Iman merupakan sesuatu yang mudah untuk diucapkan tapi selalu jauh lebih sulit untuk diupayakan. Apakah anda setuju dengan kalimat barusan? Setiap orang tentu memiliki pengalaman dan pemahamannya masing-masing terkait arti dari ‘hidup beriman’. Meski demikian, tetap tidak dapat ditampik bahwa kondisi hidup yang tidak mudah untuk dihadapi selalu memberikan tantangan tersendiri dalam menjalani hidup beriman. Hal ini termasuk segala peristiwa atau situasi hidup yang ‘memaksa’ kita untuk mengesampingkan iman dari perhatian utama. Hal ini pula yang muncul pada Kis 4:15-22.
Firman Tuhan pada hari telah mengajarkan kita bahwa mengutarakan iman membutuhkan upaya yang persisten, secara khusus ketika menghadapi banyaknya tekanan. Pengalaman Petrus dan Yohanes di hadapan persidangan agama telah menunjukkan betapa pentingnya iman yang persisten tersebut. Mereka dipaksa untuk menutup identitas sebagai pengikut Kristus karena ketakutan yang dialami oleh para pemuka agama Yahudi pada masa itu. Namun, Petrus dan Yohanes tetap mempertahankan imannya, meski tekanan yang mereka dapatkan juga semakin tinggi.
Sahabat Alkitab, kita perlu mengevaluasi sejauh mana kita memberikan komitmen dalam mengikut Tuhan dan mengukur sekuat apa niat beriman kepada-Nya. Bentuk iman yang persisten dari kisah Petrus dan Yohanes yang tercatat pada perikop ini telah menunjukan bahwa beriman kepada Tuhan berarti kita siap untuk melakukan banyak hal sebagai upaya yang nyata kepada-Nya. Hal yang disayangkan adalah ketika ada umat Tuhan yang menjalani hidup beriman secara pasif. Biasanya, indikator dari hidup beriman yang pasif pada diri seseorang adalah cenderung menunggu dan menganggap dirinya sebagai pusat utama kehidupan. Ia merasa Tuhan berkewajiban untuk memenuhi segala yang ia inginkan atau yang ia pikir ia butuhkan. Padahal, melalui perikop ini kita justru melihat bagaimana iman kepada Tuhan merupakan sebuah rangkaian upaya nyata yang persisten.