Istilah sinagoge berasal dari bahasa Yunani yang berarti “perkumpulan”. Dalam Alkitab, sinagoge menunjukan pada suatu kelompok yang berkumpul bersama untuk beribadat. Tidak dapat dipastikan kapan tepatnya pertemuan yang disebut sinagoge itu dimulai, tetapi ada kemungkinan setelah Babel mengalahkan Yehuda dan mengangkut banyak penduduknya ke tanah pembuangan tahun 586 SM. Ketika berada di tanah Babel, orang Israel tidak dapat beribadat dan mempersembahkan kurban di Bait Allah di Yerusalem sehingga mereka terpaksa mencari cara lain agar tetap dapat beribadat.
Orang Yahudi kemudian juga mulai berpindah ke daerah-daerah lain, terutama ke Mesir, Yunani, dan daerah yang sekarang disebut Turki dan Rusia bagian selatan. Di situ mereka mulai berkumpul untuk beribadat, belajar, dan menjaga identitas kelompok mereka. Pertemuan ini disebut sinagoge. Orang-orang Yahudi yang tetap tinggal di Palestina terus melakukan pertemuan seperti itu, juga ketika raja-raja dinasti Seleukus berusaha memaksa mereka menyembah dewa-dewi Yunani. Salah satu raja dari dinasti ini, Antiokhus IV Epifanes (memerintah Palestina tahun 175-164 SM), menyebut diri sebagai dewa, sebagaimana dilakukan oleh Aleksander Agung sebelumnya. Imam-imam Yahudi dari keluarga Makabe memimpin pemberontakan melawan Antiokhus. Mereka berhasil memerdekakan orang Yahudi dan memimpin negeri itu. Akan tetapi, tingkah laku para pemimpin dari keluarga Makabe kemudian menimbulkan perpecahan di kalangan rakyat. Sebagian penduduk bahkan tidak bersedia pergi ke Bait Allah untuk beribadat. Mereka lebih suka berkumpul di rumah-rumah dan tempat-tempat umum untuk mempelajari Kitab Suci demi menemukan makna kehidupan sejati mereka sebagai umat Allah.
Demikianlah situasi masyarakat pada masa Yesus (Mrk. 1:21, 6:2) dan zaman para rasul (Kis. 1:12-14, 9:2-20, 13:5). Tempat-tempat pertemuan orang Yahudi di luar Palestina lalu dikenal sebagai “tempat sembahyang” (Kis. 16:16). Setelah pasukan Roma menghancurkan Bait Allah Yerusalem pada tahun 70, imam-imam Bait Allah tidak dapat lagi memimpin ibadat. Dengan hilangnya Bait Allah, sinagoge-sinagoge menjadi hal yang paling penting bagi peribadatan Yahudi dan kehidupan komunitas itu di daerah-daerah sekitar Laut Tengah. Orang-orang Yahudi senantiasa berkumpul di rumah-rumah dan tempat-tempat umum, demikian halnya dengan Paulus di Efesus (Kis. 19:8-10). Baru mulai abad ke-2 dan ke-3, rumah-rumah mulai ditata secara khusus untuk ibadat. Sejak saat itu juga, tempat-tempat pertemuan yang dikhususkan untuk beribadat mulai dibangun. Tempat-tempat pertemuan itu kemudian juga disebut sinagoge. Reruntuhan sinagoge-sinagoge tersebut sampai sekarang masih dapat dijumpai di berbagai tempat di Israel dan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah.
Sumber: Alkitab Edisi Studi