Dalam kehidupan modern, banyak orang hidup dalam tekanan, entah itu karena pekerjaan, kecemasan ekonomi, relasi yang retak, atau bahkan ancaman nyata dari orang-orang yang tidak menghendaki kebaikan kita. Dunia kita seperti tidak pernah kehabisan “anjing-anjing yang melolong” di malam hari: suara ancaman, intimidasi, berita buruk yang berulang, dan rasa takut yang memburu pikiran kita. Dalam situasi seperti itu, bagaimana kita dapat tetap tenang? Mazmur 59:9–18 memberikan gambaran yang tajam tentang pergumulan iman: sebuah doa di tengah ancaman maut, namun diakhiri dengan nyanyian syukur.
Mazmur 59 dikaitkan dengan peristiwa ketika Saul mengirim orang-orang untuk mengintai dan membunuh Daud (1 Samuel 19:11). Situasi itu penuh teror, Daud tidak hanya merasa dikepung, tetapi juga dikhianati. Ia melukiskan musuh-musuhnya seperti anjing yang melolong dan mengelilingi kota, menggambarkan situasi yang penuh ancaman, intimidasi, dan tidak mengenal belas kasihan. Namun, di tengah situasi yang mencekam itu, Daud mengalihkan fokusnya kepada Allah yang memberikan kekuatan, perlindungan, dan penuh kasih. Tiga hal tersebut penting, karena menggaris bawahi keyakinan iman yang mendasar bahwa pertahanan sejati bukanlah strategi militer atau politik semata, melainkan kehadiran Allah yang berdaulat. Pemazmur mengatakan bahwa ‘TUHAN menertawakan’ kesombongan musuh, sebagaimana juga diungkapkan dalam Mazmur 2, ketika Allah tertawa atas bangsa-bangsa yang melawan-Nya. Artinya, kuasa jahat boleh tampak besar, tetapi di hadapan Allah mereka hanyalah debu yang fana.
Doa Daud yang meminta agar musuhnya dipermalukan (ayat 12–14) sering dianggap keras bagi pembaca modern. Namun di dalam konteksnya, ini bukan sekadar dendam pribadi, melainkan permohonan agar keadilan Allah nyata dan umat tidak melupakan kasih setia-Nya. Pemazmur menyadari bahwa balas dendam pribadi tidak akan menghasilkan kebenaran; hanya intervensi Allah yang dapat melahirkan keadilan sejati. Menariknya, mazmur ini tidak ditutup dengan pekikan amarah, melainkan dengan nyanyian pujian, “Tetapi, aku mau menyanyikan kekuatan-Mu, pada waktu pagi aku mau bersorak-sorai karena kasih setia-Mu” (ayat 17). Inilah titik balik iman, meski ancaman belum hilang, hati pemazmur sudah dipenuhi keyakinan bahwa kasih setia Allah akan menopangnya.
Sahabat Alkitab, pemazmur mengajarkan kepada kita bahwa ketenangan sejati lahir bukan dari hilangnya masalah, tetapi dari kesadaran akan kehadiran Allah sebagai kekuatan dan perlindungan kita. Diperlukan keberanian untuk percaya, sekalipun semua situasi tampak menentang. Viktor Frankl, profesor neurologi dan psikiatri, menegaskan bahwa manusia dapat bertahan menghadapi penderitaan apa pun asalkan ia menemukan makna di dalamnya. Bagi pemazmur, makna itu terletak pada kasih setia Allah yang tidak berubah.
Dalam hidup kita hari ini, ‘anjing-anjing yang melolong’ itu mungkin berwujud krisis moral, ketidakadilan sosial, intimidasi politik, atau bahkan kecemasan batin. Namun, Mazmur 59 mengingatkan, bahwa kita bisa tetap tenang, bukan karena masalah lenyap, tetapi karena Allah menjadi benteng yang kokoh, kekuatan yang menopang, dan kasih setia yang tidak pernah gagal. Maka, marilah kita belajar dari pemazmur, menghadapi ancaman dengan doa yang jujur, menyerahkan keadilan kepada Allah, dan menutup hari dengan nyanyian syukur. Di situlah kita menemukan bahwa intervensi Allah bukan sekadar membalikkan keadaan, melainkan menghadirkan kekuatan batin untuk berjalan dengan tenang dalam lindungan kasih setia-Nya.