Goresan Spiritual Dalam Hidup Gogor Purwoko

Goresan Spiritual Dalam Hidup Gogor Purwoko

 

Beberapa waktu lalu kami mewawancarai pelukis aliran surealis Gogor Purwoko. Dalam bahasa Jawa, Gogor artinya anak harimau. Meskipun Gogor dikenal lembut, ramah dan santun, di dalam dirinya tergambar sifat-sifat raja rimba tersebut. Keputusannya untuk memilih seni rupa sebagai jalan hidup, menunjukkan keberaniannya untuk mencoba dan mengambil keputusan. Ia pantang menyerah menekuni jalan yang tidak popular, berliku dan sunyi di aliran abstrak. 

Gogor menyebut laku hidupnya sebagai pelukis ini tak lepas dari panggilan dan jalan Tuhan. Meskipun jalan yang ia tempuh mungkin agak berliku. Pria kelahiran Lumajang, Jawa Timur, 50 tahun silam ini sejak kecil sudah suka menggambar. Di bangku SMP dan SMA dirinya hampir selalu terlibat dalam dekorasi dan desain panggung pertunjukan 17-an, pentas seni maupun kegiatan-kegiatan lain di lingkungan tempat tinggal dan sekolah. 

Lulus SMA, Gogor berhasrat melanjutkan studi ke jurusan seni rupa, hanya saja pada masa itu orang tuanya lebih menyarankan untuk memilih jurusan yang lain. Mungkin didasari pemikiran kepastian mencari lapangan pekerjaan. Gogor hanya taat dan kemudian melanjutkan studinya ke Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Universitas Brawijaya. 

“Sebenarnya inginnya masuk ke seni rupa, hanya saja demikianlah mungkin jalan dari Tuhan. Sekarang saya bersyukur, bahwa jalan yang berkelok panjang itu malah membuat saya lebih diperkaya. Saya tidak memperoleh pendidikan secara formal, namun talenta pemberian Tuhan tersebut tidak hilang, terus saya asah dan kembangkan, dan sekarang menjadi satu jalan bagi saya untuk menghayati dan mencari kesejatian hidup,”tuturnya. 

Bagi Gogor seni memang bukan sekadar olah rasa keindahan, namun juga pencarian. Pencarian akan kesejatian dan inspirasi hidup dari Sang Pencipta. Seni bukan sekadar alat menunjukkan eksistensi namun lebih dalam menjadi jalan mencari makna hidup dan membangun spiritualitas diri. 

Lulus kuliah Gogor merantau ke Jakarta. ”Saya datang ke Jakarta pada Oktober 1993, setelah diterima bekerja sebagai supervisor di pekerjaan konstruksi Gedung di Roxy Mas,” kata Gogor. 

“Setelah lulus kuliah saya hanya menganggur dua hari. Ada tiga perusahaan pada waktu itu yang langsung menawari saya pekerjaan. Pertama United Tractor untuk ditempatkan di Kalimantan. Kedua, saya sudah lupa, dan yang ketiga panggilan dari Total di Jakarta. Ibu saya menyarankan agar jangan terlalu jauh merantau ke luar Jawa. Saya mengikuti keinginan Ibu. Jadilah saya kemudian bekerja di Jakarta,”lanjutnya. 

Mengambil Jalan Lain

Di sela pekerjaan konstruksi itulah, Gogor kerap menyempatkan diri menyaksikan pameran-pameran seni rupa, khususnya di Taman Ismail Marzuki. Setiap melihat pameran karya-karya seni rupa, selalu muncul pemikiran dan ide-ide baru dalam benaknya. Ada kesegaran batin yang terus tumbuh. Gogor mulai kerap membuat sketsa-sketsa di setiap proyek pembangunan perumahan yang dikerjakannya. Tak jarang ia menjadikannya sebagai lukisan. Tidak ada tujuan lain selain mengikuti dorongan kata hati. Hingga tahun 2003 ia mulai berkenalan dan menggabungkan diri dengan komunitas para perupa di Pasar Seni Ancol.

Sejak itulah Gogor mulai rutin melukis dan menghasilkan karya. Gogor mulai dikenal dan secara bertahap mulai terlibat dalam berbagai pameran seni rupa. Gogor memiliki alasan tersendiri mengapa memilih jalur abstrak dalam berseni rupa. 

”Saya merasakan kebebasan dan rasa yang dinamis di dalam berkarya. Saya merasa dapat berbahasa di sana (lukisan abstrak),” kata Gogor.

Hingga tahun 2005, meskipun rutin berpameran, Gogor masih berkarya di dunia perumahan. “Orang mungkin mengira saya sudah berganti jalan hidup, karena semakin rutin berpameran. Padahal saya sebenarnya juga bekerja. Hanya memang stok lukisan saya pada waktu itu cukup banyak,”jelasnya. 

Sampai suatu ketika, Gogor merasa momen dan waktunya sudah tepat untuk mengambil keputusan. “Saat saya melukis dan berinteraksi dengan orang banyak, saya seperti merasa memiliki kesempatan atau opportunity yang lebih dari sekadar saya masuk di dalam satu tanggung jawab pekerjaan,”tuturnya. Gogor tidak terburu-buru mengambil keputusan. Ia menimbangnya masak-masak. Setiap mengambil keputusan penting dalam hidupnya Gogor senantiasa berusaha melibatkan Tuhan melalui doa. 

“Dalam banyak keputusan penting, saya memohon tanda dari Tuhan, dan saya mempercayai bahwa Tuhan akan memberikan petunjuk,”terangnya.”Jadi saat mau masuk lebih dalam ke dunia seni rupa, saya pun berdoa. Padahal dari pekerjaan di proyek perumahan boleh dikatakan saya dan keluarga mendapatkan kecukupan untuk hidup,”lanjut Gogor. 

Waktu itu memang Gogor sudah berkeluarga. Menurut suami dari Lestari Wijayanti ini, dukungan keluarganya baik keluarga inti maupun keluarga besarnya mulanya hanya fifty-fifty (50-50). Setengah mendukung, setengah ragu. Maklum, sebagian besar orang sering masih meragukan masa depan para seniman. Tapi keluarganya menghormati setiap keputusan yang diambil oleh Gogor. 

Keberanian Mengembangkan Talenta

Dalam berbagai kesempatan Gogor seringkali menyebut, satu-satunya isme di dalam perjalanan hidup dan kreativitasnya adalah keberanian. Keberanian untuk memutuskan dan melangkah adalah kunci bagi pekerja seni. Keputusannya untuk mengambil jalan menikung juga berbekal keberanian. Namun, keberaniannya bukan muncul spontan dan emosional semata. Gogor selalu meyakini dalam setiap keinginan baik Tuhan pasti akan memberikan jalan dan tuntunan. 

“Saya memohon tanda dan  pimpinan Tuhan, kalau saya harus memilih total masuk ke seni rupa apa yang harus dilakukan. Hingga suatu ketika, tanda itu hadir melalui sebuah lukisan saya. Sebuah lukisan lama yang pernah saya pajang dalam pameran lima tahun sebelumnya. Tiba-tiba ada seseorang yang menelepon saya dan mengatakan lukisan itu mau dikoleksi oleh seorang kolektor. Saya berpikir ini sungguh luar biasa, masih ada yang mengingat lukisan saya lima tahun yang lalu. Bagi saya ini sebuah tanda dan konfirmasi,”kata Gogor. 

Tidak mudah menjawab keraguan keluarga. Namun, ketimbang banyak bicara, Gogor pilih menjalani pekerjaannya di dunia seni dengan sungguh-sungguh. Gogor meyakini Tuhan senantiasa memberikan jalan bagi anak-Nya yang mau berjuang dan berupaya. “Memang tuntunan-Nya tidak selalu tampak meyakinkan, karena di dunia seni, saya tidak menerima pekerjaan seperti sistem order. Saya hanya membuat karya dan terus berpameran,”terangnya. “Setiap waktu kita harus terus mengasah ide, menghadirkan kebaruan. Kebaharuan itu tidak hanya dalam karya, tapi juga bagaimana membuat suatu pola kerja maupun mengkomunikasikannya,”lanjutnya. 

Gogor menuturkan di era pandemi Covid-19, banyak pameran mesti ditunda ataupun tidak dapat diselenggarakan. Tidak mudah menghadirkan momen-momen pertemuan dengan para kolektor. Para seniman mesti berjuang bukan hanya untuk gigih berkarya melainkan bagaimana mencari cara agar karya tersebut dapat dilihat dan diapresiasi oleh para penikmat seni.  

Gogor menyiasati kesulitan berpameran misalnya dengan membuat pola-pola baru mengkomunikasikan karya, misalnya dengan melukis di galeri dan bisa langsung dilihat oleh para pengunjung. Dengan demikian banyak orang menjadi tahu proses ia berkarya. 

“Dengan melukis langsung di depan pengunjung, ide-ide dan tema-tema lukisan juga bisa disampaikan dan didiskusikan dengan audiens. Saya tidak selalu berpikir bagaimana sebuah lukisan terjual, namun yang utama gagasan dan ide saya sampai kepada audiens,”tuturnya. 

Sebelumnya, dalam pameran-pameran karya-karya seniman yang muncul lebih banyak diinterpretasi melalui tulisan atau pernyataan kurator penyelenggara pameran. Tak hanya melukis di depan audiens, Gogor kini juga berdialog dengan para penikmat seni melalui akun-akun media sosial yang dimilikinya. Melalui cara-cara ini Gogor seperti ingin menunjukkan bahwa setiap seniman perlu memiliki keberanian untuk memanfaatkan media-media dan pola-pola baru berkomunikasi. Terlebih di era pandemi, ketika pertemuan-pertemuan langsung sangat dibatasi. 

Seperti namanya, Gogor, yang artinya anak harimau. Bagi Gogor satu-satunya isme atau aliran adalah keberanian. Keberanian untuk terus mencoba, keberanian melangkah, keberanian bertahan menjalani laku hidup. 

Ketekunan Gogor menjalani karya sejalan ajaran Kristus dalam Perumpamaan tentang Talenta dalam Matius 25: 14-30. Setiap orang yang diberikan karunia, bakat atau talenta oleh Tuhan. Setiap orang mesti bertekun, mengasah talenta pemberian Tuhan dan memiliki keberanian untuk menggandakan talenta yang Tuhan anugerahkan. Hamba yang jahat tidak memiliki keberanian untuk melangkah dan berjerih lelah, ia memilih diam tanpa usaha dan menimbun talenta yang diberikan Sang Tuan. Sementara hamba yang baik memilih berjuang dan mencoba mengusahakan talenta pemberian Tuannya agar semakin hari talenta yang diterimanya semakin berkembang dan berbuah. 

“Saya tidak bisa menyatakan diri berbangga jika saya masih bisa bertahan sampai hari ini. Sekarang pun saya masih terus berjuang dan menggumuli jalan hidup ini. Yang bisa saya bagikan mungkin hanya karena kemurahan Tuhan saja kalau sampai hari ini saya masih melukis, masih bisa menjalankan ibadah. Saya memandang Tuhan memberikan kepada setiap orang karunia atau pemberian yang berbeda-beda. Setiap orang diberikan Tuhan peran masing-masing dalam kehidupan. Karena keyakinan ini saya hanya bisa menjalani panggilannya dengan setia, dan tidak perlu minder dengan orang-orang yang mungkin dikaruniai penghasilan atau gaji yang lebih besar,”kata Gogor. 

“Saya yakin bahwa panggilan yang saya lakoni ini juga merupakan jalan saya memuliakan Tuhan,”lanjutnya. “Hari demi hari saya mencoba melewatinya selangkah demi selangkah, step by step. Sambil terus berusaha mendengarkan bisikan Tuhan. Bisa jadi hari ini saya masih melukis. Besok mungkin saya dipanggil untuk melakukan suatu karya yang lain. Jujur saja bahkan beberapa hari yang lalu saya ditawari sebuah pekerjaan lain dengan gaji rutin. Saya tidak perlu harus merasa bersalah, jika akhirnya tiba-tiba jalan saya berbelok dari seni rupa dan melakukan pekerjaan tersebut. Yang utama saya selalu berusaha memohon pimpinan Tuhan setiap mengambil keputusan dalam hidup,”terangnya. 

”Suwung”

Pernah Gogor mengangkat tema “Blank On” dalam sebuah pamerannya. Kurator Andi Suandi dalam catatan kuratorialnya pada pameran tersebut menggambarkan Blank On sebagai kekosongan atau dalam bahasa Jawanya suwung. Akan tetapi, di dalam kekosongan yang sesungguhnya tetap ada isinya. Isi itu kosong, kosong itu isi.

Suwung diperoleh dari upaya pengendalian diri dan menjaga kesadaran sejati akan diri yang berkaitan dengan ketuhanan,” demikian ujar Andi. Lebih lanjut Andi menyatakan dalam catatannya, Blank On atau Suwung dibahasakan bukan sebagai kekosongan terhenti dan terdiam. Suwung adalah capaian tersendiri. Ketika bisa mencapai tingkatan itu, hidup akan mengalir dan mengikuti petunjuk ”rasa sejati” yang ada di dalam diri kita.

Suwung menghasilkan kesadaran ’rasa sejati’ yang jauh dari pengaruh nafsu,” kata Andi. Dari situ pula Andi memberi makna kondisi suwung sebagai pencapaian tertinggi. Bahkan, suwung itu tujuan akhir berkehidupan. Dengan mengosongkan diri berarti pula menyatukan diri dengan yang ilahi.

Bukankah Kristus yang selama ini menjadi Tuhan dan inspirasi hidup Gogor pun mengajarkan teladan mengosongkan diri? Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi menulis demikian,” Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”(Filipi 2: 5-8).

Kristus yang adalah Tuhan mengosongkan diri, artinya dengan sengaja meletakkan atributnya sebagai Allah Yang Mahatinggi, melepaskan semua hak-hak istimewanya, dan mengambil rupa seorang hamba, seorang budak. Teolog F.B. Meyer menulis, melalui jalan hening mengosongkan diri Kristus mengajarkan kebergantungan mutlak kepada Allah Bapa. Mengosongkan diri, menurut Kristus ditandai dengan melepaskan diri dari segala belenggu nafsu, merendahkan diri, taat, setia mengikuti dan menjalani kehendak Allah Bapa, Sang Pencipta.  

Suwung ditandai ketika kita tidak lagi merasakan gelisah, khawatir, sakit hati, dendam, iri, dengki, dan terlepas dari sifat negatif lainnya,” ujar Andi Suandi lagi. Di dalam kekosongan atau suwung itulah Gogor menuangkan warna menjadi lukisan-lukisan abstrak. Gogor setia menempuh jalan kekosongan dengan menuangkan narasi kehidupan selaras kehendak alam.

Dalam sebuah lukisannya yang diberi judul ”Cakrawala” (2016), Gogor memberikan keterangan demikian,”Batas cakrawala memisahkan lautan dan awan menggantung. Bias warna oranye keemasan, garis teduh tipis membentang menjadi horizon yang selalu mengundang semua makhluk menyambut pagi.” Gogor juga menambahkan, burung yang tak pernah mengenal not-not, interval, birama, ketukan, selalu berhasil mempersembahkan lagu baru yang tak pernah sama. Tak riuh, tipis saja, tak harus dikenang namun selalu  indah.

Melalui seni rupa, Gogor sebagai seorang pengikut Kristus, ingin berbagi bahwa ajaran Kristus, nilai-nilai kristiani sesungguhnya juga merupakan nilai-nilai universal umat manusia, yang melintasi batas waktu, kasta, budaya dan bahkan agama. Karena di dalam ajaran Kristus tergambar nilai-nilai kasih, kemanusian, kebersamaan, dan kepedulian. “Kita bisa mengambil contoh tentang Perumpaan Orang Samaria yang baik, bagaimana orientasi kafir dan non kafir bisa Yesus gambarkan sebagai sesuatu yang naif, yang bodoh,”terang Gogor. 

Jangan Sekadar Ikut-ikutan

Bagi anak-anak muda yang ingin ambil jalan menjadi seniman Gogor berpesan, agar mereka memilih jalan tersebut bukan karena ikut-ikutan atau emosional. Mereka harus tekun belajar dan membekali diri dengan baik. Gogor percaya bahwa kesenian khususnya seni rupa pun bisa menjadi bagian dari agen perubahan di dalam masyarakat. Menjadi inspirator atau penggerak ke arah kehidupan yang lebih baik. Bagi anak-anak muda Kristen, Gogor berpesan agar dalam setiap jalan yang mereka pilih, mereka bisa menjadi teladan dalam kebaikan. Bukan sekadar penyaluran hobi atau talenta, namun memuliakan Tuhan melalui karya yang dihasilkannya. 

“Tentu menjadi penggerak kebaikan tidak mudah, saya sendiri belum mencapai ke sana. Sampai hari ini saya masih terus berproses,”terang Gogor. 

Hidup manusia memang adalah sebuah proses yang tidak pernah berhenti. Selagi Tuhan memberikan waktu dan kesempatan, kita terus berjuang, berkarya, bertekun, setia dan bertumbuh mengikuti kehendak Sang Empunya Kehidupan. Tentu saja kita setuju dengan pernyataan Gogor Purwoko. Setiap orang dipanggil untuk menjadi agen kebaikan. Setiap orang dipanggil untuk memuliakan Tuhan melalui karya dan pelayanan yang dipercayakan kepada kita. Apapun panggilan dan jalan hidup yang kita pilih. Selamat berkarya.