T.B. Simatupang: ”Dari Gerilya ke Gereja, dari Senjata ke Pena”

Berita | 14 Jun 2025

T.B. Simatupang: ”Dari Gerilya ke Gereja, dari Senjata ke Pena”


Di jalan-jalan sempit yang dibasahi embun pagi di Tanah Batak, selalu ada sosok yang berjalan lebih dahulu, menghalau semak dan membukakan jalan bagi yang lain. Sosok seperti inilah yang dalam tradisi Batak, menurut istilah Dr. Albert Agustin Sitompul, disebut sitotas nambur, sang perintis. Tahi Bonar Simatupang, atau yang akrab disapa Pak Sim, adalah perwujudan nyata dari gelar tersebut. Ia tidak hanya membuka jalan secara harfiah sebagai pejuang kemerdekaan, tetapi juga merintis jalan pemikiran dan iman, memperluas cakrawala sebagai seorang Kristen Batak yang mencerminkan integritas, pengorbanan, dan keteguhan hati dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

 

Latar Belakang & Masa Kecil: Dari Muara ke Sidikalang

Marga Simatupang merupakan salah satu keturunan dari Si Raja Lontung. Bersama marga Aritonang, Situmorang, Nainggolan, dan Siregar, mereka semula bermukim di Pulau Sibandang. Dalam upaya mempertahankan identitas dan memperluas wilayah, mereka berpindah ke Tarabunga, lalu ke Muara, yang kini dikenal sebagai salah satu pusat identitas marga Simatupang. Sejarah perantauan ini menanamkan semangat mobilitas dan adaptasi dalam diri generasi penerusnya. Semangat ini yang kelak hidup dalam pribadi T.B. Simatupang.

 

Tahi Bonar Simatupang lahir pada 28 Januari 1920 di Sidikalang, wilayah yang kala itu termasuk afdeling Bataklanden, Keresidenan Tapanuli. Ayahnya, Simon Sutan Mangaraja Soaduon Simatupang, adalah kepala kantor pos dan seorang nasionalis Kristen yang mendirikan "Persatuan Christen Indonesia" (PERCHI). Ibunya, Mina Br. Sibuea, asal Pangombusan dekat Porsea, adalah seorang perempuan sederhana, penuh kearifan dan iman Kristen yang mendalam. T.B. Simatupang tumbuh di tengah semangat kebangsaan dan pelayanan gereja. Dalam catatan otobiografinya, ia menulis dengan tulus, "Saya adalah orang yang berhutang... kepada bangsa, gereja, dan terutama Tuhan."

 

Ia menempuh pendidikan dasar di HIS (Hollands Inlandse School) Pematangsiantar, kemudian melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Dr. Nommensen di Tarutung. Di sanalah ia mulai terbentuk sebagai pemuda kritis dan cerdas. Ia pernah hampir dikeluarkan karena membaca buku "Indonesia Menggugat" karya Ir. Sukarno, namun diselamatkan oleh prestasinya yang menonjol.

 

Suami, Ayah, dan Pribadi yang Penuh Cinta

Di tengah kiprah perjuangannya yang besar, T.B. Simatupang juga menjalani kehidupan pribadi yang penuh kasih dan tanggung jawab. Ia menikah dengan Sumarti Budiarjo pada 12 Desember 1949. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai empat orang anak: Tigor, Toga, Siadji, dan Ida Apulia Simatupang. Meskipun kesibukannya sebagai militer dan pemikir bangsa sangat tinggi, ia tetap dikenal sebagai ayah yang peduli dan suami yang penuh perhatian.

Dalam berbagai kesaksiannya, ia kerap menyebut bahwa keluarga adalah tempat ia menemukan kekuatan batin. Dalam diam dan doa istrinya, serta dalam senyum anak-anaknya, ia menemukan makna dari semua pengorbanan yang ia lakukan untuk bangsa dan gereja.

 

Perjuangan & Kontribusi: Dari Akademi Militer ke Medan Gerilya

Setelah menyelesaikan pendidikan menengah di Christelijke AMS di Salemba, Jakarta, ia melanjutkan studi ke Akademi Militer Kerajaan Belanda (KMA) di Bandung pada tahun 1940. Ia menjadi "krooncadet"—taruna mahkota— karena menunjukkan prestasi yang luar biasa. Namun, ia tidak sekadar menjadi perwira didikan Belanda. Ia punya tekad untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia juga mampu membangun angkatan bersenjata modern.

 

Setelah proklamasi kemerdekaan, ia ikut membangun Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam usia 29 tahun, ia sudah menjabat sebagai Wakil Kepala Staf TNI. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II, ia mendirikan markas besar gerilya di Banaran, sebuah dusun terpencil di Kulon Progo, Yogyakarta. Kediaman Karyo Utomo, Kepala Dusun Banaran, menjadi markasnya.

 

Di Banaran, TNI tidak hanya menyusun strategi militer. Mereka melatih pemuda setempat, menyebarkan informasi melalui pemancar radio, dan membangun kepercayaan rakyat. T.B. Simatupang mengedepankan sinergi antara rakyat dan tentara. "Kemerdekaan tidak mungkin dicapai hanya oleh senjata, tetapi oleh hati rakyat," tegasnya dalam catatan "Laporan dari Banaran". Tempat ini menjadi simbol perjuangan rakyat dan tentara yang berpadu dalam semangat kemerdekaan.

 

Iman dan Pemikiran: Gereja yang Terlibat dalam Revolusi

T.B. Simatupang tidak hanya berjasa di medan perang. Setelah keluar dari dunia militer aktif tahun 1959, ia memasuki medan perjuangan yang lain: pelayanan gereja. Ia memperdalam teologi, sosiologi, dan politik—mempelajari karya Karl Barth, Dietrich Bonhoeffer, Reinhold Niebuhr, dan Madathiparampil Mammen Thomas. Dalam diri Pak Sim, teori dan praktik menyatu sebagai satu kesaksian hidup yang utuh.

 

Menurut Prof. John Verkuyl, "T.B. Simatupang adalah pengarang dan teolog awam yang paling banyak menulis tentang hubungan gereja dan masyarakat di Indonesia." Ia menolak gereja yang eksklusif dan hanya berkutat pada persoalan liturgi. Tak pernah berhenti Pak Sim mengajak gereja untuk menjadi garam dan terang di tengah penderitaan sosial. "Gereja harus terlibat aktif dalam membangun masyarakat, bukan hanya menjadi penonton sejarah," tegasnya.

 

Semangat ini sangat nyata dalam karya monumentalnya, "Tugas Kristen dalam Revolusi", yang diterbitkan BPK Gunung Mulia. Dalam buku ini, T.B. Simatupang mengajak umat Kristen untuk tidak bersikap netral dalam menghadapi pergumulan bangsa. Ia menegaskan bahwa iman harus diwujudkan dalam tindakan konkret, terutama dalam menciptakan keadilan sosial dan memperjuangkan kemerdekaan manusia seutuhnya.

 

Ia mengkritik keras sikap pasif sebagian gereja sambil mengingatkan bahwa kekristenan tidak boleh terkurung dalam ruang pribadi. Bagi T.B. Simatupang, revolusi bukan hanya perjuangan kemerdekaan secara fisik, melainkan juga perjuangan moral, spiritual, dan struktural. "Iman yang hidup selalu mendorong keterlibatan," tulisnya. Pak Sim menolak penggunaan kekerasan yang tidak bermoral dan menekankan perjuangan damai berdasarkan kasih, pengampunan, dan solidaritas.

 

Buku ini menjembatani spiritualitas dan tindakan sosial, dan hingga kini masih relevan dalam menghadapi tantangan ketimpangan, kemiskinan, dan korupsi. Ia menulis dengan keberanian profetik, dan mendorong gereja menjadi pelaku aktif dalam transformasi bangsa.

 

Integritas, Ketulusan, dan Iman yang Hidup

T.B. Simatupang tidak hanya dikenal sebagai seorang jenderal yang tangguh di medan perang, tetapi juga sebagai pribadi yang jujur, teguh, dan rendah hati dalam prinsip hidupnya. Pandangannya melampaui urusan militer. Dalam bukunya Iman Kristen dan Pancasila, ia tidak hanya mengkritik komunisme, tetapi juga menolak kapitalisme-liberalisme yang menurutnya menawarkan jalur pembangunan yang tidak manusiawi. Bagi T.B. Simatupang, perjuangan sejati bukan sekadar menolak ideologi lain, melainkan menyusun pemahaman yang lebih tepat dan bermakna tentang arah perjuangan bangsa. "Yang terpenting ialah menyusun interpretasi yang lebih tepat mengenai perjuangan kita," tulisnya, menunjukkan kedalaman refleksi seorang prajurit pemikir.

 

Transformasi pribadi T.B. Simatupang pun tak luput dari perhatian rekan-rekannya. Pdt. Sularso Sopater secara tajam menyimpulkan perjalanan hidupnya: "Dari mercenarius menjadi militia. Dari tentara bayaran menjadi pejuang sukarela." Ia memang bukan hanya bertempur dengan senjata, tetapi juga memperjuangkan keadilan melalui pena dan pikirannya. Komitmennya terhadap nilai-nilai luhur bangsa tidak pernah surut, bahkan menjelang akhir hidupnya.

 

Frans Seda mengenang bahwa sampai di pengujung usianya, Pak Sim terus memikirkan masa depan bangsa. Salah satu testamen politik terakhirnya adalah seruan agar Orde Baru mengatur suksesi kekuasaan secara konstitusional yakni sebuah panggilan moral yang menggambarkan kepeduliannya terhadap demokrasi. Di Rumah Sakit PGI Cikini, menjelang akhir hayatnya, beliau meminta dibacakan Filipi 1:21. Dengan tenang ia mengucapkan, “Sesungguhnya, bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”, sebuah pernyataan iman yang menjadi penutup perjalanan hidup seorang pejuang yang telah menyerahkan seluruh dirinya kepada Tuhan.

 

T.B. Simatupang juga dikenal dengan ketajaman intelektual dan sindiran halusnya. Ketika Letnan Gubernur Jenderal Hubertus Van Mook membandingkan dirinya dengan Musa yang tidak dapat masuk Tanah Perjanjian, T.B. Simatupang menanggapi dengan lugas namun menusuk: "Musa tidak masuk karena berdosa." Sebuah sindiran yang mengingatkan kembali pada ironi Agresi Militer Belanda tahun 1947, sebuah tindakan yang jelas mencederai semangat damai yang mestinya dijunjung tinggi.

 

Warisan & Inspirasi: Sitotas Nambur Zaman Baru

T.B. Simatupang adalah wajah dari Indonesia yang berpikir, beriman, dan berani. Ia adalah wujud sempurna dari "sitotas nambur" yang membasahi diri di jalan embun agar generasi setelahnya dapat berjalan lebih mudah. Ia bukan hanya seorang prajurit, tetapi juga pemikir, diplomat, dan pelayan gereja. Kenang Prof. Verkuyl, "Dengan tulisan dan hidupnya, ia memanggil kita untuk ikut mengambil bagian dalam sejarah."

 

Bagi generasi muda Indonesia, T.B. Simatupang adalah inspirasi untuk menjalani hidup dengan integritas. Simatupang menunjukkan bahwa iman Kristen tidak bertentangan dengan nasionalisme, dan bahwa pengabdian kepada Tuhan tak pernah terpisah dari pengabdian kepada sesama.

 

"Saya adalah orang yang berhutang," tulisnya. Hutang itu ia lunasi dengan keteladanan dan pengorbanan. Kini, waktunya generasi baru mengambil tongkat estafetnya, menjadi sitotas nambur di jalan kemajuan Indonesia.

 

Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia