Bayangkan sebuah orkestra tanpa konduktor, setiap alat memainkan nadanya sendiri, sehingga menghasilkan kebisingan, bukan harmoni. Begitulah dunia ketika manusia melupakan Penciptanya. Alam menderita karena keserakahan, relasi manusia retak oleh kuasa dan ego, dan spiritualitas kehilangan arah. Mazmur 96 hadir seperti nada pembuka dalam simfoni baru: “Nyanyikanlah bagi TUHAN nyanyian baru” (ayat 1). Ini bukan sekadar ajakan liturgis, melainkan seruan kosmis. Panggilan bagi manusia untuk kembali menyelaraskan hidupnya dengan irama Ilahi yang telah ada sejak semula. Dalam konteks kehidupan masa kini, mazmur ini menuntun kita menemukan harmoni antara iman, kemanusiaan, dan semesta.
Secara tekstual, Mazmur 96 tersusun sebagai tiga lapisan ajakan untuk memuji, yaitu: kepada umat (ayat 1-6), kepada segala bangsa (ayat 7-8), dan akhirnya kepada seluruh ciptaan (ayat 9-13). Pola ini menunjukkan gerak spiral dari kesadaran personal menuju kesadaran kosmis. Ayat 1-6 memanggil umat untuk bernyanyi dan mengabarkan karya keselamatan-Nya dari hari ke hari. Dalam teks Ibrani, בָּשַׂר–basar (memberitakan) bermakna membawa kabar baik atau kabar kemenangan. Maka, nyanyian baru bukanlah sekadar lagu baru, melainkan kesadaran baru, bahwa penyelamatan Allah terus berlangsung di tengah sejarah manusia. Di sini pujian menjadi perjumpaan yang autentik antara manusia dan Allah, di mana keberadaan manusia menemukan maknanya dalam relasi, bukan dominasi.
Bagian kedua (ayat 7-8) memperluas undangan itu kepada semua bangsa. Tuhan dinyatakan sebagai Raja yang adil, bukan hanya bagi Israel, tetapi bagi seluruh dunia. Dalam dunia modern yang diwarnai fanatisme dan eksklusivitas, pesan ini terasa profetik: kehadiran Allah melampaui sekat agama dan kebudayaan. Ia adalah Raja yang menata kekacauan, bukan dengan kekuatan politik, tetapi melalui keadilan dan kasih. Hal ini menggemakan ide cosmopolitanism, yaitu kesadaran bahwa seluruh umat manusia berbagi tanggung jawab moral dalam satu rumah besar: dunia ini. Maka, bernyanyi bagi Tuhan berarti turut merawat keadilan, kemanusiaan, dan kelestarian bumi yang adalah milik-Nya.
Akhirnya, pada bagian penutup (ayat 9-13) menghadirkan puncak simfoni: langit bersukacita, bumi bersorak, laut bergemuruh, dan pohon-pohon bersorak-sorai di hadapan Tuhan yang datang menghakimi bumi dengan keadilan. Di sini, pujian melampaui suara manusia dan menjadi resonansi semesta. Seluruh ciptaan turut berpartisipasi dalam liturgi kosmis yang merayakan keadilan Ilahi. Mazmur ini mengajarkan bahwa pujian sejati bukan hanya ekspresi rohani, tetapi juga etika ekologis, cara hidup yang menjaga keseimbangan ciptaan. Dalam bahasa filsafat fenomenologis, ini adalah kesadaran akan being-with-the-world—hidup dalam keselarasan dengan seluruh realitas. Maka, ketika kita memuji, kita dipanggil bukan hanya untuk bernyanyi, tetapi untuk menjadi harmoni itu sendiri: hidup yang memantulkan keindahan dan keadilan Sang Pencipta dalam setiap relasi, tindakan, dan napas kehidupan.























