Albertus Gregory Tan: Bukan Kehendak Sendiri, Melainkan Digerakkan oleh Roh

Berita | 30 Oktober 2021

Albertus Gregory Tan: Bukan Kehendak Sendiri, Melainkan Digerakkan oleh Roh


 

Banyak orang yang mengatakan ingin berbuat baik menolong sesama, ingin melayani Tuhan, tetapi sampai akhir hayatnya keinginan itu hanyalah sebatas kata-kata saja. Tidak pernah ada tindakan nyata. Anak muda mengistilahkannya dengan NATO, not action talk only. Banyak alasan untuk menunda perbuatan baik, tapi banyak yang lupa bahwa hidup di dunia hanya sementara. Kapan saja, Tuhan bisa memanggil kita, dan kita terlambat untuk berbuat baik. 

Ini pula, yang awalnya muncul di benak Albertus Gregory Tan, anak muda yang dikenal sebagai inisiator peduli Gereja Katolik. Greg telah memulai gerakannya sejak 2011, dengan menggalang dana melalui media sosial untuk membangun gereja-gereja di berbagai wilayah terpencil di Indonesia. Hingga tahun 2021, sudah 150 gereja yang dibangun dan direnovasi oleh Greg dan rekan-rekannya. Greg tidak pernah membayangkan dirinya dengan segala keterbatasannya, tidak memiliki dana dan usia yang masih sangat muda, bisa menggerakkan banyak orang untuk berbagi kepedulian. Greg merasa apa yang dilakukannya bukanlah kehendak atau keinginannya sendiri melainkan digerakkan oleh Roh. 

Menjelang lulus dari bangku SMA, Greg bertanya dan berdoa dalam hatinya,”apa yang Tuhan kehendaki dalam hidupku? Ke mana arah hidupku selanjutnya?’’ Sempat Greg menimbang-nimbang untuk masuk seminari (sekolah calon imam). Namun, melihat keadaan keluarganya, tidak mudah bagi Greg untuk mengambil keputusan tersebut. Akhirnya, Greg melanjutkan kuliah ke Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Jurusan Administrasi Negara. Sambil menjalani kuliah, Greg pun belajar melayani Tuhan. Lewat pelayanan dan persekutuan, Greg memiliki banyak sahabat dan kenalan, termasuk yang berasal dari luar Jawa. 

Suatu ketika seorang sahabat mengajaknya mengunjungi di Sorkam, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Awalnya sekadar berlibur, sekaligus melihat dari dekat kehidupan orang-orang yang tinggal di pelosok. “Saya pergi ke sana dan dibawa untuk melayani sebuah jemaat di pedalaman pada hari Minggu. Situasinya ternyata sangat berbeda dengan jemaat Tuhan di Jakarta. Semuanya serba minus, serba berkekurangan,”ceritanya. Jalan yang mesti ditempuh menuju perkampungan rusak dan penuh lumpur akibat hujan, dan begitu sampai di gereja Greg pun kaget melihat gedung gereja yang lebih mirip dengan kandang hewan. 

“Gerejanya berdinding papan, tanpa pintu, lantainya tanah yang tidak rata. Atapnya bolong kalau hujan bocor, sementara bangkunya dari papan-papan kayu seadanya yang dipakukan,”tutur Greg. 

Yang luar biasa keadaan gerejanya. Namun melihat semangat jemaatnya Di tengah situasi yang sangat minim Greg melihat umat begitu bersemangat untuk beribadah. Greg begitu terharu melihat anak-anak Sekolah Minggu yang penuh keceriaan dan begitu antusias bernyanyi. 

“Saya ketika kecil tidak aktif di gereja, tidak pernah merasakan yang namanya Sekolah Minggu. Tidak merasakan pengalaman bergaul dengan saudara-saudara seiman. Kegiatan saya lebih banyak di rumah saja. Melihat sukacita anak-anak Sekolah Minggu di Sorkam, saya kemudian sadar bahwa di tengah situasi yang serba sulit dan penuh kekurangan mereka tidak kehilangan sukacita,”lanjutnya. Greg menangis dan sadar, selama 20 tahun masa mudanya tidak pernah tergerak untuk mencari Tuhan. 

Selepas ibadah, Greg merasakan dorongan dari Tuhan untuk melakukan sesuatu bagi jemaat di sana. Hanya ia belum tahu apa yang akan dilakukannya. “Saya pada waktu itu masih mahasiswa, belum punya penghasilan dan pekerjaan,”kata Greg. 

Setelah kembali ke Jakarta, Greg mengunggah foto-foto perjalanannya di media sosial. Tak lama ada orang yang bertanya,”Greg, kalau mau membantu jemaat di sana bagaimana rasanya?” Maka Greg pun berpikir, ternyata facebook atau media sosial bisa menjadi media untuk menggerakkan orang bersolidaritas. Namun menjalankannya ternyata tidak selalu mudah.  Setelah sekian bulan, tidak ada tanda-tanda orang yang tergerak membantu, tidak ada yang berdonasi. Malah lebih banyak orang yang menghujat, tidak percaya, dan ada yang mengatakan Greg menipu dan mengada-ada. 

“Banyak orang menyangsikan ada gereja yang sedemikian jelek di pelosok Nusantara. Hingga saya sempat ingin menyerah dan berhenti,”katanya. 

Greg sempat berpikir mungkin Tuhan belum menghendakinya melakukan karya yang luar biasa. Saat ia hampir putus asa dan berhenti, Tuhan memberikannya sebuah tanda. Seseorang mengirimkan uang senilai satu dollar ke rumahnya, diposkan dan diletakkan dalam amplop. Greg tidak pernah mengenal dan tahu siapa pengirim uang tersebut. Sang pengirim menulis dalam suratnya demikian, “Greg saya kirimkan satu dollar ini sesuai janji saya kepada kamu.” Orang tersebut juga menyatakan uang satu dollar tersebut sebagai modal awal untuk membangun rumah Tuhan di Indonesia. 

Semangat Greg bangkit kembali. Ia mulai merubah cara pendekatannya. Dari awalnya memohon donasi, sekarang lebih menceritakan pengalamannya di lapangan. Apa yang ia alami langsung. Ternyata orang lebih tergerak dengan cara demikian. Setelahnya uang mulai mengalir, dan pelan-pelan mulai terkumpul. Greg pun mulai menata dan merancang sebuah sistem yang baik untuk menyalurkan bantuan tersebut. 

“Awalnya pada 2010 demikian susah mencari dukungan. Kemudian pelan-pelan dalam setahun saya bisa mendapatkan dukungan 100 hingga 200 juta rupiah. Sekarang saya bersama rekan-rekan bisa mengumpulkan 7-8 milyar setahun untuk membangun gereja. Apa yang dulu saya anggap mustahil, dibuat Tuhan menjadi nyata,”tutur Greg. Gereja yang pertama Greg bantu pembangunannya ada di wilayah Tiga Lingga, Pakpak Dairi, yang berhasil direnovasi pada 2011.  

Greg mengungkapkan sejatinya ia bukan berasal dari keluarga yang religius. Bahkan papanya bukanlah orang Katolik. Soal iman bukan menjadi suatu hal yang penting dalam masa-masa awal kehidupannya. Ia mempercayai Tuhan, namun tidak pernah merasakan kehadiran Tuhan nyata dan bekerja dalam hidupnya. Maka, apa yang telah ia kerjakan sekarang tidak pernah terbayang dalam angannya di waktu kecil. Keluarganya mendoktrinnya untuk menjadi orang sukses, pengusaha kaya, punya banyak uang. 

“Ternyata Tuhan memberikan kekayaan bagi saya dalam bentuk lain. Hidup yang memberi manfaat bagi orang lain. Saya jauh lebih bersyukur dan jauh lebih bahagia dengan keadaan saya sekarang ini,”tutur Greg. 

 

Yayasan Vinea Dei

Sepanjang lima tahun, dari 2011 hingga 2011 Greg mengerjakan hampir semua pelayanannya sendirian. Semua hal diurusnya, mulai dari menerima permohonan bantuan, menggalang dana, hingga mempersiapkan dan mengawal pembangunan. Greg merasa kesibukannya semakin padat. Selain itu ketika dukungan semakin berkembang, ia merasa tidak mungkin lagi menggunakan rekening pribadinya sebagai tempat penampungan sumbangan. 

Seiring berjalannya waktu, Greg semakin sadar tentang pajak, tentang dana yang bisa dimanage secara lebih rapi dan sistematis dengan pendirian yayasan. 

Akhirnya mulai 2016, Greg mulai mengajak teman-teman muda, yang seusia dengannya untuk bergabung. Ternyata menemukan orang-orang yang satu visi dan satu semangat tidak mudah. Greg melihat jarang sekali, bahkan langka menemukan anak-anak muda yang punya perhatian besar kepada gereja. Setelah beberapa saat mencari, ia menemukan tujuh orang rekan baru. Mereka disebutnya dengan pionir perintis. Setelah setahun, pada 2017 mereka mendirikan Yayasan Vinea Dei. 

Nama Vinea Dei, menurut Greg merupakan hasil permenungannya dari sebuah retret. Inspirasinya datang dari Kitab Suci yang menyatakan, begitu banyak tuaian, tetapi yang mau bekerja sangat sedikit (Mat. 9:37). Ini cocok dengan pengalamannya saat kesulitan mencari orang-orang muda yang mau berkorban, berjuang dan dipakai Tuhan. Yang mampu berbicara soal pelayanan banyak, namun yang mau turun ke lapangan jarang. Greg berpendapat ladang pelayanan Tuhan begitu luas yang harus digarap, namun yang mau terlibat menggarapnya demikian sedikit. Setiap orang sesungguhnya dipanggil untuk mengupayakan yang baik selama masih diberikan hidup. Vinea Dei, Kebun Anggur Tuhan, artinya selama kita masih diberikan hidup kita dipanggil untuk berkarya di ladang pelayanan Tuhan.   

 

Sibuk tapi Bahagia

Meskipun kini Greg mesti membagi waktunya antara pekerjaan sehari-hari sebagai karyawan di sebuah bank swasta nasional dan pelayanan di Vinea Dei, namun ia tidak merasa hal tersebut sebagai beban. Ia justru merasa sangat bersemangat dan happy menjalani itu semua. 

“Kalau orang mengatakan tidak punya waktu untuk melayani Tuhan, sepertinya itu tidak mungkin. Masalahnya adalah ia mau atau tidak memberikan hidupnya untuk Tuhan. Melayani tidak harus melakukan hal-hal besar, bisa melalui hal yang kecil dan sederhana,”tutur Greg. Poin utamanya menurut Greg adalah apakah kita hanya hidup untuk diri sendiri atau mau menyediakan hati dan mau memberikan hidup kita untuk sesama. 

“Bagi saya, antara mencukupkan kebutuhan dan berkarya untuk sesama itu merupakan keseimbangan hidup. Hidup kita mesti balance,”lanjutnya.  

Greg mengenang masa-masa awal ketika ia merintis pelayanan Gerakan Peduli Gereja. “Setiap Jumat sore sepulang kerja, saya mengejar pesawat malam menuju Medan. Sampai Medan tengah malam. Dari bandara melanjutkan perjalanan menuju ke kampung tempat proyek pembangunan gereja. Sering Sabtu pagi ia baru sampai di lokasi. Ia sering memanfaatkan waktu tidur di perjalanan. Sepanjang hari Sabtu tersebut, ia dan panitia setempat berkoordinasi dalam pekerjaan seputar pembangunan gereja. Hari Minggu selepas ibadah pagi, Greg harus kembali berpacu menuju bandara untuk kembali ke Jakarta. 

“Memang badang terasa capai, namun setelah tiba di lokasi pelayanan rasa lelah tersebut hilang. Berganti dengan semangat,”katanya. “Kalau masih di seputar Medan mungkin belum terlalu berasa, namun kalau sudah di pedalaman NTT, lebih terasa capai. Menurut saya setiap kali melakukan berbagai hal positif dan bermanfaat energi kita pasti tidak akan pernah habis, malah terus diperbarui oleh Tuhan”lanjutnya sambil tertawa. Tidak pernah ada penyesalan dalam diri Greg, yang ada hanya ungkapan bahagia. Sekarang, setelah ada yayasan, Greg sudah jarang ke lapangan. Tugasnya lebih banyak memantau dan mengawasi pekerjaan para relawan dan tim di lapangan.

 

Gerakan Lintas Gereja

Setelah memulai dengan Gerakan Peduli Gereja Katolik, Greg dan teman-temannya di Vinea Dei berharap dapat membantu juga pembangunan Gereja-gereja Protestan di berbagai wilayah pelosok. Menurut Greg lebih mudah menggalang dukungan untuk pembangunan Gereja-gereja Katolik. Karena sesama umat Katolik biasanya memiliki ikatan emosional. Berbeda dengan Gereja Protestan, karena ada begitu banyak aliran gereja. 

“Kerinduan saya adalah kita saling peduli dan berbagi tanpa melihat latar belakang kita dari gereja mana. Tidak memandang aliran, namun kalau melihat ada saudara kita yang perlu ditopang dan dibantu, kita harus membantunya,”tutur Greg. 

“Kalau bukan kita sendiri sebagai saudara seiman yang menolong mereka, lantas mau berharap kepada siapa? Kita tidak mungkin bergantung kepada negara. Selama kita masih diberikan waktu dan kesempatan dan masih dimampukan untuk membantu sesama marilah kita bergandengan tangan,”lanjutnya. 

Pengalaman hidup mengajarkan Greg untuk selalu yakin dan percaya penyertaan Tuhan.  Ia terinspirasi oleh bacaan dalam Injil Lukas 1 ayat 37, yang menyatakan: sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil. Berkali-kali ia melihat Tuhan membalikkan kemustahilan menjadi kemungkinan. Lewat pembacaan Kitab Suci, Greg juga terinspirasi oleh panggilan Tuhan kepada Nabi Yeremia. Waktu itu Yeremia yang merasa masih muda dan belum punya pengalaman dipanggil Tuhan untuk menjadi utusan-Nya. Greg pun merasa demikian. 

“Saat merintis Gerakan Peduli Gereja, saya merasa masih sangat muda, belum punya pekerjaan, tidak punya penghasilan, belum punya kemampuan ataupun keahlian. Namun Tuhan memanggil dan mempercayai saya,”tuturnya. 

Maka, baginya soal pelayanan dan panggilan bukan soal usia tua ataupun muda. Namun soal kemauan. “Tinggal katakan yes or no saja kepada Tuhan, karena apa yang Tuhan rencanakan pasti akan terjadi,”tegasnya yakin. 

Greg percaya setiap anak muda Kristen sepertinya diberikan panggilan pelayanan yang unik sesuai dengan talenta mereka. Di dalam karya dan pelayanan apapun, Setiap anak muda bisa menjadi teladan dan berkat sesuai porsinya masing-masing. Greg menambahkan, sesuatu yang menginspirasi tidak harus berasal dari posisi atau jabatan yang tinggi. Bisa lewat hal-hal yang kecil dan sederhana di sekitar lingkungan kita. Gereja dan Indonesia butuh sosok-sosok inspirator seperti ini. Yang mau bersaksi, bukan hanya melalui kata, namun juga melalui karya. Karena panggilan kita memang adalah untuk menjadi garam dan terang dunia. 

Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia