, sekutu-sekutu Yehuda berkhianat, Mesir enggan menolong, dan kekuatan Babel dengan pasukan pemanahnya menebar teror. Kekalahan militer digambarkan begitu pahit, “Engkau telah memberi kami anggur yang memusingkan” (ayat 5). Seakan-akan Tuhan sendiri yang memberi cawan kepahitan itu. Namun, di balik kepahitan, terselip janji perlindungan, “Tetapi, kepada mereka yang takut kepada-Mu telah Kau beri tanda, supaya mereka melarikan diri dari panah” (ayat 6). Lalu suara Allah sendiri bergema, menegaskan bahwa Israel beserta tanah sekitarnya tetap berada di bawah kedaulatan-Nya. Mazmur ini, dengan demikian, mengandung ketegangan, di satu sisi bangsa merasa ditinggalkan, di sisi lain mereka yakin Allah tetap Raja atas sejarah. Mereka seperti bunga bakung, tampak rapuh, tapi berakar pada tanah yang dalam, sehingga bisa tetap tegak di tengah teriknya matahari. Dalam budaya Timur Dekat kuno, bakung sering melambangkan keindahan yang rapuh sekaligus kesetiaan dan keharuman. Mungkin mazmur ini dimaksudkan untuk dinyanyikan dengan melodi yang dikenal sebagai “Bunga Bakung”, sebuah simbol bahwa doa ini bukan sekadar keluhan getir, melainkan seruan yang mengandung harapan. Seperti bunga bakung yang tampak ringkih, iman Israel juga rapuh, tetapi tetap mekar dengan keindahan tersendiri di hadapan Allah.
Sahabat Alkitab, mazmur hari ini mengingatkan kita bahwa kehidupan orang beriman sering kali berada di antara luka dan harapan. Kita boleh merasa rapuh, bahkan goyah, tetapi justru di situ iman diuji. Seperti bunga bakung, kita dipanggil untuk tetap mekar meski tanah tempat kita tumbuh terasa kering dan retak. Maka dari itu, marilah kita senantiasa jujur dalam doa, bahkan keluh kesah kita; tetap menaruh harap kepada Allah meski situasi tampak gelap; dan melihat kerapuhan sebagai kekuatan, sebab keindahan iman justru lahir dari kesadaran akan ketidakberdayaan kita.