Kita hidup pada zaman ketika batas antara benar dan salah semakin kabur. Baru-baru ini sebuah media massa menyoroti fenomena post-truth, yaitu ketika emosi dan opini pribadi lebih menentukan persepsi publik daripada fakta. Benar dan salah tidak lagi ditimbang berdasarkan kebenaran objektif, melainkan pada seberapa kuat suatu narasi viral dan diterima banyak orang. Dalam situasi demikian, manusia seolah berjalan dalam kegelapan: berusaha menafsirkan hidup berdasarkan intuisi sesaat atau mengikuti arus opini yang paling ramai, namun justru kehilangan orientasi batin yang sejati.
Di tengah keadaan seperti itu, suara pemazmur muncul bagaikan cahaya yang menembus kabut: “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mazmur 119:105). Pemazmur menegaskan bahwa firman Allah adalah terang yang membimbing langkah manusia, sebagaimana Daud pernah bersaksi, “Engkaulah pelitaku, ya TUHAN, dan TUHAN menyinari kegelapanku” (2 Samuel 22:29). Melalui perenungan firman Tuhan, manusia dituntun untuk membedakan suara Allah dari suara keinginannya sendiri, dan ditempatkan dalam mata rantai iman umat percaya lintas generasi, sebuah tradisi hidup yang menuntun, bukan membelenggu.
Selanjutnya, dalam ayat 113–120, pemazmur menunjukkan bagaimana firman itu bekerja dalam kehidupan nyata: ia menolak hati yang bimbang, menolak hidup di antara terang dan gelap, antara kehendak Allah dan kompromi moral. Namun ia juga tidak jatuh pada kesombongan rohani. Ia berdiri di hadapan Allah dan gemetar, sadar bahwa Allah adalah Sahabat sekaligus Hakim. Kesadaran itu memurnikan langkahnya dan menjaga integritasnya. Ia menjadi saksi bahwa iman sejati lahir ketika manusia berani hadir sepenuhnya di hadapan Allah, bukan larut dalam arus opini massa. Firman menjadi pelita bagi langkahnya yang terjal dan berbatu.
Sahabat Alkitab, renungan hari ini mengundang kita bertanya secara jujur, “Apakah kita sungguh berjalan dalam terang firman-Nya, atau justru diam-diam dipandu oleh keinginan manusiawi dan tekanan zaman?” Di tengah segala suara yang berlomba untuk menempatkan dirinya sebagai kebenaran, kita perlu meneduhkan hati serta memfokuskan diri pada kebenaran sejati yang bersumber dari firman-Nya. Kebenaran itulah yang menjadi penuntun orang percaya di sepanjang segala zaman.
























