Zaman modern ini orang-orang mendambakan keamanan serta ketentraman batin. Mereka mencarinya kemana-mana. Mulai dari disiplin-disiplin spiritualitas timur yang berpadu dengan paham self improvement, sampai kepada populernya kembali tradisi filsafat stoik karena dirasa bisa menjadi jawaban keresahan dunia modern. Rupanya dambaan akan ketenangan jiwa dan ketentraman batin itu menjadi hasrat yang menggerakkan seluruh arah gerak hidup kita.
Pada pasal 91, pemazmur juga berbicara tentang keresahan yang serupa. Ia berbicara bukan tentang keamanan yang lahir dari sistem atau kekuatan manusia, melainkan tentang ketenangan batin yang terbentuk dari kepercayaan kepada Allah. “Orang yang duduk dalam lindungan Yang Maha Tinggi akan bermalam dalam naungan Yang Maha Kuasa” (ay. 1), bukan sekadar berlindung dari bahaya, tetapi berdiam dalam relasi iman. Berdiam dalam ruang aman yang tidak ditentukan oleh situasi luar, melainkan oleh kedalaman hubungan dengan Allah. Pemahaman ini muncul dari konteks krisis, mungkin ketika umat merasa dikepung oleh bahaya, baik secara fisik maupun spiritual.
Mazmur ini menunjukkan tiga nada: seorang penyaksi yang berbicara tentang perlindungan Allah (ay. 1–2), serangkaian jaminan tentang kuasa Allah yang menyelamatkan dari bahaya (ay. 3–13), dan akhirnya firman Allah sendiri yang meneguhkan janji-Nya (ay. 14–16). Pergantian nada dan peran ini menandai transformasi dari pengalaman ketakutan menuju kepastian iman. Iman di sini bukanlah penyangkalan terhadap ancaman, tetapi keberanian untuk tetap percaya di tengah realitas yang menakutkan. Di bawah bayang sayap Allah, pemazmur menemukan bahasa baru tentang keamanan. Bukan ketiadaan bahaya, tetapi kehadiran kasih yang melingkupi.
Sahabat Alkitab pada hari ini kita belajar untuk menemukan ketentraman batin justru dari berbagai tantangan dan pergumulan kehidupan yang menyelimuti kita. Pada saatnya diperhadapkan serangkaian pergumulan, kita mungkin merasa takut. Sadarilah bahwa rasa takut adalah emosi mendasar yang muncul ketika manusia menyadari keterbatasannya. Namun iman mengubah orientasi rasa takut: bukan lagi melawan, melainkan berserah. Ketika pemazmur menggambarkan Allah sebagai tempat berlindung, kubu pertahanan, dan sayap pelindung, ia sebenarnya sedang menata ulang kesadarannya. Dari reaksi defensif menjadi kesadaran relasional. Iman menghadirkan “ruang aman batin” (inner sanctuary) tempat jiwa manusia dapat bernafas, meski di luar badai belum reda. Dalam ruang itu, rasa takut tidak lenyap, tetapi dijinakkan oleh kasih yang lebih besar.
























