MENGELOLA ALAM UNTUK KEBERLANGSUNGAN HIDUP

MENGELOLA ALAM UNTUK KEBERLANGSUNGAN HIDUP

 

Ketika orang Israel mulai menetap di tanah Kanaan, mereka mendapati bahwa orang-orang di sana telah mengolah lahan sejak lama, sehingga selanjutnya merekapun kemudian menjadi petani juga. Kebanyakan orang pun juga menggantungkan kehidupannya dari tanah. Di dalam Alkitab pun terdapat refrensi mengenai pertanian.

Bercocok tanam menjadi pekerjaan yang dilakukan oleh Adam dan Hawa ketika berada di taman Eden “untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej. 2:15). Kain pun bercocok tanam, sedangkan Habel menggembalakan kambing domba (Kej. 4:2). Begitupun dengan Nuh yang mula-mula membuat kebun anggur (Kej. 9:20).

Ada beberapa aspek dari hukum Taurat yang mengatur kehidupan pertanian. Sebagai contoh:

  • Kepedulian yang harus ditunjukkan bagi hewan di tempat kerja (Ul. 22:10) atau yang membutuhkan pertolongan (Ul. 22:1-4).
  • Pemilik bertanggung jawab atas tindakan hewan mereka (Kel. 21:28-36).
  • Seorang petani yang membakar lalang bertanggung jawab jika api menyebar dan mengakibatkan tanaman tetangga hancur (Kel. 22:6).
  • Pada saat panen, hasil tanaman harus disisakan di tepi ladang untuk orang miskin (Ul. 24:19-22).
  • Setiap tahun ketujuh (tahun Sabat), tanaman harus dibiarkan kosong (Im. 25:1-7, 18-22), dan setiap tanaman yang tumbuh harus dibiarkan untuk orang miskin dan hewan (Kel. 23:10-11).

Mengenai tahun Sabat, istilah ini mengacu kepada ketentuan yang dibuat mengenai Tanah Perjanjian. Di dalam Imamat 25:2 dinyatakan bahwa tanah harus mendapat perhentian. Sesudah 6 tahun masa tanam, pemeliharaan dan panen, tanah dibiarkan tidak ditanami selama 1 tahun. Makna untuk tidak mengolah tanah pada setiap tahun ke-7, tidak hanya terletak pada prinsip-prinsip kimia pertanahan, tetapi juga pada pernyataan bahwa istirahat pada tahun ke-7 itu adalah sabat peristirahatan, baik untuk tanah maupun untuk Allah. 

Sejalan dengan ini unsur-unsur lain perlu diperhatikan, yaitu bahwa manusia bukanlah satu-satunya pemilik tanah, dan ia tidak memiliki hak milik untuk selama-lamanya, tetapi mempunyainya dalam kepercayaan di bawah Tuhan (Im. 25:23). Prinsip-prinsip ajaran yang mengandung sifat moral dan ajaran praktis ini masih sangat relevan untuk diterapkan di dunia masa kini dengan menyesuaikan konteks yang ada.

 

Albert Tambunan, dari berbagai sumber