Kematian Yesus membuat semua murid tercerai-berai. Mereka lari bersembunyi karena takut. Sejak penangkapan Yesus malam itu di taman Getsemani, para murid tidak lagi berani muncul di tengah-tengah keramaian, terkecuali Petrus, Yohanes, dan beberapa murid lainnya di luar dari sebelas murid yang selalu dekat dengan Yesus. Bahkan setelah kematian Yesus di kayu salib, tidak ada satupun dari ke sebelas murid itu yang berinisiatif dan memberanikan diri untuk menurunkan mayat Yesus, tidak juga Petrus murid pemberani itu. Ketakutan, kesedihan, dan putus asa telah begitu menguasai hati para rasul.
Saat itu hari persiapan akan segera berakhir dan berganti dengan hari Sabat (Sabat Yahudi berlangsung mulai hari Jumat saat matahari terbenam sampai hari Sabtu juga pada saat matahari terbenam), salah seorang dari murid Yesus yang lain bernama Yusuf, dari Arimatea, seorang kaya, baik hati dan benar, juga sekaligus anggota Mahkama Agama, meminta kepada Pilatus agar ia dapat menurunkan mayat Yesus dan menguburkannya.
Dalam keheningan, Yusuf dari Arimatea berkarya karena kasih dan penghormatannya kepada Yesus. Karya Yusuf ini mengingatkan kita akan seorang Samaria yang murah hati. Demi memuliakan kematian Kristus dan memberi-Nya kuburan yang layak, Yusuf menurunkan mayat Yesus, membeli kain lenan untuk mengafani Yesus, membeli kubur baru yang sama sekali belum pernah dipakai untuk memakamkan orang. Yusuf tidak sendiri, Ada Nikodemus, juga salah seorang pemimpin agama Yahudi dari golongan Farisi. Nikodemus meminyaki mayat Yesus dengan campuran minyak mur dengan minyak gaharu yang harus dan mahal, lebih dari delapan liter banyaknya. Tidak mencari pujian, justru apa yang dilakukan oleh Yusuf dan Nikodemus beresiko tinggi bagi nama baik, jabatan, dan hidup mereka.
Yusuf dan Nikodemus adalah antithesis dari kesunyian di Sabat itu. Sunyi karena ketakutan yang menusuk relung jiwa, sunyi karena kehilangan harapan, sunyi karena kesedihan yang mengeringkan tulang, sunyi karena tidak tahu harus berbuat apa. Yusuf dan Nikodemus, tidak kurang takutnya dan tidak kurang rasa kehilangannya atas kematian Kristus Yesus yang Pribadi dan ajaran-Nya sangat mereka kagumi, tetapi mereka memilih untuk berkarya di tengah kesunyian itu, memuliakan Tuhan dan Allah mereka, sambil menunggu kebangkitan-Nya.