Tersandung ketika sedang berjalan merupakan pengalaman yang tidak mengenakkan. Sampai-sampai dalam Alkitab terdapat istilah “batu sandungan”, untuk menggambarkan sikap atau pribadi yang menjegal atau menghalangi orang lain.
Himbauan untuk tidak menjadi batu sandungan ini disampaikan Tuhan Yesus dengan amat keras dan ditujukan bagi segilintir orang dalam jemaat yang terpandang tetapi memiliki perilaku yang buruk. Sampai-sampai dalam ungkapan yang sangat keras, Tuhan menyatakan bahwa Ia yang menjadi batu sandungan tersebut lebih baik mati sebelum hal itu terjadi. Sandungan disini menyangkut situasi yang dapat berakibat fatal, seperti pemurtadan.
Perilaku tersebut menjadi pemantik penyesatan dari mereka yang “kecil”. Kata satu dari yang kecil disini bukan menyangkut anak kecil secara usia, melainkan mengarah pada orang-orang sederhana dalam jemaat yang mudah digoyahkan imannya.
Sebagai catatan, di luar Yahudi pada saat itu, terdapat praktek hukuman serupa, yaitu menenggelamkan penjahat besar (yang biasa melakukan penyesatan) kedalam laut dengan mengikatkan batu pada leher penjahat tersebut. Peringatan yang disampaikan oleh Tuhan Yesus ini tidak berarti harafiah, melainkan ajakan kepada para murid untuk melakukan tindakan radikal, yaitu mencabut kebiasaan yang dapat membawa dalam dosa.Lebih baik menderita sedikit namun dapat masuk dalam kerajaan Allah, daripada tidak menghilangkan kebiasaan buruk yang akan membawa mereka pada kebinasaan kekal.
Sebagai bagian dari jemaat/komunitas iman, kita diingatkan bahwa upaya kita dalam beribadah dan berelasi dengan Tuhan juga terkait dengan orang di sekitar kita. Berhati-hati dalam berpikir dan bertindak agar sikap kita tidak menjadi batu sandungan bagi yang lainnya melainkan menjadi berkat bagi sesama.