Dalam memandang segala sesuatu sebagai murid Tuhan, sesungguhnya kita diajarkan untuk mampu melihat esensi dibalik segala situasi yang mungkin kita hadapi dalam hidup keseharian.
Prinsip serupa mencoba untuk diajarkan-Nya saat dicobai mengenai perceraian. Orang-orang farisi mengajukan pertanyaan tentang perceraian, Menanggapi pertanyaan tersebut, Yesus memberi penjelasan mengenai hukum Musa tentang perceraian dan Ia menegaskan bahwa sejak awal manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan, kemudian laki-laki meninggalkan ayah dan ibu mereka untuk bersatu sebagai suami istri. Memang dari hukum tersebut diizinkan seorang laki-laki menceraikan istrinya, namun ada beberapa prosedur yang wajib dilakukan oleh pihak suami. Kaum Farisi tidak memperhatikan sisi kewajiban tersebut, mereka membaca hukum tersebut sebagai kelonggaran yang diberikan kepada laki-laki. Tapi Tuhan Yesus terus mengingatkan tentang perintah musa yang mewajibkan laki-laki untuk memberikan surat cerai yang resmi kepada istrinya. Tuhan Yesus memahami hukum Musa dari perspektif perlindungan bagi yang lemah ketika laki-laki bersikeras tidak menaati kehendak Allah mengenai kesatuan perkawinan yang sudah ditetapkan.
Tuhan Yesus mengkritisi pandangan berat sebelah yang diterapkan oleh orang-orang farisi kebanyakan. Menurutnya tidak hanya suami yang berhak menuntut kesetiaan dari istrinya, namun istri juga berhak menuntut kesetiaan dari suaminya. Baginya suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang sama. Saat dunia pada masa itu memandang perempuan dengan sebelah mata, justru Tuhan Yesus ingin memberikan perlindungan pada kaum perempuan agar orang-orang tidak serta merta boleh mendiskriminasikan mereka.
Jadi prinsip keadilan dan kasih sayang lah yang dikedepankan oleh Tuhan. Maka hendaknya kita-pun dalam mengedepankan dua hal tersebut saat kita menghadapi berbagai persoalan pelik yang hadir dalam kehidupan kita. Lihat dan nilailah segala sesuatu dengan jernih seturut dengan hikmat-Nya.