Carina Citra Dewi Joe: Ilmuwan Indonesia, Pemegang Paten Vaksin Oxford-Astra Zeneca 

Carina Citra Dewi Joe: Ilmuwan Indonesia, Pemegang Paten Vaksin Oxford-Astra Zeneca 

 

Hari-hari belakangan angka pandemi Covid-19 menurun dengan signifikan. Bukti paling sahih adalah pemerintah yang sudah dua tahun lebih membatasi pergerakan masyarakat, tahun ini membebaskan masyarakat untuk mudik di Hari Lebaran. Untuk kesempatan seperti ini kita perlu bersyukur dan berterima kasih. Salah satunya kepada mereka yang dalam kesunyian laboratorium berjuang tanpa kenal lelah menemukan vaksin Covid-19.  Salah satu dari mereka adalah putri kebanggaan Indonesia, Carina Citra Dewi Joe. 

Carina belakangan banyak muncul dalam pemberitaan di berbagai media karena perannya sebagai salah satu anggota tim inti penemu vaksin Oxford-Astra Zeneca. Sebagai anggota tim manufacturing, yang bertanggung jawab menemukan cara memproduksi vaksin secara massal, Carina menemukan formula “30 ml”atau popular disebut formula “dua sendok makan” yang menjadi landasan bagi produksi massal vaksin Astra Zenecca, vaksin yang saat ini disebut paling luas jangkauannya di seluruh dunia dan diproduksi dengan harga “semurah mungkin”. Carina sekarang merupakan salah seorang dari enam pemegang paten dari produksi vaksin Astra Zeneca. 

Jauh merantau dari Tanah Airnya, Carina memenuhi visi hidup untuk memberi manfaat bagi banyak orang. Di tengah lingkungan yang sebagian besar non-kristen, sebagian besar ateis, Carina bertekun menjadi pengikut Kristus yang setia dan menjaga kekudusan hidup.  

 

Tertarik Penjelasan Ibu Guru

Waktu kecil orang tua Carina mengarahkannya untuk menjadi seorang dokter atau insinyur. Mungkin orang tuanya berpikir bahwa di kedua lingkungan tersebut kehidupannya sejahtera. Tidak pernah di benaknya untuk mendalami bioteknologi, terlebih pada masa itu ilmu bioteknologi belum terlalu berkembang di Indonesia. Guru biologinya di SMA Kristen 1 Penabur, Ibu Lily Setiaty, yang membawa Carina pada cinta pertama dengan bioteknologi. Suatu hari gurunya menerangkan perkembangan ilmu bioteknologi molekuler yang bisa merubah genetika hewan. 

“Menurut saya sangat menarik, sekor ikan berwarna hitam, keturunannya bisa diubah menjadi kuning, atau orange dan sebagainya. Semakin saya mencari tahu, ternyata begitu banyak aplikasi dari bioteknologi itu sendiri,”tuturnya. Sejak saat itu Carina mulai mencari tahu perguruan-perguruan tinggi yang memiliki jurusan bioteknologi. 

Bioteknologi sendiri menurut Carina adalah sebuah cabang ilmu yang memiliki ruang lingkup cukup luas. Bioteknologi merupakan cabang ilmu biologi yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, fungi, virus, dan lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol, antibiotic, asam organic) dalam proses produksi untuk menghasil barang dan jasa yang dapat digunakan atau memberi manfaat langsung bagi manusia. 

“Ruang lingkupnya luas, ada food biotechnology yang mempelajari tentang makanan. Ada lagi medical tentang obat-obatan dan vaksin. Ada juga animal biotechnology tentang cara-cara atau teknik-teknik baru untuk melestarikan hewan. Dan juga plant biotechnology yang mempelajari tentang penggunaan tumbuhan atau tanaman untuk aplikasi antara makanan dan medical,”terangnya. “Kalau biologi sendiri sebagai ilmu dasar hanya mempelajari teori-teori dasar ilmu hayat, namun tidak sampai mempelajari aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari,”lanjutnya. Meskipun biologi merupakan ilmu dasar, namun bagi Carina tetap penting dalam rangka membangun pondasi untuk pengamatan atau penelitian lebih lanjut. Sementara bioteknologi mempelajari aplikasi terapannya yang menunjang kehidupan manusia ke arah yang lebih baik.  

Umur 16 Tahun Merantau Ke Hong Kong

Carina hanya menjalani SMA dua tahun, karena ia masuk dalam kelas akselerasi(percepatan). Lepas dari bangku SMA Carina terbang jauh ke Hong Kong, melanjutkan studi sarjananya di Hong Kong University. Waktu itu bidang ilmu bioteknologi di Indonesia masih tergolong baru.  

“Yang saya tahu, ada riset-riset di perguruan tinggi di Indonesia, misal di Universitas Atmajaya. Namun yang memiliki mata kuliah-mata kuliah khusus bioteknologi belum ada. Sementara di Hong Kong sudah ilmu bioteknologi sudah berkembang cukup lama,”terang Carina. 

Seperti mahasiswa-mahasiswa lainnya di Hong Kong, selama kuliah Carina tinggal di asrama. Masa-masa awal menjadi perjuangan tersendiri bagi Carina. Usianya saat itu baru 16 tahun, dan sudah harus tinggal jauh dari orang tua dan keluarganya. 

“Waktu itu cuma saya sendiri orang Indonesia di Hong Kong University. Menurut kabar baru satu dua tahun Hong Kong University membuka pintu untuk orang luar Hong Kong. Maka tidak ada kawan yang bisa diajak bercakap dalam bahasa Indonesia,”tutur Carina. “Bahasa Inggris saya juga belum fasih. Saya di Indonesia saya tidak bersekolah di sekolah internasional, setiap hari berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Menulis dalam bahasa Inggris saya cukup bisa mengikuti, namun mengikuti kuliah dan berkomunikasi saya agak kagok,”lanjutnya. 

Carina menceritakan bagaimana susahnya ia mencari ruang kuliahnya karena kampusnya yang begitu luas. Sementara bertanya kepada orang lain tidak memungkinkan. Dalam pergaulan sehari-hari di luar kampus, Carina juga tidak selalu mudah berkomunikasi dengan orang lain, karena rata-rata orang Hong Kong menggunakan bahasa Canton yang tidak ia kuasai. 

Pelan namun pasti, seiring berjalannya waktu Carina pun mulai beradaptasi dengan lingkungan kampus dan tempat tinggalnya di Hong Kong. Semakin mendalami bioteknologi, Carina merasa makin banyak yang harus ia pelajari. 

“Menurut saya pada tingkat S1 dan S2 ilmu yang saya pelajari belum terlalu mendalam. Memang pada tingkat sarjana dan master teori ilmu yang diberikan banyak, tetapi kesempatan mengerjakan sesuatu di dalam laboratorium masih terbatas, lebih banyak teori kuliah dan ujian”terangnya. “Dalam setiap praktikum mahasiswa lebih banyak melihat apa yang dikerjakan demonstratornya (mentor),”lanjutnya. 

Menjadi Chef

Lepas memperoleh gelar sarjana dari Hong Kong University, Carina tidak langsung melanjutkan studi master dalam bioteknologi. Orang tuanya tampaknya kurang yaki bioteknologi adalah pilihan tepat Carina. Mereka menyarankannya untuk mengambil jalur kuliah lain yang berbeda. 

“Setelah memperoleh gelar sarjana, saya pindah ke Australia melanjutkan kuliah. Bukan dalam bidang bioteknologi, namun dalam commercial cookery, semacam pendidikan untuk calon koki atau chef,”terangnya. “Jadi saya punya dua tahun pengalaman formal di insitusi untuk belajar masak-memasak.” 

Setelah lulus Carina sempat bekerja di perhotelan sebagai seorang chef selama dua tahun, dan setelah dua tahun memutuskan keluar dari pekerjaan tersebut. Ia mengaku sebenarnya cukup senang dengan pekerjaannya di bidang hospitality, namun ia menganggap pekerjaan tersebut bukan panggilan hidupnya dan tidak sejalan dengan visi hidupnya. 

“Menurut saya, setiap koki pasti akan senang jika masakannya disukai dan dinikmati banyak orang. Tetapi ada tidakya masakan itu tidak akan mengubah hidup setiap orang. Setiap orang bebas pergi ke restoran manapun di mana masakannya dianggap enak,”katanya. 

Kembali ke Pangkuan Bioteknologi

“Tetapi yang saya inginkan adalah sebuah pekerjaan yang punya banyak impact ke masyarakat. Yang mempengaruhi dan bermanfaat bagi kehidupan banyak orang,”lanjutnya. Maka Carina memutuskan meninggalkan dunia masak-memasak dan kembali ke bioteknologi. Ia memutuskan mengambil master bioteknologi di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT), di Australia. 

Saat duduk di semester pertama perkuliahan, nampaknya sebuah perusahaan nasional Australia, Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO), melihat potensi dalam diri Carina. Sambil menjalankan perkuliahan, Carina ditawari magang kerja penuh di perusahaan tersebut. Sembari menyelesaikan kuliah, Carina banyak berkutat di laboratorium milik pemerintah Australia untuk melakukan berbagai pekerjaan penelitian.

Sebuah berkat luar biasa, ketika Carina menyelesaikan studi masternya, pimpinan perusahaannya memberinya penawaran untuk studi doktoral (Ph.D) dengan biaya ditanggung penuh CSIRO. Carina yang semakin mencintai bioteknologi menyambutnya dengan penuh antusias. Terlebih syarat yang diberikan perusahaan tidak terlalu kaku. 

“Syarat-syaratnya cukup bebas. Setelah selesai studi doktoral perusahaan memberi kebebasan saya memilih untuk tetap bekerja di CSIRO atau bekerja di luar Australia. Tidak ada ikatan yang kaku hanya saja selama menjalani studi doktoral (Ph.D) tersebut, saya membantu CSIRO secara penuh untuk menangani proyek-proyek komersial mereka, semacam proyek-proyek penelitian vaksin dan sebagainya,”terang Carina. 

Beda dengan para mahasiswa biasa atau ilmuwan pada umumnya, sedari tingkat master Carina sudah terbiasa bekerja dalam perusahaan bioteknologi yang menerapkan standar CGMP (Current Good Manufacturing Practies), artinya menghasilkan produk-produk yang langsung dimanfaakan manusia dengan standar yang tertinggi. Biasanya para mahasiswa hanya bekerja di laboratorium universitas, namun tidak berpengalaman dalam industri yang sebenarnya. 

Carina cukup mencintai pekerjaannya sebagai peneliti di CSIRO Australia. Namun, menjelang Carina menyelesaikan studi doktornya, pimpinan perusahaannya melihat potensi lebih besar dalam diri Carina. Ia ingin Carina semakin berkembang dan memberikan saran lain. Pimpinannya mengatakan senang dengan peran Carina di CSIRO, namun ia menganggap Carina akan lebih maju jika mencoba pengalaman-pengalaman baru di tempat lain, terutama di Eropa, agar Carina bisa memperluas wawasannya tentang berbagai teknologi baru. 

Pindah Ke Oxford

Maka Carina pun mencoba menyambut peluang tersebut. Meskipun belum terlalu antusias. Ada sebuah lowongan pekerjaan dari Oxford University yang membutuhkan seorang peneliti tingkat ahli (diutamakan yang baru lulus Ph.D), dan terutama memiliki pengalaman bekerja dalam standar CGMP untuk proyek-proyek besar. Artinya produksi massal namun dengan standar teknologi dan keamanan yang tertinggi. 

Tidak pernah terbayang dalam benak Carina bahwa lamaran kerjanya akan diperhatikan oleh pihak Universitas Oxford, sebagai salah satu perguruan tinggi terbaik di dunia. Namun, menjelang akhir tahun 2019 Carina dinyatakan lolos saringan dan bergabung dengan Jenner Institute, Departemen Clinical Medicine, Universitas Oxford. Carina tiba di Inggris beberapa bulan sebelum pandemi Covid-19 meledak. Namun, waktu itu belum terbayang ia akan terlibat dalam proyek penangan Corona, karena kedatangannya ke Jenner Institute mula-mula untuk mengerjakan pengembangan vaksin rabies yang akan diuji klinis di Inggris dan Tanzania. 

Akhir 2019, mulai terdengar kabar tentang virus baru yang menyerang di China. Namun, hingga Januari 2020 virus itu belum dianggap sebagai tantangan bersama secara global. Belum menjadi pandemi. Grup-grup kerja di Jenner Institute di mana Carina bekerja di dalamnya masih sibuk dengan berbagai proyek lain yang tidak kalah penting, seperti: uji klinis vaksin Mers, uji klinis vaksin Ebola dan beberapa proyek lainnya. 

Hingga sekitar akhir Januari atasan Carina di Jenner Institute mencetuskan ide pertama tentang perlunya membuat grup khusus untuk mengembangkan vaksin Corona. Atasannya menganggap virus Covid-19 cukup berbahaya dan Inggris perlu bersiap dari awal. Segera proposal-proposal untuk pengembangan vaksin dipersiapkan dan baru sekitar bulan Februari disetujui. Pihak Jenner Institute memandang virus Covid-19 berpotensi menimbulkan pandemi global. Jadi pihak institut perlu mempersiapkan satu teknologi viral vector untuk membuat vaksin Covid-19. Di Indonesia sendiri, di bulan yang sama virus di Wuhan masih ditanggapi dengan santai, sambil beranggapan lockdown di China akan membuka potensi pariwisata di Indonesia. Belum ada pengumuman warga yang terjangkit virus. 

Untuk sebuah kebijakan pembuatan prototipe vaksin, perlu persetujuan dari banyak pihak, baik dari pemerintah maupun dari internal Universitas Oxford. Di lingkungan internal sendiri, menurut Carina, selain grup-grup di Jenner Institute, persetujuan harus datang juga dari Board Director (kelompok pengawas) dari para ahli di Universitas Oxford. Pertengahan februari setelah berbagai persiapan dan proposal disetujui, pihak Jenner Institute baru kemudian menerima sampel-sampel virus Covid-19. Padahal Cina sendiri sudah sejak bulan Januari mempublikasikan genom sequence dari virus Covid tersebut. Berdasarkan publikasi dari Cina tersebut, para ahli sebenarnya sudah bisa membuat dugaan karakter, tipe, tingkat keganasan dari virus tersebut. Dan berdasarkan publikasi tersebut, pihak Jenner Institute mulai bisa memodifikasi rancangan vaksin sesuai informasi yang diperoleh dari Cina. Namun, baru setelah sampel-sampel vaksin itu diperoleh, tim baru bisa bekerja dengan vaksin yang dibuat sendiri. 

Memangkas Birokrasi Mempercepat Produksi

Biasanya tahapan produksi sebuah vaksin mulai dari pengajuan proposal, penelitian awal, uji klinis hingga menjadi vaksin permanen memakan waktu yang tidak singkat, minimal 10 tahun, bahkan ada yang 20 tahun. Dalam kasus Covid-19, tim peneliti di berbagai belahan dunia, termasuk tim dari Jenner Institute, Universitas Oxford bekerja keras dan mampu menghasilkan vaksin dalam jangka waktu sekitar satu tahun. BIsakah vaksin yang dikerjakan dalam waktu setahun dipastikan standar tinggi keberhasilan dan keamanannya? Carina menjawab agak tegas saat ditanyakan hal ini. Mungkin dirinya merasa agak kesal dengan beberapa kalangan yang meragukan kualitas vaksin Corona. 

“Mungkin saya perlu meluruskan terlebih dahulu. Dalam kasus vaksin-vaksin lain perlu waktu 10 sampai 20 tahun karena birokrasi yang lama, feedback dari badan kesehatan tak jarang juga lama. Pada keadaan normal setiap tahapan uji klinis tim pembuat vaksin harus mengajukan permohonan dana lagi untuk uji klinis tahap berikutnya, dan hal ini sering membutuhkan waktu tidak sebentar,”terangnya. 

“Untuk kasus vaksin Covid-19, penanganannya lain, karena dikerjakan dalam situasi darurat. Karena situasi yang mengancam banyak nyawa, semua pihak berusaha bekerja sama dan berjuang bersama dengan baik,”tuturnya. “Setelah prototipe dibuat, kemudian dilakukan uji klinis, badan kesehatan tidak perlu waktu lama untuk memberikan data-data hasil uji klinis. Uji klinis langsung diupload ke website Departemen Kesehatan, dan mereka juga pada hari itu menyampaikan feedback berupa masukan-masukan atau informasi kebutuhan-kebutuhan pada tahapan berikutnya. Jika pada pembuatan vaksin normal, tahapan demi tahapan dikerjakan satu persatu, tahap demi tahap, dalam situasi pandemi tahapan pengerjaan dan uji klinis dilakukan secara paralel. Tahapan pertama belum selesai kita sudah memasuki tahapan selanjutnya, karena kita memang berpacu dengan waktu dan bahkan boleh dikatakan kita tidak memiliki waktu lagi,”lanjutnya. 

Carina menegaskan tim yang mengerjakan vaksin Covid tidak pernah melewati jalan pintas dan tetap mengerjakan semuanya dalam standar yang tertinggi untuk kepentingan masyarakat. Dengan memangkas birokrasi dan tersedianya dana yang cukup dari pemerintah maupun yayasan-yayasan donor membuat pekerjaan menjadi berkali lipat lebih cepat. 

Di Indonesia banyak komentar dari para penerima vaksin baik yang menerima pada tahap 1 dan 2 atau yang mendapatkannya ketika menerima booster. Mereka yang divaksin dengan vaksin Astra Zenecca sering mengeluhkan demam, pegal dan mengantuk berat. Tentang ini Carina menyatakan agar masyarakat tidak perlu khawatir. Karena efek samping yang disebutkan tersebut bisa dikatakan sebagai gejala normal orang menerima vaksinasi dan merupakan tanda vaksin bekerja dengan baik untuk merangsang sistem imun tubuh.  

Kuncinya adalah Ketekunan

Sekarang Carina sudah dikenal oleh banyak orang. Berbagai penghargaan diterimanya, terutama di Inggris. Banyak anak muda mungkin bermimpi tinggi ingin menjadi seperti Carina yang dari usia remaja sudah menjelajah berbagai penjuru dunia. Tentang hal ini Carina mencoba menyemangati anak-anak muda Kristen untuk tidak takut mengejar cita-cita sesuai panggilan hidup mereka. Meskipun perjuangan yang harus dilalui tidak selalu mudah, namun Carina meyakinkan bagi yang memiliki tekad kuat dan mau berjuang pasti tidak akan menemui penyesalan. 

“Pada tahap awal pasti sangat sulit, tapi kalau memang niat kita belajar tentu harus bertekun. Yang utama kita harus selalu ingat tujuan awal kita bersekolah di luar negeri. Kita harus fokus dan terus konsisten dengan tujuan tersebut,”tutur Carina. Namun Carina sendiri juga mengungkapkan, sekali-kali bersantai dan jalan-jalan bersama teman-teman tidak menjadi masalah, asalkan semua tugas perkuliahan sudah diselesaikan. 

“Selanjutnya jangan pernah melupakan didikan orangtua, sekolah, dan gereja. Meskipun kita hidup dan tinggal di luar negeri kita harus menjaga hidup kita tetap kudus. Jangan mengikuti pergaulan dunia yang mungkin kurang benar di hadapan Tuhan,”lanjutnya. 

Carina bersyukur orang tuanya mendidiknya cukup keras dalam hal ketekunan beribadah, berdoa dan hidup berlandaskan Alkitab. Demi menguatkan dasar iman yang baik, selain di dalam keluarga dan juga melalui gerejanya di Gereja Nafiri Allah, Carina disekolahkan orangtuanya di sekolah Kristen. 

Di luar kegiatannya yang padat sebagai ilmuwan dan peneliti, Carina aktif bersosialisasi dengan mahasiswa-mahasiswa atau pekerja lainnya, misalnya dalam PPI Oxford (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Oxford. Mereka sering mengadakan pertemuan-pertemuan bersama untuk berbagi pengalaman dan bertukar informasi. Di luar kegiatan tersebut, saat sedang santai Carina lebih sering membaca buku. Selain buku-buku sains dan bioteknologi, Carina juga senang dengan berbagai novel bergenre science fiction. Beberapa novel klasik pun digemarinya, seperti: Trilogi Lord of The Rings (J.R.R. Tolkien) maupun The Chronicles of Narnia (C.S. Lewis).

Melepas Hak Mendapatkan Profit

Bekerja di Jenner Institute, Universitas Oxford, mewujudkan impian Carina yang menginginkan bahwa pekerjaannya bisa membawa manfaat yang dirasakan bagi banyak orang. “Saat saya memilih bidang bioteknologi yang mensyaratkan saya lebih banyak bekerja di laboratorium ataupun melakukan uji klinis, paling tidak hasilnya bisa saya lihat secara langsung ketika dilakukan uji klinis,”tuturnya. Ada rasa kebahagiaan di hati Carina setiap kali melihat hasil karyanya bisa dirasakan manfaatnya oleh banyak orang. Demikian juga ketika jerih lelahnya mengerjakan vaksin Covid-19 mampu menyelamatkan banyak orang di seluruh dunia. 

Saat ini vaksin Oxford-Astra Zenecca merupakan vaksin yang paling banyak diproduksi dan tersebar di seluruh dunia. Ada lebih dari 1,5 miliar dosis vaksin Oxford Astra Zenecca yang didistribusikan ke berbagai belahan bumi. “Saya sangat bangga dengan kerja kami yang memungkinkan produksi vaksin dilakuksan di lebih dari selusin tempat di lima benua, dengan sejumlah besar vaksin dikirim ke berbagai negara di luar Amerika Utara dan Eropa,”demikian pernyataan atasan Carina, Dr. Sandy Douglas, yang merupakan Ketua Tim Manufaktur dari Jenner Institute. Produksi massal tersebut dimungkinkan karena penemuan dari Carina lewat formula “30 ml sel” atau yang popular belakangan sebagai formula “dua sendok makan”. Dengan hanya dua sendok makan sel memungkinkan diproduksi vaksin hingga sepuluh kali lipatnya. Dan ini menjadi langkah maju untuk produksi massal. 

Lebih luar biasa lagi, pemilik paten Universitas Oxford melakukan kontrak kerja sama dengan Aztra Zeneca sebagai produsen vaksin, dengan klausul kalau nanti penelitian vaksin Covid-19 berhasil, vaksin akan didistribusikan tanpa profit selama masa pandemi. Pihak Astra Zeneca pun setuju, karena masalah Covid adalah masalah global dan kemanusiaan. Carina sebagai salah satu penemu paten dari 6 paten lainnya pun setuju. 

“Puji Tuhan pihak Astra Zeneca juga bersedia. Kita sebagai anggota tim tentu saja setuju dengan keputusan dari Universitas Oxford. Salah satu alasan terbesarnya karena kita sadar, ada negara-negara yang kaya dan bisa punya kemampuan ekonomi yang kuat. Mereka mudah saja membeli vaksin dalam jumlah besar. Sementara ada juga negara berkembang, dengan tingkat kesulitan ekonomi untuk membeli vaksin secara massal. Baik negara yang kaya maupun berkembang sama-sama membutuhkan vaksin untuk masyarakatnya. Untuk keluar dari pandemi semua orang harus diberikan kemudahan akses untuk menggunakan vaksin.  Jadi ini bukan hanya hak negara kaya saja. Kita mengerti kebutuhan itu dan karenanya Universitas Oxford memutuskan untuk bisa mendistribusikan vaksin ini tanpa profit,”terang Carina.  

Perjuangan 18 Jam Sehari

Carina mengungkapkan proses produksi vaksin Covid-19 tidak semudah yang tampak dalam berbagai pemberitaan. Prosesnya panjang. Carina mencoba memberikan contoh dengan menceritakan proses yang terjadi di dalam timnya sendiri, yaitu tim manufacturing vaksin. Saat itu hanya ada dirinya sendiri yang bekerja di laboratorium. Situasinya serba tidak memadai. Karena pandemi situasi di Inggris sedang lock down. Maka tim tidak bisa merekrut tenaga kerja dari luar, terlebih lagi tidak tersedia dana yang cukup untuk merekrut orang baru. Penggalangan dana belum ada, harus menunggu izin dan turunan dana dari pemerintah. 

“Situasinya juga serba darurat. Pihak Jenner Institute belum tahu harus mencari sumber pendanaan dari mana, sedangkan proyek harus segera berjalan. Tidak ada dana, tidak ada waktu, tidak ada tenaga kerja,”kenangnya. “Tim manufacturing hanya ada satu project manager dan satu supervisor dan mereka tidak ada di dalam laboratorium. Yang ada di dalam laboratorium cuma saya sendiri,”lanjutnya. 

Manager proyek dan supervisor lebih sibuk dalam urusan administrasi dan menghubungi pihak-pihak donator agar dana penelitian tersedia. Carina di dalam laboratorium setiap harinya bekerja keras selama 18 jam sehari untuk mencapai deadline yang sudah dijadwalkan. Situasi yang darurat tidak membolehkan Carina keluar dari laboratorium. Bisa dibayangkan kelelahan dan kepenatan pikiran yang dialami Carina bekerja 18 jam sehari, selama belasan hari. Sendirian dan dalam kesunyian.  

Prosesnya seperti berkejaran dengan waktu. Uji klinis vaksin sudah dijadwalkan sementara vaksin belum tersedia. Vaksin harus segera dapat diproduksi dalam skala besar. Dan itu adalah tanggung jawab bagian manufacturing untuk menemukan caranya penggandaan vaksinnya. Carina menyebut menemukan prototipe atau calon vaksin barulah langkah awal. Untuk uji klinis prototipe tersebut harus bisa digandakan sebanyak-banyaknya dengan kualitas terbaik dan setara. Karena kebutuhan yang mendesak, proses pengerjaan tidak bisa ditunda dan diundur jadwalnya. 

“Karena tekanan yang begitu besar, pada suatu titik saya bicara pada supervisor saya, saya sudah tidak sanggup dan ingin keluar dari pekerjaan ini,”tutur Carina. 

Supervisornya bisa memahami perasaan Carina. Kalaupun Carina keluar dan produksi vaksin tertunda, mereka juga tidak mungkin menyalahkan Carina. Karena Carina telah berjuang melakukan segala upaya sendirian di dalam laboratorium dengan ekstra keras. Bahkan jauh melebihi batas limit dari pekerjaan yang tertera dalam kontrak kerja. Supervisor Carina, Dr. Sandy Douglas, bukan seorang Kristen. Kebanyakan yang bekerja di Jenner Institute pun adalah ateis, tidak percaya kepada Tuhan. 

Supervisornya berkata demikian,” Carina kita sama-sama tahu pekerjaan ini sungguh berat. Namun, kita bersekolah dan bekerja bertahun-tahun sebenarnya gunanya untuk momen-momen seperti ini. Untuk mengembangkan vaksin. Kalau kamu keluar, proyek ini berhenti. Banyak orang akan meninggal gara-gara virus ini dan kita perlu menyelamatkan mereka.”

Carina pun berpikir, jika bossnya yang bukan pengikut Kristus saja ingin memberikan yang terbaik untuk menyelamatkan banyak orang, terlebih lagi dirinya yang seorang Kristen. Memberikan yang terbaik adalah ciri pengikut Kristus yang sejati. Membiarkan orang-orang meninggal dan tidak terselamatkan menurut Carina bukan perilaku yang bertanggung jawab. Pelayanan menurut Carina berarti melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab. 

Sejak itulah semangat Carina bangkit kembali.  Carina sekarang merasa tidak sendirian lagi. Bukan hanya karena supervisornya yang selalu berkomunikasi via video call dan mengiriminya makanan tiga kali sehari ke laboratorium. Carina meyakini Tuhan akan menolongnya bekerja menghasilkan yang terbaik untuk menolong banyak orang. Ia pantang menyerah sebelum menemukan formula untuk menggandakan vaksin hingga akhirnya ia menemukan metode atau formula “30 ml” atau formula “dua sendok makan”.

Berbagai penghargaan telah diterima Carina dan rekan-rekannya dari Tim Jenner Institute, Universitas Oxford atas keberhasilan tim menemukan dan memproduksi vaksin.Salah satunya yang diberitakan secara luas adalah penghargaan Pride of Britain, yang merupakan special revenation atau semacam penghargaan khusus dari masyarakat dan pemerintah Inggris untuk mengapresiasi kerja dari Tim Universitas Oxford tersebut. Selain Pride of Britain, belakangan masih banyak penghargaan-penghargaan lain yang diterima tim atas karya mereka yang menyelamatkan jutaan nyawa di seluruh dunia. Bahkan pimpinan-pimpinan grup leader dari peneliti vaksin Astra Zeneca menerima gelar kebangsawanan dari Kerajaan Inggris. Tentang hal ini Carina sambil tertawa mengatakan, sayangnya ia bukan bagian dari warga negara Inggris, sehingga tidak ikut memperoleh gelar kebangsawanan. 

Saat ditanyakan tentang arti kesuksesan, Carina cukup lama terdiam, kemudian menjawab pelahan,”Saya gak tahu apakah saya sudah sukses, bahkan saya sebenarnya tidak mengerti juga apa arti kesuksesan. Menurut saya pribadi, saya belum menjadi orang sukses. Namun, dalam keadaan saya yang sekarang ini dibandingkan dengan saya yang dahulu, sekarang saya lebih memiliki tanggung jawab. Tanggung jawab kepada pekerjaan, kolega, kepada pihak universitas dan kepada masyarakat dengan berbagai proyek yang saya tangani.” 

Carina lebih memilih rendah hati dan ingin terus belajar, agar hidupnya dapat menjadi berkat bagi lebih banyak orang. Dia merasa prestasinya sekarang belum ada apa-apanya.

"Awalnya saya tidak menyangka, dari eksperimen 30 mililiter atau dua sendok makan sel, bisa menghasilkan vaksin lebih dari satu miliar dosis dan dengan target tiga miliar dosis (pada akhir tahun) untuk suplai ke seluruh dunia.” 

"Tapi, saya tidak merasa bangga atas hasil yang saya capai. Saya merasa perlu banyak belajar dari atasan saya dan profesor yang lain," tambahnya. "Menurut saya ini adalah awal permulaan saja. Masih panjang jalan yang harus saya tempuh untuk menjadi orang hebat." 

"Saya melakukan pekerjaan saya sesuai job description tapi saya lakukan ekstra. Tapi untuk bangga, saya harus banyak belajar dari atasan dan profesor saya yang lain, saya masih jauh untuk bisa bangga untuk pekerjaan saya. Saya belum ada apa-apanya," kata Carina lagi.

Sebagai peneliti muda, Carina punya mimpi besar. Suatu saat ingin menjadi pimpinan atau memiliki perusahaan sendiri. Menjadi pimpinan perusahaan farmasi seperti Astra Zeneca. Ia berharap nantinya perusahaan yang akan ia bangun lebih mengutamakan kemanusiaan di atas profit. 

“Pandemi Covid-19 memberikan saya banyak pelajaran. Kalau kebutuhan masyarakat begitu tinggi dan kita bisa menolong, sebaiknya kita melakukan distribusi obat atau vaksin tanpa profit. Beberapa program vaksin yang lain saya lihat menjual vaksinnya secara mahal, yang menyebabkan banyak negara tidak mampu membeli vaksin tersebut. Padahal kebutuhan saat itu sangat mendesak dan mengancam nyawa,”terangnya.

“Banyak perusahaan yang dalam pandemi Covid-19 meraup untung miliaran dollar. Kekayaan sebesar ini hanya dirasakan segelintir orang. Sementara jutaan orang menderita. Saya pikir prinsip (dagang) seperti ini tidak tepat. Harus lebih banyak perusahaan mengambil langkah seperti Astra Zeneca, yang mendahulukan kemanusiaan di atas profit. Nah, keputusan seperti itu kan hanya bisa diambil oleh pimpinan Astra Zeneca. Jadi saya juga ingin suatu ketika bisa memimpin perusahaan farmasi dan ikut mengarahkan kebijakan yang mengutamakan kemanusiaan di atas profit,”lanjutnya. 

Di akhir percakapan Carina berpesan bagi anak-anak muda Indonesia yang ingin mengambil langkah hidup menjadi ilmuwan atau peneliti seperti dirinya. 

“Untuk menjadi ilmuwan atau peneliti yang perlu sekali dikembangkan adalah rasa ingin tahu. Namun, dari awal kita harus menyadari bahwa tidak semua ilmuwan akhirnya menjadi terkenal atau berhasil.  Banyak ilmuwan lain yang sudah bekerja keras, penelitiannya pun penting tapi tidak terekspose oleh media,”tuturnya.

“Hidup ilmuwan tidak selalu indah, tapi perlu kerja keras, ketekunan dan banyak pengorbanan. Belum lagi masa studi yang dibutuhkan dari S1, S2, S3 hingga post doctoral demikian lama. Dibandingkan pekerjaan lain, gaji ilmuwan juga tergolong rendah. Untuk dapat bertahan, kita harus fokus pada dua tujuan, yaitu selalu memiliki rasa ingin tahu dan berusaha untuk menjadi berkat bagi sesama. Hidup untuk memberikan impact bagi banyak orang,”lanjutnya.

Carina menyebut setiap orang yang ingin sukses harus memiliki semangat. Akan banyak orang memberikan masukan negatif ataupun meragukan kemampuan kita. Daripada menanggapi setiap komentar negatif, Carina mengusulkan untuk menjawabnya dengan kerja keras dan prestasi. Lewat prestasi setiap orang dapat membuktikan hidupnya memberi manfaat bagi banyak orang dan memuliakan nama Tuhan.