Marilah kita mengakui dengan jujur bahwa kadangkala ada sedikit terbersit rasa heran bahkan iri ketika melihat orang-orang yang nyatanya berlaku jahat, tetapi hidupnya seolah baik-baik saja. Mereka masih bisa tertawa, tidak pernah merasakan kelaparan, seperti tidak ada konsekuensi atas perbuatannya. Bagaimana kita harus bersikap di tengah realita tersebut?
Pada hari ini kita diajak untuk melihat cara pemazmur untuk menjawab situasi di atas dengan begitu manusiawi. Di awal syairnya ia menggugah kita dengan menyatakan bahwa ia hampir terpeleset dan tergelincir dari jalan yang ditempuhnya sebagai orang benar. Mengapa? Dengan jujur ia mengakui bahwa ada kecemburuan kepada para pembual serta kemakmuran yang ada pada orang-orang fasik (ay. 3). Lebih lanjut lagi, ia mengungkapkan realita yang sepertinya kurang adil. Mereka tidak pernah ditimpa kesakitan, tidak mengalami kesusahan, dst.
Maka menurut pemazmur, wajar saja jika mereka begitu congkak (ay.6). Tidak lagi disembunyikannya segala perbuatan curang dan jahat itu. Semuanya dilakukan secara terang-terangan. Dengan sesumbar orang-orang fasik itu berkata, “Bagaimana Allah tahu hal itu, adakah pengetahuan pada Yang Maha Tinggi?” Bacaan kita hari ini dengan kalimat yang sepertinya menjadi konklusi sementara sang pemazmur yakni orang fasik seolah hidup tanpa beban dan menumpuk harta kekayaan.
Apa yang disajikan dalam Mazmur 73:1-12 merupakan sebuah undangan untuk jujur terhadap perasaan kita sendiri. Beriman kepada Allah bukan berarti menafikan segala emosi serta pertanyaan kepada-Nya. Justru di saat hal-hal tersebut terdapat dalam hati kita maka Allah mengundang kita untuk mengungkapkannya dengan jujur. Membuka ruang kepada tindakan menipu hati dan perasaan berarti membuka jalan kepada terkikisnya iman kepada-Nya. Dalam teks yang kita baca jeritan hati yang diungkapkan adalah hasil dari pengamatan atas realitas, mengapa sepertinya orang fasik tetap baik-baik saja. Pemaazmur tahu betul bahwa pada akhirnya Allah akan menghargai kejujurannya.