Bijak Menghadapi Perubahan 

Bijak Menghadapi Perubahan 

 

Kisah gadis-gadis bijaksana dan gadis-gadis bodoh (Mat. 25:1-13) memperlihatkan kepada kita tentang pentingnya memahami dan merespons sebuah perubahan. Mereka adalah orang-orang pilihan. Sama seperti pesta kawin zaman sekarang, ada orang-orang yang dipilih untuk terlibat dalam perayaan. Jika dalam perkawinan ala Jawa ada pagar ayu dan pagar bagus, maka dalam budaya Yahudi ada penyambut mempelai. Tentulah, tidak semua orang mendapatkan kesempatan itu. Dan mereka, sepuluh gadis itu, dianggap layak mengemban tanggung jawab itu. Namun, tidak semua gadis itu menjalani tugas mereka dengan serius. 

Hingga hari ini, banyak orang tidak sungguh-sungguh serius menjalani predikat diri sebagai hamba Tuhan. Sesungguhnya, ini bukanlah predikat kosong. Predikat hamba Tuhan mensyaratkan adanya seorang Tuan yang menetapkan seseorang sebagai hamba dari Tuan tersebut. Tuhan sendiri yang telah memilih kita sebagai hamba-Nya. Namun, apakah setiap orang sungguh-sungguh menjalani hidupnya sebagai hamba Tuhan? Tak sedikit orang yang menyempitkan arti hamba Tuhan dengan para rohaniawan. Benarkah? Jawabnya, tentu tidak. 

Hati-hati! Ketika kita menyebut seseorang sebagai Tuan, sesungguhnya kita telah menganggap (memanggil) diri kita sebagai hamba. Demikian pula, jika kita menyebut Allah sebagai Tuhan, maka kita sedang menyebut diri kita sendiri sebagai hamba Tuhan. Aneh bukan, jika kita menyebut Dia sebagai Tuhan, namun tak bertindak sebagai hamba? Dan inilah yang dilakukan lima orang gadis bodoh tadi.

Kristus mengumpamakan orang-orang macam begini seperti gadis-gadis yang bodoh, yang membawa pelita, tetapi tidak membawa minyak cadangan. Baik untuk dicermati, gadis-gadis ini bukanlah gadis jahat. Mereka tidak jahat. Mereka adalah orang-orang tulus yang senang mendapatkan tugas sebagai penyambut mempelai. 

Tetapi, yaitu tadi, di mata Yesus mereka bodoh karena tidak membawa minyak cadangan. Mereka disebut bodoh karena tidak siap merespons perubahan. Mempelai itu terlambat. Mereka tidak mampu merespons kemungkinan itu. Mereka pikir semua baik-baik saja. Ketika mempelai datang, habislah minyak dalam pelita mereka. Artinya, mereka tidak dapat lagi menjalani tugas itu. Ya, apa artinya penyambut mempelai tanpa pelita yang menyala. Mereka tidak dapat lagi menjalani tugas mereka dengan baik. Akibatnya, mereka ditolak oleh mempelai itu.

Kisah gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis bodoh ini memperlihatkan kepada kita pentingya merespons perubahan. Pada kenyataannya, tidak ada yang pasti di dunia ini. Sehingga ada adagium: hanya satu yang tidak berubah, yakni perubahan itu sendiri. Kita harus siap merespons perubahan. Ketidaksiapan merespons perubahan itu, sesungguhnya memperlihatkan bahwa mereka tidak serius dengan panggilan mereka sebagai penyambut mempelai.

Ketidaksiapan hampir selalu membawa bencana. Kita tidak siap mengantisipasi datangnya tsunami setelah gempa bumi yang dahsyat, mengakibatkan korban menjadi makin menjadi-jadi. Kabarnya, ketika air surut begitu cepat dari pantai, banyak hewan berusaha untuk mencari tempat yang lebih tinggi. Agaknya, hewan lebih mampu mengantisipasi tsunami ketimbang manusia. Orang tidak siap merespons bencana. Sehingga kapal penumpang sering tidak dibarengi dengan jumlah sekoci penyelamat seturut jumlah penumpang yang ada dalam kapal tersebut. 

Bicara soal strategi merespons perubahan, agaknya kita perlu belajar banyak dari atlet catur. Pecatur yang baik mampu membaca pikiran lawan. Bukan dalam arti harfiah tentunya. Namun, dalam benak pecatur dia mampu mengetengahkan kemungkinan-kemungkinan langkah yang akan diambil lawan mainnya. Jangan berpikir cateris paribus. Artinya, jangan berpikir hanya ada satu perubahan dan yang lainnya tetap!

Dalam buku Who Moved My Cheese?, Spencer Johnson menceritakan kisah sepasang kurcaci, Hem dan Haw, yang kehilangan kejunya. Pertanyaan mereka—”Siapa yang mencuri kejuku?”—hanya bergaung dalam labirin. Tak ada jawaban. Saban hari mereka mendatangi tempat itu dan menikmati keju sesuka hati mereka. Sekarang semuanya musnah, dan keduanya sulit menerima kenyataan ini. 

Kedua kurcaci itu menanggapi peristiwa itu dengan sikap berbeda. Pada akhirnya Haw dapat menerima perubahan itu dan mengajak temannya mencari keju yang baru. Namun, Hem tidak mau pergi dari tempat tersebut. Ia mengingkari adanya perubahan, karena takut perubahan akan mendatangkan sesuatu yang buruk. Ia takut memulai sesuatu yang baru. Ia terus menyalahkan situasi dan kondisi yang menimpanya, sembari mengenang kisah indah masa lalu. 

Haw akhirnya berkata, ”Hem, kadangkala, sesuatu itu berubah dan mereka tidak akan pernah sama lagi. Itulah hidup! Kehidupan terus berjalan. Dan kita pun harus demikian.”  Hem hanya diam saja. 

Dengan sedih Haw pergi meninggalkan sahabatnya dengan sebuah pesan: ”Jika Anda tidak berubah, Anda akan punah”. 

Kenyataannya, kita sering bersikap seperti kedua kurcaci ini: tidak siap menghadapi perubahan. Lebih parah lagi, kita acap mengambil sikap seperti Hem, yang mengingkari perubahan dan tidak mau berubah sama sekali. Padahal, tiada yang kekal di dunia ini. Dunia senantiasa berubah. Jika kita tidak ikut berubah, kita akan punah. 

Tujuan dari perubahan itu ialah agar kita dapat menjalani tugas kita sebagai hamba Tuhan. Karena tidak mampu merespons perubahan, gadis-gadis bodoh tadi tidak dapat menjalani tugas yang diemban pada pundak mereka dengan baik. Dan memang itulah inti dari kisah gadis-gadis bijaksana dan bodoh: dalam segala situasi kita tetap menjalani tugas kita sebagai hamba Tuhan. 

Karena itu, mari kita sikapi perubahan dengan bijak!

 

Yoel M. Indrasmoro