Baca, dan Berbagilah...

Baca, dan Berbagilah...

Oleh Tri Agung Kristanto

Verba volant scripta manent…

Pada 2 April lalu kita merayakan Hari Buku Anak Sedunia, dan 23 April merupakan Hari Buku Sedunia. Di Indonesia, Hari Buku Nasional dirayakan setiap tanggal 17 Mei, yang sekaligus menjadi Hari Ulang Tahun (HUT) Perpustakaan Nasional. Pada 2 Mei nanti, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri, kita merayakan Hari Pendidikan Nasional. Dan, tanggal 3 Mei diperingati sebagai Hari Pers Sedunia. Tanggal 15 Mei, kita pun merayakan Hari Keluarga Internasional, dan dipuncaki dengan tanggal 17 Mei sebagai Hari Komunikasi Internasional.

Hari Literasi Internasional diperingati setiap tanggal 8 September, yang juga menjadi Hari Aksara Sedunia dan Hari Pemberantasan Buta Huruf. Dalam catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2021, angka buta aksara di Indonesia terus mengalami penurunan. Pengentasan buta aksara itu berujung pada literasi yang mendorong individu untuk berpikir kritis, dan mempunyai kompetensi. Kemendikbudristek yang mengutip data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, menunjukkan persentase buta aksara tahun 2019 di negeri ini sebanyak 1,78 persen atau 3.081.136  orang, dan pada tahun 2020 turun menjadi 1,71 persen, atau menjadi 2.961.060 orang. Tahun ini, bisa dipastikan angka buta huruf di Indonesia menurun lagi, sebab sebagian besar warga yang buta aksara itu berusia lanjut, serta dorongan Pendidikan Dasar Sembilan Tahun semakin masif.

Pada peringatan Hari Aksara Internasional tingkat nasional tahun lalu, Direktur Perwakilan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) di Jakarta, Mohamed Djelid mengingatkan, harkat dan martabat manusia sangat ditentukan oleh kemampuannya berliterasi. Hal ini sejalan dengan tema kegiatan yang kita lakukan Bersama hari ini, yakni “Membaca  itu Hebat, Menulis itu Berkat”, meskipun kita baru pada berbicara mengenai membaca (literasi). Dan, akan menjadi kian kuat, saat kita bisa menuliskan sebagian dari pengetahuan yang diperoleh dari membaca itu, serta membagikannya kepada orang lain. Semakin menjadi berkat, jika yang kita bagikan itu menginspirasi orang lain, sehingga terus membagikannya kepada orang lain.

Dalam hal literasi ini, negara kita pun meraih banyak penghargaan internasional, antara lain King Sejong Literacy Prize tahun 2018 dari UNESCO, dan BASAbaliWiki tahun 2019 meraih penghargaan The Unesco Confucius Prize for Literacy. Sejak tahun 2019, Indonesia dipilih sebagai Komite Pengarah Aliansi Global Literasi atau Global Alliance for Literacy (GAL) UNESCO. Tentu saja penghargaan ini bukan karena berbagai kegiatan literasi itu hanya diceritakan, tetapi juga dituliskan, dilaporkan, sehingga orang lain di banyak negara pun bisa mempelajarinya dan terinspirasi untuk melakukan hal yang sama, atau bahkan mengembangkannya menjadi lebih baik lagi. Memberdayakan masyarakat.

Tak hanya negara, kita pun sebagai pribadi juga bisa melakukannya, untuk menginspirasi orang lain dan menjadi saluran berkat. Seperti dituliskan pada awal tulisan ini, verba volant scripta manent. Pepatah dalam Bahasa Latin itu mengingatkan, bahwa kata-kata beterbangan, tertulis diam menetap. Sebuah pengetahuan atau kearifan tak cukup hanya diceritakan dari generasi ke generasi, karena akan semakin hilang dan bisa bias, berbeda dengan maksud cerita awalnya. Tidak banyak orang yang dapat bercerita dengan baik, sebagai penutur kisah (story teller) yang memikat. Namun, jikalau pengetahuan atau kearifan itu dituliskan, akan banyak generasi yang bisa mengikuti cerita dan pesannya, dan lebih pasti, karena jika ada bias atau penambahan atau pengurangan, ada pembandingnya. Oleh karena itu, lahirlah prasasti, catatan di daun lontar atau di kain atau media lain, buku, dan bahkan Kitab Suci.

Saat kita menuliskan pengetahuan atau kearifan yang kita peroleh, salah satu melalui kegiatan membaca buku atau pesan dari berbagai media, kita pun bisa menjadi saluran berkat. Sangat mungkin tulisan yang kita hasilkan dalam berbagai media itu akan menginspirasi orang lain, bahkan mungkin bisa menyelamatkan hidup orang lain, yang kita tak mengenalnya. Berbagilah sejauh mungkin melalui tulisan, sebab berbagi melalui penuturan lisan pastilah sangat terbatas.  

Tantangan pasti ada

Deretan tanggal yang membuka tulisan ini bukanlah tanpa maksud. Selalu ada cerita di balik tanggal itu, yang menjadi narasi penguat dipilihnya hari itu. Dan, kita bisa mengetahuinya bukan dari tuturan penentunya, melainkan dari tulisan yang bertebaran di banyak media. Hari buku anak sedunia misalnya, dirayakan bertepatan dengan ulang tahun Hans Christian Andersen (1805-1875), seorang penulis cerita anak (dongeng) asal Denmark. Karya HC Andersen pun mendunia. Dongeng yang kuat berisikan pesan moral universal itu sejak tahun 1846 dibukukan dan diterjemahkan dalam 147 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

HC Andersen pun menuliskan dalam bahasa Danish, ”Livet er det dejligste Eventyr. Life itself is the most wonderful fairy tale”. Hidup adalah petualangan terbaik. Hidup merupakan dongeng yang paling indah. Ia percaya, dengan memberikan pengalaman bertualang yang baik, meskipun secara tak langsung, bisa membentuk karakter anak yang baik. Dan, ia tak mendongengkan pengetahuannya itu dari mulut ke mulut, melainkan dituliskan, sehingga banyak anak dan orangtua yang bisa menikmati. Tentu saja, ia pun memperoleh banyak “berkat” pula dari karyanya itu.

Keyakinan HC Andersen itu juga diperkuat dengan temuan riset Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2020, lebih dari 180 tahun kemudian, yaitu anak usia lima tahun yang dibacakan buku oleh orangtuanya memiliki kemampuan empati, pro-sosial, dan mampu mengatur emosi lebih tinggi ketimbang anak di kelompok usia sama, tetapi tidak dibacakan buku.

Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara juga berpesan melalui buletin Wasita (Agustus/September 1929),”Jika anak-anak kita dapat kita didik sebagai anak-anak bangsa kita, agar jiwanya bersifat nasional dan bisa kembali dan memegang kultur bangsa, yang sejak abad lalu tidak cukup hidup dalam dunia kita, karena hidup kita seolah-olah hidup dalam perhambaan, percayalah mereka itu akan merasa puas sebagai anak Indonesia.” Pesan Ki Hadjar bisa diambil kembali, sebab ia menuliskannya. Oleh sebab itu, salah satu cara dalam mendidik anak adalah melalui pemberian buku atau membacakan buku sehingga literasi berbasiskan buku perlu terus dikembangkan.

              Namun, saat ini tak mudah mendorong anak, bahkan orangtua, untuk mencintai buku dan menumbuhkan minat baca, khususnya buku cetak. Pandemi Covid-19 menggerus daya beli masyarakat sehingga membeli buku atau bahan bacaan lain bukanlah prioritas. Masyarakat pun makin terjerat gawai, sulit melepaskan diri dari perangkat teknologi informasi dan digitalnya. Jarang pula kini melihat orangtua yang mengajak anaknya menikmati buku di perpustakaan atau toko buku. Sekalipun mengacu Indeks Kegemaran Membaca 2020, terjadi kenaikan di Indonesia, dari 53,84 jadi 55,74 (sedang).

Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim menekankan, cara terbaik menumbuhkan kemampuan berpikir kritis ialah membaca. ”Bacalah buku untuk menjaga semangat kita di tengah situasi penuh tantangan,” ujarnya (Kompas, 27/7/2021). Daoed Joesoef (1926-2018), yang pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pun mengingatkan, ”Demokrasi hanya akan berkembang di suatu masyarakat yang para warganya adalah pembaca, adalah individu yang merasa perlu untuk membaca, bukan sekadar pendengar dan gemar berbicara.”

              Buku dan karya tulis lain, termasuk di media massa, adalah produk budaya. Bangsa maju karena rakyatnya terbiasa membaca dan berbagi melalui tulisan. Namun, pada masa pandemi Covid-19, situasi kian tidak mudah. Di Indonesia, pandemi misalnya berdampak pada penurunan penjualan buku. Dari survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) terhadap 127 perusahaan penerbit buku di Indonesia pada 2020, sebanyak 58,2 persen penerbit melaporkan penjualan buku turun lebih dari 50 persen. Sebanyak 29,6 persen penerbit mengalami penurunan penjualan sebesar 31-50 persen; 8,2 persen lainnya melaporkan penurunan penjualan 10-30 persen, dan hanya 4,1 persen penerbit yang mengatakan tidak terganggu dengan pandemi. Namun, di sejumlah negara selama pandemi penjualan buku, baik dalam bentuk audio maupun cetak dan elektronik (e-book) justru mengalami peningkatan. Tahun lalu, situasi perbukuan di dunia, termasuk Indonesia lebih baik dibandingkan tahun 2020, sebab orang yang banyak berdiam diri di rumah melarikan diri dengan membaca buku atau bacaan lainnya.

              Tantangan lainnya tergambar dari hasil riset ”World’s Most Literate Nations Ranked” pada 2016 menempatkan Indonesia di peringkat ke-60, dari 61 negara, dalam hal minat baca. Kondisi tahun 2018, dan kemungkinan juga tahun berikutnya, tak banyak berubah. Riset yang dilakukan Central Connecticut State University, Amerika Serikat, dan dikutip UNESCO itu mengingatkan, minat baca rakyat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 penduduk negeri ini hanya satu orang yang rajin membaca. Tak sedikit warga dan Lembaga di negeri ini yang meragukan hasil riset itu. Namun, nyaris empat tahun ini belum ada temuan baru di Indonesia yang membantah data itu.

Bahkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada awal 2017, mengutip data Wearesocial, menyatakan orang Indonesia bisa menatap layar gawai tidak kurang dari sembilan jam dalam sehari. Riset Nielsen Media Research 2018 juga menemukan warga Indonesia yang disurvei menghabiskan waktu tak kurang dari 4 jam 53 menit untuk menonton televisi dan 3 jam 14 menit berselancar di internet tiap hari. Untuk membaca surat kabar, 31 menit, dan 24 menit untuk membaca majalah, sedangkan mendengarkan radio tak kurang 2 jam 11 menit setiap hari.

Aktivitas membaca masih yang terendah di Indonesia. Tradisi menonton lebih dominan. Survei BPS pada 2015 menemukan, sebanyak 91,47 persen anak usia dini lebih suka menonton televisi, dan tak lebih dari 13,11 persen yang suka membaca. Kebiasaan membaca, apalagi membaca buku, menghadapi tantangan yang luar biasa. Kini semakin berat lagi, karena ada banyak pilihan untuk ditonton, selain televisi yang mulai ditinggalkan, seperti menonton melalui media sosial dan sajian hiburan berbayar.

Sesungguhnya berbagai upaya menumbuhkan minat baca banyak dilakukan, seperti pendirian sejumlah perpustakaan komunitas. Pada 2018, juga digelar Gerakan Nasional Orangtua Membacakan Buku (Gernas Baku) bagi anak-anaknya, sehingga kebiasaan membaca tumbuh sejak dini. Namun, gerakan itu tak banyak bergaung di masyarakat meskipun data dari berbagai sumber pada 2018 menunjukkan penjualan buku cetak meningkat dibandingkan pada tahun sebelumnya.

Gerakan membaca harus terus digulirkan. Bahkan, membaca tak sebatas buku dan media massa, tetapi apa saja, termasuk membaca Kitab Suci. Dari media yang kita baca itu pasti ada pengetahuan dan pengalaman. Lalu, mulailah berbagi dengan menuliskan pengetahuan dan pengalaman, termasuk pesan dari bacaan itu dengan menuliskannya kembali, dengan perspektif dan kemampuan masing-masing, di media apapun dan manapun. Banyak sarana dan pilihan yang bisa dimanfaatkan, termasuk media sosial yang murah, dan bisa dijangkau banyak orang. Tentu saja, apa yang kita bagikan itu sebaiknya adalah hal baik dan bermanfaat untuk orang lain, karena apa yang kita tulis dan bagikan itu sekaligus menjadi tanda pengenal siapa kita sesungguhnya.

 Jakarta, 30 April 2022

 

Paulus Tri Agung Kristanto, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas/Kompas.id dan Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. Tulisan ini disampaikan pertama kali dalam acara live Streaming 12 jam “Membaca, Jendela Masa Depan” di kanal YouTube Lembaga Alkitab Indonesia.