Pdt. Guruh Jatmiko Septavianus: Melayani Hingga Emeritus

Pdt. Guruh Jatmiko Septavianus: Melayani Hingga Emeritus

Bagian 2

Awal 2020 Pandemi Covid-19 datang, menyebar dengan cepat dan mengakibatkan kematian yang tinggi di berbagai daerah di Indonesia. Terornya terasa begitu dekat dan menakutkan setiap orang. Apalagi ditambah berbagai berita di televisi, surat kabar maupun situs-situs berita nasional yang menampilkan pemakaman korban Covid, sirene ambulans yang meraung-raung tanpa henti menambah rasa was-was dalam hati. 

Gereja dipaksa secara tiba-tiba untuk mengubah liturgi atau tata ibadah dari tatap muka menjadi virtual–tanpa interaksi langsung. Pada 15 Maret 2020, Ketua Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Pdt. Gomar Gultom mengeluarkan arahan bagi semua denominasi Gereja Kristen di bawah naungan PGI untuk mulai menjalankan model ibadah secara virtual (e-church), antara lain melalui video streaming maupun siaran radio, yang kemudian menuai banyak protes dari kalangan umat maupun para tokoh Gereja. Gereja rata-rata belum siap mengubah bentuk peribadahan dari langsung menjadi virtual. 

Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kwitang tempat Pdt. Guruh Jatmiko melayani juga mengalami kegamangan situasi tersebut. Awalnya Majelis masih bingung apa yang hendak dilakukan. Namun, seiring berjalannya waktu gereja mulai beradaptasi dan bersiap untuk menerima perubahan. 

“Pandemi yang datang mendadak betul-betul menghajar kami. Kami sempat kebingungan pada awalnya. Kami merasa tidak siap,”terang Pdt. Guruh. “Begitu pemerintah mencanangkan untuk menjalankan ibadah dari rumah, kami, pendeta jemaat, dan para majelis gereja menggumulkannya bersama. Pada akhirnya keputusan menyelenggarakan WFH (Worship from Home) adalah pilihan terakhir yang diambil meskipun sulit. 

Maka, mulai 3 Maret 2020, GKI Kwitang menyelenggarakan ibadah secara online. Persekutuan yang selama ini dilangsungkan dengan tatap muka dan seruang bersama, sekarang hadir melalui dunia maya. Jabat tangan dan pelukan kasih digantikan simbol emoticon dan salam jarak jauh. Disadari ibadah dalam jaringan jelas berbeda dibanding ibadah langsung (onsite).

“Saya beberapa kali berdialog dengan beberapa anggota jemaat, dan mereka mengatakan kurang sreg dengan ibadah online. Mereka mengatakan seperti menonton TV. Ibadah dari rumah membuat mereka seperti merasa tidak punya tanggung jawab spiritual yang khusus,”kata Pdt. Guruh. “Kalau di rumah sering kali terjadi distraksi, misal dari suara tetangga sebelah atau gangguan lainnya. Pemahaman bahwa Tuhan hadir dalam ibadah jemaat menyadarinya, namun kekhidmatan menurut warga jemaat jauh berbeda dibanding hadir langsung di gereja,”lanjutnya. 

“Sampai tiga bulan pertama sejak bulan Maret 2020 ibadah online boleh dikatakan masih kocar kacir. Tetapi kami banyak ditolong oleh rekan-rekan warga jemaat yang berlatarbelakang ilmu informatika atau teknologi informasi (IT). Mereka yang punya latar belakang dan kemampuan ilmu tersebut berkumpul dan mulai mempersiapkan sebuah penyelenggaraan ibadah online dengan kualitas yang lebih baik,”tuturnya. 

GKI Kwitang juga belajar bagaimana meningkatkan kualitas ibadah online dari Yayasan Komunikasi Bersama (YKB), yayasan yang dimiliki oleh Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan secara rutin menghadirkan tayangan ibadah Minggu bagi umat di kanal YouTube. Ternyata untuk menyelenggarakan ibadah online yang berkualitas pun membutuhkan investasi dan harganya menurut Pdt. Guruh tidak murah. Namun, karena tingkat kepentingannya gereja pun mengadakan sarana prasarana peribadahan jarak jauh tersebut. 

 

Sport Jantung Di Masa Pandemi

Selain perubahan dalam peribadahan, pandemi juga menghadirkan beberapa pengalaman lain bagi Pdt. Guruh. Sebelum pandemi, saat ada orang sakit yang menghubungi minta didoakan, dirinya tinggal datang ke rumah sakit, menyapa langsung, memegang tangan yang sakit dan mendoakan. Di masa pandemi, ada pembatasan dan jarak yang memisahkan. Maka layanan doa hanya bisa dari rumah secara telepon atau video call. Maka bagi Pdt. Guruh era pandemi juga berarti HP harus selalu aktif dalam 24 jam. Sebagai pendeta dan gembala umat beliau selalu harus siap siaga menerima permintaan tolong atau doa dari warga gereja. 

“Selama pandemi ini  kami begitu sering mengalami sport jantung. Karena ketika telepon masuk itu kemungkinannya ada tiga. Pertama, ada orang ingin didoakan karena pergumulan tertentu. Yang kedua, adalah berita duka. Yang ketiga, permohonan dari warga jemaat untuk dicarikan rumah sakit, baik untuk perawatan maupun isolasi. Jika ada yang menelpon di atas jam 10 malam, tak jarang kami deg-degan betul berita apa yang akan masuk. Kami berharap berita yang membawa harapan dan bukan kedukaan. Situasi puncak pandemi menjadi pengalaman tersendiri bagi kami,”katanya. 

Masa –masa pandemi yang panjang Pdt. Guruh berjuang dan bergumul bagaimana melayani dan mendampingi warga jemaat dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Bagaimana memberikan harapan di tengah rentetan kesulitan. “Tak jarang dengan warga saya melakukan ideo call. Kami bisa saling melihat wajah. Kami bisa juga berdoa bersama-sama. Saya secara pribadi mulai mendorong anggota jemaat untuk setia dalam doa. Namun, model model berdoanya bukan hanya memohon. Tetapi lebih banyak bersyukur,”tuturnya. 

Maka lahirlah program Perteduhan Jiwa, yang disiarkan secara rutin di kanal YouTube. Pdt. Guruh mengajak bagaimana di dalam kehidupan ini melihat segala hal dari kacamata positive thinking. Menurutnya, dengan memandang segala hal secara positif kita akan dimampukan untuk selalu bersyukur. 


Sang misteri

Selain mengembangkan dan memantapkan liturgi peribadahan di GKI Kwitang, Pdt. Guruh sejak lama mengembangkan pembinaan pasangan suami istri yang sering disebutnya “Sangmisteri”. Awalnya hanya untuk kalangan warga jemaat di GKI Kwitang. Namun, sesudahnya banyak warga dari gereja-gereja lain yang tertarik untuk mengikuti pembinaan ini. 

“Warga jemaat seringkali melihat saya dan Bunda (istri Pdt. Guruh-red.) memiliki ikatan yang begitu lekat. Bahkan sejak di jemaat yang kami layani sebelumnya, di GKI Ajibarang, kami disebut pacaran selamanya. Karena kemana-mana kami selalu bersama, bergandengan, bahkan tidak sungkan berangkulan. Di GKI Kwitang beberapa warga melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda. Mereka menduga kami telah mengikuti pembinaan khusus untuk pasangan suami istri. Ya, kami memang mengikuti pembinaan seperti itu, namun bukan seperti yang pernah diikuti oleh teman-teman di GKI Kwitang atau GKI pada umumnya. Kami belajar langsung dari Marriage Encounter (sebuah pembinaan yang diselenggarakan Gereja Katolik untuk pasangan suami istri). Saya banyak mengambil bahan dari Marriage Encounter tersebut dan kemudian saya modifikasi sesuai kebutuhan jemaat,”terangnya. 

Biasanya orang memberi akronim pasutri untuk pasangan suami istri, namun Pdt. Guruh dan istrinya mengistilahkannya sebagai Sangmisteri, pasangan suami istri. Pdt. Guruh memandang dalam kehidupan suami isteri selalu ada misteri. Selalu ada hal-hal yang tidak terduga. 

“Kehidupan pernikahan itu sebenarnya adalah sebuah perjalanan yang penuh misteri. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi esok hari. Hari ini kita akur, besok apakah kita suami istri berantem kita tidak pernah tahu. Maka dalam pembinaan suami istri ini kami lebih nyaman dan lebih indah mengatakan akronimnya “Sangmisteri”,”terangnya. 

“Alasan kedua bahwa di GKI kwitang sendiri istilah pasutri itu sudah punya konotasi tertentu. Bahwa disebut pasutri kalau sudah mengikuti satu pembinaan tertentu. Padahal di GKI Kwitang ada pasangan suami istri yang belum ikut pembinaan khusus suami istri. Jangan sampai mereka yang belum ikut pembinaan merasa aku belum pasutri yang sah. Padahal sudah ikut pembinaan ataupun belum ikut pembinaan karena sudah menikah, mereka adalah pasangan suami istri (pasutri),”lanjutnya.  

Hingga sekarang Pdt. Guruh dan istri sudah menyelenggarakan Retret Sang Misteri hingga angkatan ke-7. Di masa pandemi retret ini untuk sementara ditunda pelaksanaannya. Pada masa angkatan 1 dan 2 semua pesertanya masih murni warga GKI Kwitang. Karena banyak warga yang memperoleh dampak positif dari pembinaan ini mereka kemudian menginformasikan kepada sahabat ataupun saudara mereka di tempat lain. Mulai angkatan ke-4 mulai dibuat semacam flyer yang disebarkan melalui facebook dan whattsapp, dan ternyata semakin banyak orang yang tertarik mengikutinya. Setiap kali pelaksanaan Pdt. Guruh membatasi peserta yang boleh ikut 25 pasangan. “Lebih dari 25 pasangan tidak akan berjalan efektif,”tuturnya. 

Berkaca dari kehidupannya sendiri, Pdt. Guruh memandang tinggi sosok istrinya. Orang yang tidak bisa dipisahkan dari pelayanannya di tengah jemaat.  Orang yang bisa dengan jujur memberikan masukan dan membuatnya lebih baik dari hari ke hari. 

“Istri dalam bahasa Jawa namanya garwa, orang jawa bilang, “sigaraning nyawa” artinya setengah nyawa atau hidup kita. Itu betul betul saya rasakan. Istri bukan hanya jadi pelengkap tetapi justru menjadi suporter yang utama. Makanya banyak teman-teman di GKI Kwitang mengatakan kalau ada istri saya di Gereja tetapi saya tidak terlihat, pasti mereka akan bertanya, Pak Guruh dimana? Karena hampir di setiap kegiatan kami hadir berdua. Istilah peribahasan jawa, kaya mimi lan mintuno. Kalau di situ ada saya pasti ada Bunda. Karena Bunda bagi saya memang bukan hanya sekadar jadi pendamping, tetapi juga menjadi tokoh yang memberikan masukan yang luar biasa. Bunda adalah sosok yang paling jujur,”katanya. 

“Misalnya ketika saya berkhotbah, tidak ada warga jemaat bisa memberi masukan yang setajam atau sepedas Bunda. Tanpa sungkan ia mengingatkan: suaramu kurang keras, ilustrasinya baik tapi lebih baik lagi kalau begini. Ia bukan hanya mengkritik tapi juga menawarkan solusi. Bahkan sampai kepada mempersiapkan microphone di gereja. Kalau misalnya mic-nya kurang tepat maka Bunda akan memberikan kode tertentu kepada saya. Kalau saya pakai stola miring, pasti Bunda juga segera memberi kode. Pada dirinya saya menemukan sosok penolong yang sepadan. Bagi saya pribadi ini adalah karunia yang luar biasa dari Tuhan,”katanya. 

 

Mendukung Pelayanan LAI

Pdt. Guruh seperti halnya GKI Kwitang sejak lama mendukung pelayanan LAI dalam menerjemahkan dan menyebarkan Alkitab ke berbagai pelosok Nusantara. Perkenalan Pdt. Guruh dengan LAI sudah berlangsung dari sekitar 30-an tahun yang lalu. 

“Sekitar tahun 1995, ketika saya masih mahasiswa UKDW, saya menjalani praktik pelayanan di GKI Taman Cibunut, Bandung. Kebetulan salah seorang anggota majelis gereja dan aktivis pelayanan di sana adalah seorang tenaga sukarelawan pelayanan LAI. Namanya Ibu Indrawati. Beliau tergabung dalam Kelompok Kerja Penggalangan Dukungan (KKPD) LAI Mitra Bandung. Beliau sejak awal 1990-an sudah aktif mendukung pelayanan LAI terutama dalam program Satu Dalam Kasih (SDK). Saya banyak mengenal pelayanan LAI dari beliau. Ketika saya kembali ke kampus, kadangkala Ibu Indra masih mengirimi surat yang didalamnya ada brosur SDK-nya. Informasi-informasi tentang program pelayanan LAI masih terus dikirim oleh Ibu Indra bahkan ketika saya sudah menjadi pendeta dan melayani di GKI Ajibarang. Pernah juga suatu ketika ada sosialisasi visi misi dan program pelayanan LAI di Gedung Bina Kasih, milik GKI Gatot Subroto, Purwokerto. Saya hadir di sana dan bertemu kakak kelas saya, Ibu Erna Yulianawati  yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Departemen Gereja dan Masyarakat LAI. Kami mengobrol banyak hal tentang pelayanan LAI,”katanya. 

Intensitas perjumpaan dengan LAI makin tinggi semenjak Pdt. Guruh pindah pelayanan ke Jakarta. Jarak gerejanya dengan Kantor Pusat LAI tidak jauh, hanya berjarak sekitar 1 kilometer. GKI Kwitang sudah sejak lama ikut mendukung program pelayanan LAI, terutama Program Satu Dalam Kasih.  Dan dukungan tersebut semakin kuat sejak keikutsertaan Pdt. Guruh dan istri dalam perjalanan pembagian Alkitab melalui program SDK ke Boven Digoel, Papua pada tahun 2018. Lewat pengalamannya di lapangan Pdt. Guruh membagikan banyak kesaksian kepada warga jemaat tentang kondisi umat-umat Tuhan yang tinggal di pedalaman dan pelosok. 

“Lewat perjalanan ke Boven Digoel ada banyak hal yang bisa saya peroleh. Yang pasti, saya melihat wajah Tuhan di wajah teman-teman di Boven Digul. Kami melihat dari dekat, betapa rindunya sebetulnya orang mau berjumpa dengan Tuhan. Ada kehausan tertentu yang kelihatan tetapi susah sekali untuk diungkapkan. Misalnya, ketika umat memperoleh Alkitab yang sudah lama dirindukan, kemudian mereka memeluk dan menciumnya. Bagi mereka Alkitab bagaikan barang berharga yang nilainya tidak bisa diungkapkan. Ada nilai iman dan spiritual yang amat tinggi. Bagi kita yang tinggal di Jakarta, Alkitab ya mungkin hanya sekadar  buku yang mudah kita peroleh. Tidak ada nilai khusus. Tapi bagi teman-teman di Boven Digul Alkitab bukan hanya sekadar buku. Mereka menghayati betul bahwa melalui Alkitab mereka bisa mengalami perjumpaan dengan Tuhan yang mengubahkan perilaku bahkan iman mereka. Sungguh hal ini sebuah pengalaman spirtiual yg luar biasa,”kenangnya.  

Apa impian terbesar seorang Pdt. Guruh Jatmiko? Ternyata impiannya tidak muluk-muluk. Beliau hanya ingin memberikan pelayanan yang terbaik kepada Tuhan hingga masa emeritus tiba. “Setidaknya saya diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk bisa menyelesaikan pelayanan saya sampai masa emeritus. Itu sebuah perjalanan yang sepertinya mungkin diraih tapi saat ini saya  belum sampai di sana. Tidak sesederhana yang dibayangkan.  Butuh dukungan banyak hal, di samping terus mengisi spiritualitas saya pribadi, juga menata fisik dan kesehatan saya agar tetap prima, agar bisa melewati bahkan sampai melewati masa emeritus. Cita-cita saya kalau ditanya yg terbesar ya hanya ini. Bisa menjalani pelayanan hingga masa emeritus dengan selamat, dengan baik dan sehat dan menjadi berkat bagi banyak orang,”demikian ujarnya menutup perbincangan. 

Impian kita sebagai barisan orang-orang yang melayani Tuhan kurang lebih sama dengan Pdt. Guruh Jatmiko Septavianus. Berharap melayani sampai akhir, melayani sampai sumbu penghabisan. Sampai Sang Tuan memanggil kita pulang dan menghargai kesetiaan pelayanan kita,”Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” (Mat. 25:17). Selamat melayani Tuhan sampai akhir.