Henri Nouwen: Hidup untuk Berbela Rasa

Henri Nouwen: Hidup untuk Berbela Rasa

 

Aku teringat akan mereka yang berjalan pagi-pagi buta menuju pasar atau ladang, yang berharap menjajakan sesuatu, atau yang berjuang memperoleh pekerjaan yang akan memberikan sesuatu kepada mereka cukup untuk hari berikutnya. Aku teringat merasa bersalah ketika duduk di jok mobil dan kulihat begitu banyak orang sedang berjalan kaki, kadang-kadang dengan kaki telanjang. 

Dalam hidupku berjalan kaki amatlah jarang. Selalu saja ada pesawat, kereta api, mobil, dan bus yang mengantar aku dari satu tempat ke tempat yang lain. Kaki-kakiku amat jarang menyentuh debu-debu bumi; senantiasa ada kendaraan beroda yang membawa aku dengan mudah. Dalam duniaku (negara maju-red), tidak banyak orang yang berjalan. Dalam duniaku orang pergi dari satu tempat ke tempat lainnya dengan mengunci kamar rapat-rapat sambil mendengarkan kaset-kaset favorit. Hanya sesekali saja orang bertemu dengan orang lain di tempat parkir, supermarket, atau tempat jajanan fast food.

Yesus berbeda dengan saya. Yesus berjalan dan terus berjalan. Yesus berjalan dari desa ke desa. Di dalam perjalanan, Dia berjumpa dengan oragn miskin. Dia bertemu peminta-minta, orang buta, orang sakit, orang-orang yang berduka dan orang-orang yang harapannya pupus…Yesus mendengarkan dan penuh perhatian dengan orang-orang yang seiring sejalan dengan-Nya. Dia berterus-terang tetapi ramah, menuntut tetapi sangat mudah mengampuni; bertanya tetapi sangat sopan.  Yesus solider dan berbela rasa dengan mereka yang miskin dan terpinggirkan…Allah mengutus-Nya untuk mewartakan kabar gembira kepada orang-orang miskin, mencelikkan mata orang buta dan membebaskan para tawanan.Yesus wafat dan bangkit untuk semua orang tanpa perbedaan. Yesus mengasihi semua orang.

Petikan di atas di ambil dari buku “Berjalan Bersama Yesus”karangan Henri J.M. Nouwen. Henri adalah penulis terkenal di dunia internasional, profesor yang dihormati, dan pastor yang dicintai banyak orang. Henri Nouwen menulis lebih dari empat puluh judul buku mengenai kehidupan rohani yang telah menginspirasi dan memberi rasa nyaman begitu banyak orang di seluruh dunia. 

Tulisan-tulisan Henri sarat dengan pesan-pesan spiritual dan ajakan berbela rasa dengan sesama. Sepanjang hidup Henri berkeliling ke berbagai tempat, mengajar dan mengajak untuk membela dan berbela rasa dengan mereka yang lemah: buruh kecil, korban-korban perang, anak-anak yang kelaparan, suku-suku yang terpinggirkan, orang-orang tua yang kesepian, hingga mereka yang berkebutuhan khusus. Sejak ia meninggal pada 1996, jumlah pembaca dan peneliti karya-karya tulisnya malah semakin meningkat. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari dua puluh dua bahasa di seluruh dunia. 

Henri lahir di Nijkerk, Belanda, pada 24 Januari 1932. Ia belajar filsafat, psikologi dan teologi di Nijmegen. Nouwen ditahbiskan sebagai imam pada 1957 dan kemudian menjadi pastor di Katedral Utrech. Pada 1964, Henri berangkat ke Amerika untuk melanjutkan studi di Religion and Psychiatry Program di Klinik Menninger. Di sini ia berharap untuk memiliki sebuah pemahaman yang lebih baik tentang hidup dan penderitaan manusia. Dari sana Nouwen dipercaya untuk mengajar di Universitas Notre Dame dan kemudian di  Institut Pastoral di Amsterdam. Setelah beberapa lama mengajar di Amsterdam, Nouwen ditugaskan untuk mengajar di Divinity School, Sekolah Teologi di Yale dan Harvard, tempat kelas-kelasnya termasuk yang paling popular di kampus.

Buku-bukunya bahkan autobiografinya, mencerahkan dan menginspirasi pembacanya untuk menemukan jalan spiritual mereka sendiri bertemu dengan Allah. Karya Nouwen bukan hanya dibaca kalangan rohaniwan, tapi melintas batas dan menjadi pemandu banyak pribadi dari beragam latar belakang: para bankir Wall Street, politisi dan profesional, petani di Peru, guru, wartawan, pemimpin agama di Asia, menteri, hingga juru rawat. 

Tulisan-tulisan Henri Nouwen lahir dari kedekatannya dengan Kristus, meskipun menurut penulis buku Seri Selamat, buku-buku Nouwen jarang mencantumkan acuan Alkitab. Kalimat-kalimat Henri sederhana, namun mendalam. Ia mengajak pembacanya untuk membaca bukan hanya membaca dengan nalar namun juga dengan hati. Henri datang ke Harvard dengan membawa semangat Rasul Paulus yang tujuan akhir dari pekabarannya adalah menjelaskan tentang Yesus dengan cara lugas dan sederhana. 

Michael O’Laughlin salah seorang rekan sepelayanannya di Harvard menceritakan, setiap kali Nouwen mengajar ruang kuliah penuh dengan mahasiswa. Banyak di antara mereka meneteskan air mata mendengarkan pengajarannya, sesuatu yang langka ditemui di kelas-kelas Harvard. Henri selalu mempunyai cara istimewa untuk membuat Injil menjadi hidup. 

Di luar jam rutinnya mengajar dan menulis, Henri melakukan perjalanan ke banyak tempat sepanjang hidupnya. Di berbagai tempat ia mengajar banyak topik seperti pelayanan dan perawatan, kasih sayang, perdamaian, penderitaan, kesendirian, masyarakat, pengharapan, sekarat dan kematian. 

Dalam bukunya Yang Terluka dan Yang Menyembuhkan, Henri menyatakan seorang pelayan kristiani (guru, dokter, perawat, aktivis sosial, aktivis gereja, rohaniwan, bahkan seluruh umat) yang pekerjaannya adalah mendampingi dan memulihkan orang lain, sebenarnya dia sendiri adalah orang yang terluka. 

“Kehausan orang akan cinta kasih juga ada dalam hati kita, ….kebengisan orang lain sebenarnya juga terpendam dalam relung terdalam hati kita.” Lebih lanjut ia katakan“…kebutuhan untuk dimaafkan tercermin pada selaput mata orang lain, perasaan benci kita bergerak-gerak pada bibir orang lain…Yang membunuh bukan cuma mereka, tetapi juga kita, sebaliknya ketika mereka memberikan hidup, kita pun sebetulnya dapat memberikan hidup kita.”

Tugas pelayan kristiani karena itu adalah “mengayun langkah pertama penyembuhan bagi orang lain, dengan cara sang pelayan itu membalut lukanya sendiri dengan cermat…ia harus merawat lukanya sendiri dahulu supaya bisa memulihkan luka orang lain. Ia adalah yang terluka yang menyembuhkan. 

Henri mengajak kita untuk jujur kepada diri sendiri. Sering kali kita berpretensi memulihkan orang lain, seolah-olah kita lebih baik dari orang lain dan bersih dari luka. Kita ingin membersihkan noda dari hidup orang lain, padahal kita sendiri sesungguhnya juga ternoda. Karena itu menurut Henri, langkah pertama menjadi seorang pelayan Kristus adalah mengakui kenyataan bahwa kita juga memerlukan pemulihan. Memahami dengan baik luka kita sendiri akan memungkinkan kita menolong orang lain menyembuhkan lukanya. 

Henri tinggal dan mengajar di Harvard hanya selama dua tahun. Ia mengaku merasa tidak betah. Padahal Universitas Harvard melambungkan namanya menjadi sosok pengajar berkaliber internasional.  Pada waktu itu Henri juga sudah menjadi penulis terkenal yang buku-bukunya best seller. Ia merasa penat,  tidak nyaman, dan bahkan begitu tertekan sampai pada titik krisis. Henri menunggu Allah memberikan petunjuk di mana ia harus berada dan apa yang harus ia lakukan. 

Ketika panggilan itu datang, ia harus memulai sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia diminta untuk menjadi pastor pendamping di Daybreak, Komunitas L’Arche di Toronto, Kanada. L’Arche adalah komunitas iman ekumenis yang memberi kesempatan kepada kaum muda untuk tinggal dan melayani di dalam komunitas orang-orang cacat mental. Banyak orang terkejut Henri mengalihkan pelayanannya di tengah-tengah orang-orang yang tidak peduli dan mengerti dengan ketenaran atau kemampuannya. 

Apa yang membuatnya memilih jalan lain ke L’Arche? Semua diawali perjumpaannya dengan poster lukisan Rembrant yang terkenal: “Kembalinya Si Anak Hilang” yang merupakan refleksi sang seniman besar kepada kisah perumpamaan Yesus dalam Injil.

Henri menulis demikian: “Saat pertama kali melihat “Kembalinya Si Anak Hilang” saya barus saja selesai memberikan kuliah keliling di Amerika selama enam minggu yang sangat melelahkan.” Dalam kuliah-kuliah tersebut Henri mengingatkan komunitas-komunitas kristiani untuk mencegah kekerasan dan peperangan yang terus terjadi di Amerika Tengah. Setelahnya ia merasa amat lelah, sehingga hampir tidak mampu untuk bangkit dan berjalan. Ia merasa cemas, kesepian, gelisah dan merasa tidak berarti. 

Perjalanannya ke berbagai tempat sebagai penceramah dan juru damai membuatnya merasa bagaikan pahlawan keadilan dan perdamaian, yang mampu menghadapi dunia kelam tanpa rasa takut. Tapi setelahnya yang ditemukan hanyalah jiwa yang rapuh, yang rindu merangkak ke pangkuan ibu dan menangis. Bagaikan kisah anak bungsu yang pergi jauh dan tersesat di negeri asing kemudian rindu pulang ke rumah. Tulisnya: “Sesungguhnya, saya adalah seorang anak yang kehabisan tenaga setelah perjalanan panjang, saya merindukan pelukan, saya mencari sebuah rumah yang dapat memberi rasa aman. Menjadi anak yang pulang ke rumah, itulah saya dan yang saya inginkan.”

Sekian tahun ia pergi ke berbagai tempat untuk menantang, memohon, menegur, menghibur. Sekarang yang ia inginkan hanya beristirahat dengan tenang, di suatu tempat di mana ia dengan tulus merasakan diterima dalam kelompok. 

“Melihat pelukan Bapa kepada anak bungsu yang pulang dalam lukisan Rembrant membawa saya kepada sesuatu yang jauh mengatasi kesibukan hidup dengan segala dinamikanya, sesuatu yang mengungkapkan kerinduan rohani umat manusia, kerinduan untuk kembali ke asal, kerinduan keselamatan yang pasti, rumah peristirahatan yang abadi,”terangnya. 

Pengalaman L’Arche mengubah Henri sepenuhnya. Awalnya Henri mengalami pelayanannya di komunitas  cacat mental itu sebagai tempat yang tidak menenangkan dan membuat ia melucuti diri. Gaya hidup dan pengandaian-pengandaiannya ditantang secara mendasar. Sebagai orang biasa yang biasa berkomunikasi menggunakan kata-kata, ia tiba-tiba sadar dirinya berada di tengah orang-orang yang tidak bisa menangkap kata. Sebagai orang yang biasa bekerja dan berkeliling dunia, tiba-tiba ia sadar berada di tengah orang-orang yang tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Cara pandang kehidupan Henri berubah seiring pemahamannya terhadap keadaan rentan orang-orang di sekelilingnya. 

Hal pertama yang Henri lakukan ketika tiba di Komunitas Daybreak adalah mencari tempat memasang poster lukisan Rembrant “Kembalinya Si Anak Hilang”. Kapan saja ia berdoa, membaca, menulis atau berbicara kepada setiap orang ia dapat melihat lukisan Bapa yang menyambut dan memeluk anaknya yang hilang.  Gambar itu menginspirasi dan mengubah perjalanan rohaninya. 

Meskipun awalnya ia ragu apakah mampu bertahan di tengah komunitas cacat mental tersebut, Henri sadar saatnya telah tiba. Setelah lebih dari dua puluh tahun mengajar, Henri meyakini bahwa tiba saatnya percaya bahwa Allah mengasihi orang-orang miskin rohani dengan suatu cara khusus dan bahwa mereka yang berkebutuhan khusus pun dapat menginspirasi dan memperkaya kehidupannya. Bahkan mungkin lebih banyak dari yang bisa diberikan Henri kepada mereka. 

Suatu mujizat terjadi di Daybreak. Henri yang adalah pengajar dan guru terkenal menyadari bahwa orang-orang yang cacat dan terluka ini menjadi guru-gurunya. Bahkan Adam, seorang yang tidak dapat bergerak, tidak dapat berbicara, bahkan tidak bisa membuat kontak mata, dirasakan menyampaikan pesan tertentu dari Roh Kudus kepada Henri. Henri mendengarkan dan belajar. Alkitab kemudian mempunyai makna baru bagi Henri. Di L’Arche inilah muncul sebagian besar gagasan-gagasan utama Henri mengenai Injil. Di sini ia menulis beberapa bukunya yang paling baik. Pesannya semakin sederhana dan semakin berpusat pada Kristus. 

Dalam salah satu tulisannya berjudul “Hidup Rohani” Henri menulis demikian,”Apa arti hidup secara rohani bagi Anda?”Saya akan menjawab,”Hidup dengan menempatkan Yesus di pusat pribadi saya. Secara khusus ini berarti bahwa yang semakin penting adalah mengenal Yesus dan hidup dalam kesetiakawanan dengan Dia.”

Henri mengakui ada masa ketika dirinya terbenam dengan begitu banyak permasalahan tentang gereja dan masyarakat sehingga seluruh hidupnya menjadi semacam rentetan diskusi yang mencemaskan dan melelahkan. Pada masa-masa itu ia mengakui Yesus tersingkir di bagian belakang dan hanya sekadar tambahan. Di mana pun Yesus ditempatkan sebagai pusat, damai sejahtera akan hadir. 

Dalam tulisannya lain yang berjudul “Jalan Allah Yang Tersembunyi” Henri menulis: “Kristianitas telah menjadi satu di antara agama-agama besar dunia, dan jutaan orang mengucapkan nama Yesus setiap hari. Menjadi sulit bagi kita untuk percaya bahwa Yesus mewahyukan Allah dengan cara yang tersembunyi. Baik hidup maupun kematian dan kebangkitan Yesus tidak dimaksudkan untuk mengejutkan kita dengan kuasa Allah yang besar. Allah dalam diri Yesus adalah Allah yang rendah, tersembunyi dan hampir tidak terlihat.”

Lebih lanjut ia menjelaskan,”Ia datang kepada kita sebagai anak kecil, tergantung kepada perhatian dan perlindungan orang lain. Ia hidup bagi kita sebagai pengkhotbah miskin, tanpa mempunyai kekuasaan politik, ekonomi, atau militer apapun. Ia mati bagi kita di kayu salib sebagai penjahat yang tidak berguna. Dalam keadaan yang amat rendah inilah keselamatan kita diperoleh. Buah dari hidup yang lemah dan miskin ini adalah hidup abadi bagi semua orang yang percaya kepada-Nya.”

Henri menyebut jalan keselamatan yang direncanakan Allah adalah jalan kelemahan. Isi kabar gembira Injil adalah justru bahwa Allah menjadi kecil dan rendah dan karena itu menghasilkan buah di antara kita. Hidup yang paling patut diteladani, hidup yang paling berbuah adalah hidup Yesus, yang tidak mempertahankan kesetaraan dengan Allah, tetapi menjadi sama dengan kita (band. Flp. 2:6-7). 

Sepanjang hidupnya Yesus meneladankan hidup yang berbela rasa dengan sesama. Berbela rasa bukan ditunjukkan dengan keangkuhan, kekuatan, atau kekuasaan melainkan dengan pengosongan diri. Merendahkan hati, mengosongkan  diri yang didasarkan pada ketaatan-Nya melaksanakan kehendak Bapa di surga. 

“Hubungan pribadi saya dengan Yesus adalah jantung keberadaan saya. Belum pernah saya mengalaminya sejelas ini. Mengenai Yesus inilah terutama saya ingin menulis bagi Anda, dan menuliskannya dengan cara yang sangat pribadi,”katanya. 

Rahasia perumpamaan Yesus “Kembalinya Anak Yang Hilang” menurut Henri bukan sekadar terletak pada niat dan tindakan si anak bungsu yang menyadari kesalahannya, bertobat dan pulang ke rumah bapanya. Orang Kristen bukan hanya dipanggil untuk meneladani tindakan anak bungsu yang rindu pulang ke rumah dan kembali ke pelukan bapanya. Orang Kristen menurut Henri semestinya belajar meniru Sang Bapa. Panggilan sejati setiap pengikut Kristus adalah meneladani Sang Bapa, seperti yang dilakukan Kristus. Seorang bapa yang tidak pernah bertanya, namun selalu memberi dan mengampuni tanpa pernah berharap imbalan dan berhitung untung rugi seperti anak sulung. 

Bagi Henri itulah inti berita Injil, manusia yang dipanggil untuk mencintai, sama seperti yang dilakukan Allah. Kita semua dipanggil untuk mencintai satu sama lain dengan cinta tanpa pamrih seperti Bapa di surga yang memberikan matahari dan hujan untuk semua orang tanpa berharap balasan. Seperti apakah manusia sejati yang memiliki ketaatan penuh kepada Sang Bapa? Henri mengajak kita semua untuk makin hari semakin mendekat dan mengikuti hidup dan gaya hidup Kristus. 

Dalam perenungan di L’Arche, Henri semakin meyakini Yesus adalah teladan sejati bagaimana bersikap sebagai seorang anak di dalam keluarga Allah. Yesus bagaikan anak bungsu yang tidak pernah memberontak. Dia juga adalah si anak sulung yang tidak pernah punya rasa iri. Dalam segala hal Ia taat kepada Bapa, tetapi tidak pernah menjadi budak. Dia mendengarkan semua yang dikatakan Bapa, tetapi tidak membuat diri-Nya menjadi hamba. Dia melaksanakan semua kehendak Bapa tetapi dia bebas sepenuhnya. Yesus memberikan segalanya dan Ia menerima segalanya. 

Perjuangan melangkah dan meneladani Kristus menurut Henri bukan sebuah perjuangan yang instan dan sekali jadi. Namun, perjuangan terus menerus, menapak langkah demi langkah sepanjang hidup. Pertanyaan Henri sama dengan kita,”Mampukah saya mendorong si anak bungsu dan si anak sulung yang ada di dalam diri saya tumbuh dan berkembang ke arah kematangan bapa yang penuh belas kasih?

Setelah bertahun-tahun tinggal di tengah komunitas cacat mental Henri semakin meyakini bagaimana Allah membentuk dirinya untuk membangkitkan peran kebapaan yang merawat, menopang, melindungi, memeluk, menolong, membimbing dan mengasihi. 

Henri tinggal di Daybreak selama sepuluh tahun. Ia meninggal pada 1996. Meskipun banyak orang berduka, namun rekan-rekan sepelayanannya menganggap kematiannya terjadi pada waktu yang tepat Karena ia sudah menulis salah satu bukunya yang paling baik yang menginspirasi hidup jutaan orang: “Kembalinya Si Anak Hilang”. Sebuah buku yang menyentuh hati sehingga Hillary Clinton menyarankan agar mereka yang sedang mengalami masa-masa sulit dalam hidup mereka membaca buku tersebut. Hillary sendiri membaca buku tersebut pada masa-masa yang paling gelap ketika tinggal di Gedung Putih. 

Halaman terakhir bukunya menunjukkan ucapan syukur Henri atas kesempatannya untuk tinggal dan melayani di tengah Komunitas L’Arche. 

“Dengan melihat orang-orang yang tinggal bersama saya, orang cacat baik pria maupun wanita dan para pembantunya, saya menyaksikan kerinduan terbesar akan seorang bapa, di mana kebapaan dan keibuan menjadi satu. Mereka telah menderita karena pengalaman ditolak dan ditinggalkan. Mereka terluka saat mereka tumbuh.  Mereka semua ragu-ragu apakah mereka berharga untuk kasih Allah yang tanpa syarat. Dan mereka mencari tempat di mana mereka dapat dengan aman kembali dan disentuh oleh tangan-tangan yang memberkati mereka,”terangnya. 

“Ketika saya melihat tangan saya yang tua ini, saya menyadari bahwa sepasang tangan ini dianugerahkan kepada saya untuk direntangkan kepada siapa saja yang menderita, untuk diletakkan di bahu mereka yang datang dan untuk menawarkan berkat yang bersumber pada kasih Allah yang besar.”