Pdt. W.J. Rumambi: Sosok Langka yang Jujur dan Sederhana 

Pdt. W.J. Rumambi: Sosok Langka yang Jujur dan Sederhana 

 

Siapakah tokoh kristiani nasional, yang berdiri paling depan dalam nasionalisasi Lembaga Alkitab, namun namanya tidak pernah tercatat dalam Akta Pendirian LAI? Dialah Pdt. W.J. Rumambi. Rumambi sedikit dari tokoh Kristen yang langka dalam sejarah perjalanan gereja-gereja di Indonesia. Dirinya merupakan teladan dalam kecintaan yang seimbang kepada gereja dan negara. Karya dan baktinya diakui baik oleh negara maupun masyarakat Kristen Indonesia. Deretan karya pelayanannya membentang panjang. Beliau menjadi pendiri Majelis Usaha Bersama Gereja-gereja Kristen di Indonesia (cikal bakal dari Dewan Gereja Indonesia). Setelah berdirinya Dewan Gereja Indonesia (DGI- sekarang PGI) Rumambi dipercaya menjadi Sekretaris Umum DGI yang pertama. Ia merintis pendirian LAI dan memimpin proses nasionalisasi aset-aset Lembaga Alkitab Belanda. Rumambi juga pernah dipercaya menjadi Anggota Badan Konstituante, yaitu semacam dewan perwakilan rakyat hasil Pemilu 1955. Setelahnya ia dipercaya menjadi Menteri Penghubung DPR-MPR RI, Menteri Penerangan RI, Ketua LAI, dan Sekretaris Umum LAI hingga Komisaris PT. Sinar Harapan. 

Mantan Menteri Penerangan RI, H. Budiarjo pernah mengatakan, Rumambi bagaikan sosok langka di dalam masyarakat Indonesia yang tidak mengenal konsep pelayanan sosial. “Waktu beliau masih berkarya saya menganggapnya langka, apalagi di zaman sekarang ini. Beliau merupakan sosok manusia langka di dalam dunia yang penuh kerawanan,”kata Budiarjo. Dalam dunia politik yang penuh dengan ketidakjujuran dan kemunafikan, Rumambi yang merupakan sosok yang jujur dan apa adanya. “Dia terlalu baik dan jujur. Jujur dalam ucapan maupun tindakan,”demikian lanjut Budiarjo. Rumambi menjalankan kependetaannya bukan hanya sebagai profesi, tetapi sebagai panggilan. Ia senantiasa konsisten antara ucapan, pikiran dan tindakan.

Sebagai orang yang berkedudukan tinggi, Rumambi dikenal karena kesederhanaannya. Sebagai menteri yang memiliki posisi kunci, dia selalu membedakan mana milik pribadi, mana milik negara. Ia tidak pernah menggunakan fasilitas-fasilitas yang diberikan negara untuk keperluan pribadi dan keluarganya. Putranya yang juga menjadi pendeta dan Ketua Umum Sinode GPIB, Pdt. Paulus Kariso Rumambi menyatakan, ayahnya memang teladan dalam kejujuran dan kesederhanaan.”Boleh dikatakan kami hidup hanya biasa-biasa saja, kami tidak memiliki apa-apa,”demikian ungkap Paulus Kerisso. 


Berawal dari Tompaso

Wilhelm Johanis Rumambi lahir di Tompaso, Sulawesi Utara, pada 7 April 1916. Ayahnya Johanis Fansius Rumambi adalah seorang pendeta jemaat. Sejak kecil W.J. Rumambi sudah menunjukkan sifat yang pendiam dan tenang dibanding saudara-saudara kandungnya,” demikian pernyataan Ny. Turangan-Rumambi, salah seorang kakaknya.  

Pendidikan dasar dijalaninya di kampung halamannya di Kakas. Sepulang sekolah W.J. Rumambi suka memotong rumput untuk makanan kuda.  Rumambi juga memberi makan dan memandikan kuda-kudanya.  Karena tugas-tugasn rutinnya tersebut dan ketekunannya belajar, dirinya jarang bermain dengan teman-teman sebayanya. Menjelang usia remaja, W.J. Rumambi meneruskan pendidikannya ke HIK di Margoyudan, Solo.  Setelah menempuh pendidikan menengah di Solo, Jawa Tengah, Rumambi melanjutkan kuliah perguruan tinggi di Hoogere Theologische School (HTS) di Bogor, dari 1934-1940. Rumambi merupakan mahasiswa angkatan pertama di perguruan tinggi yang kini dikenal dengan nama Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta tersebut. Seangkatan dengan Saptojo Joedokoesoemo, yang nantinya sama-sama ikut merintis berdirinya DGI dan juga LAI. 

W.S. Sidjabat dalam tulisannya pernah menyebut, kelulusan angkatan pertama HTS pada tahun 1940 sungguh tepat. Dengan berkecamuknya Perang Pasifik, yang merupakan bagian dari Perang Dunia II, banyak zendeling Belanda, Amerika, dan Jerman yang meninggalkan Indonesia. Yang tidak sempat pergi, masuk ke rumah tahanan dan kamp konsentrasi. Terjadi kekosongan kepemimpinan di banyak gereja yang menyebabkan situasi krisis.

Situasi yang timbul karena krisis tersebut sungguh tepat karena dapat diisi oleh lulusan HTS yang pertama. Kebanyakan dari mereka dapat segera mengisi jabatan gerejawi yang penting, karena mereka merupakan tenaga terdidik yang tertinggi pada zaman itu. 

Rumambi ditahbiskan sebagai pendeta tepat pada peringatan Hari Reformasi, 31 Oktober 1940 di gereja Sion, Jakarta. Seusai ditahbiskan, W.J. Rumambi ditugaskan menjadi pendeta GMIM, klasis Kumelembuai, di daerah Motoling, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Tempat pelayanannya di suatu daerah yang berbukit-bukit, yang sebagian besar mesti ditempuh Rumambi dengan mengendarai kuda. 

Setelah Proklamasi

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tidak hanya membawa dampak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Suasana baru kemerdekaan juga memiliki dampak dalam kehidupan ekumenis. Secara garis besar pelayanan, Indonesia antara tahun 1945 hingga 1950, dapat dibagi menjadi tiga wilayah pelayanan ekumenis, yakni: Jawa, Indonesia bagian Timur dan Sumatera. Pusat dapur penggodokan banyak hal dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat berlangsung di Jawa. Parkindo, PWKI dan PPKI adalah organisasi politik dan organisasi massa yang lahir dalam kancah pergolakan Perang Kemerdekaan di Pulau Jawa (khususnya yang dimulai di Jakarta dan Yogyakarta). Baik Indonesia Timur dan Sumatera agaknya mengikuti saja apa yang telah timbul dan berkembang di pusat dapur penggodokan itu. 

Pusat kegiatan Indonesia bagian Timur pada waktu itu adalah Makassar. Karena itulah dalam periode Perang Kemerdekaan Pdt. W.J. Rumambi pindah dari Manado ke Makassar. Di Makassar inilah Rumambi mulai berkarib akrab dengan Wim Khouw, pendiri LAI yang lain. Selama masa Perang Kemerdekaan Keagenan Bersama Kitab Suci dari Lembaga Alkitab Belanda dan Lembaga Alkitab Inggris dipindahkan Khouw dari Bandung ke Makassar. Kelak dua orang Wim ini, yaitu Wim Rumambi dan Wim Khouw menjadi motor utama perintisan dan pengembangan Lembaga Alkitab Indonesia. 

Pada 22 Mei 1946 di Yogyakarta telah terbentuk Dewan Permusyarawaratan  Gereja-gereja di Indonesia atas inisiatif Ds. Basoeki Probowinoto. Beberapa bulan sesudahnya, pada 10-20 Agustus 1946, berlangsung Konferensi Zending di Kwitang, Jakarta. Selaku tindak lanjut Konferensi Zending tersebut, maka untuk Indonesia bagian Timur dibentuk Majelis Usaha Bersama Gereja-gereja Kristen di Indonesia, yang nantinya akan bekerja sama dengan badan-badan Kristen di Jawa. Dalam kepengurusan Majelis Gereja-gereja Indonesia bagian Timur, Rumambi menjabat sebagai Sekretaris, terpilih sebagai ketua adalah Ds. S. Marantika, rekan seangkatan Rumambi di HTS Bogor/ Jakarta.  Sementara itu, untuk gereja-gereja di Sumatera, atas inisiatif Ds. T. Sihombing dibentuk Dewan Gereja-gereja di Sumatera pada tahun 1949. Sihombing sendiri juga merupakan teman seangkatan Rumambi di HTS dan sekaligus teman lama yang pernah sama-sama menempuh pendidikan menengah di Solo. 

Pada 29 Mei 1950 berdirilah Dewan Gereja di Indonesia(DGI) dengan 29 gereja pendiri, yang diresmikan lewat sebuah kebaktian bersama di Gereja Immanuel, Jakarta. DGI menjadi wadah permusyawaratan dan usaha bersama gereja-gereja di Indonesia dalam cita-citanya untuk mewujudkan sebuah gereja Kristen yang esa di Indonesia. Dalam sidang DGI yang pertama , terpilih sebagai ketua pertama adalah Prof. Dr. Todung Sutan Gunung Moelia dan Sekretaris Umum pertama dijabat oleh Ds. W.J. Rumambi. 

Mengapa Rumambi dipercaya sebagai Sekretaris Umum DGI yang pertama? Bukankah banyak tokoh dan pemimpin Kristen yang terkenal cakap dan berkualitas pada masa itu? Banyak tokoh-tokoh Kristen menyatakan, dalam diri Rumambi bertemu sosok kependetaan yang menonjol, kepemimpinan yang baik dan kemampuan yang mumpuni. Masa-masa awal pembentukan DGI bukanlah proses yang mudah dilakukan. Warisan dari sejarah zending di masa sebelumnya menghasilkan suatu pengkotak-kotakan, yang membuat gereja enggan dan sulit berpikir ekumenis. Gereja-gereja di Indonesia kebanyakan lahir dari hasil pekerjaan misi badan-badan zending yang berbeda. Untuk mewujudkan visi keesaan, muncul berbagai perbedaan paham dan pendapat. Untuk menjembatani perbedaan dibutuhkan sosok pemersatu yang mampu menjembatani perbedaan paham yang ada. Rumambi menyadari betul perannya, di samping beliau dikenal sebagai seorang administrator yang baik.

“Walaupun dia pemimpin jemaat GMIM, tapi pandangannya tidak sempit. Tidak terfokus pada gerejanya saja,”ujar Prof. Dr. Liem Khiem Yang, yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum LAI. Lain lagi cerita politikus nasional Sabam Sirait, yang menyebut Rumambi selalu mencari jalan tengah, mencari persesuaian dan pandai mendapatkan titik-titik temu di tengah perbedaan. Rumambi juga selalu terbuka pada siapa saja, beliau merupakan pribadi yang tidak kaku dalam pergaulan. 

Dalam tugas selaku Sekum DGI, Rumambi berkesempatan menghadiri Konferensi IMC di WIllingen (1952), Jerman, suatu kesempatan yang baik untuk meningkatkan orientasinya secara internasional. Rupanya kian disadarinya pula dalam kunjungan seperti itu akan tugasnya yang membengkak, yang pasti akan lebih sreg bila dilakukan Rumambi bersama pendampingnya. Tapi apa boleh buat, calon istri belum ada. Namun, Tuhan ternyata telah mempersiapkan dan menyediakan sosok istri yang tepat dalam diri Nn. Juliana Maatje Kolopita, seorang Bolaang Mongondow yang menuntut ilmu di Belanda. Hubungan yang baik dari kedua insan tersebut, akhirnya diresmikan melalui pernikahan kudus pada 20 Agustus 1953 di GPIB Paulus, Jakarta. Dari pernikahan tersebut Rumambi dikaruniai 9 anak. 

Seusai Sidang Raya DGI pada tahun 1954 di Jakarta, terpilih Sekum DGI yang baru, Ds. S. Marantika, sahabat lama Rumambi. Rumambi bersama dengan keluarga kembali ke Minahasa dan kembali melayani di GMIM. Kebetulan pada masa itu GMIM sendiri benar-benar membutuhkan tenaga berpengalaman untuk mengurus sekolah-sekolah Kristen yang banyak jumlahnya. Selama bertahun-tahun sekolah-sekolah tersebut mengalami kekurangan dana dan kesulitan tenaga pengajar. Peran Rumambi sebagai Kepala Urusan Persekolahan GMIM ini bersamaan dengan jabatannya sebagai Ketua Pergerakan Pemuda Kristen Minahasa (PPKM). Sebagai Ketua PPKM, Rumambi terkenal dengan panca tugas PPKM: bersaksi, bersekutu, belajar, bekerja dan bersosial. Sambil aktif dalam karya pelayanan di GMIM, hubungan Rumambi dengan Parkindo di Jakarta juga semakin erat. 

Belum lama berdiam di Minahasa, pada 1956, atas persetujuan Sinode GMIM, Pdt. W.J. Rumambi dipercaya melakukan karya pelayanan di bidang politik sebagai anggota Konstituante RI. Pada masa-masa itu, Konstituante bertugas untuk membuat Undang-undang Dasar yang baru sebagai pengganti UUD 1945. Sebagai wakil golongan Kristen, Rumambi beberapa menekankan, tugas gereja yang terpenting dalam hubungannya dengan pembentukan dan pembangunan negara Indonesia yang merdeka ada 4: pertama, memberitakan dan menyaksikan dalam seluruh lapangan kehidupan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Kedua, menguasahakan agar negara Indonesia yang merdeka itu menjadi suatu negara yang berdasar hukum. Ketiga, mengusahakan dengan sungguh-sungguh adanya kebebasan beragama dan beribadah, dan keempat masyarakat di dalam negara yang berdasar hukum harus bersikap taat dan tertib hukum. 

Rumambi juga menegaskan tanggung jawab setiap umat Kristen, pertama-tama adalah kepada Tuhan, dan berikutnya kepada sesama manusia. Umat kristiani menurut Rumambi bukan golongan minoritas yang terpisah melainkan bagian tak terpisah dari bangsa dan masyarakat Indonesia. Umat kristiani juga telah turut memperjuangkan dan mempertahankan tanah dan bangsa Indonesia. 

“Tugas kami umat Kristen di Indonesia ialah turut mengusahakan kesejahteraan, perdamaian, keadilan dan ketertiban untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan saja untuk golongan Kristen, baik dengan kata maupun perbuatan berdasar rencana Tuhan kami yang nyata dalam Kitab Suci kami,”demikian terang Rumambi. 

Di sela-sela tugasnya sebagai anggota Konstituante tersebut, Rumambi diminta LAI untuk membantu program lembaga Alkitab tersebut dalam penerjemahan dan penyebaran Alkitab sebagai Study Secretary. Selama memangku jabatan tersebut,  Rumambi beserta keluarganya menetap di tempat yang terkenal dengan nama Kampong Alkitab di Bogor. Tempatnya tenang dan sejuk, jika cuaca cerah dari tempat tersebut bisa langsung memandang Gunung Salak di kejauhan. Masih pada tahun yang sama Rumambi diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi anggota Dewan Nasional RI. 

Dua tahun kemudian, pada 1959, Rumambi  diangkat menjadi Menteri Negara Penghubung DPR/ MPR/ DPA dalam Kabinet Kerja I. Beliau menjabat kedudukan tersebut dalam lima periode kabinet hingga 27 Maret 1966.  Dalam kapasitas sebagai menteri tersebut, beliau menjadi anggota delegasi Indonesia yang dipimpin Presiden Soekarno untuk menghadiri KTT Non Blok pertama di Beograd pada 1961. Setahun berikutnya beliau mendampingi Presiden sebagai anggota delegasi  Indonesia yang menghadiri Sidang PBB. Dalam sidang ini Presiden Soekarno membacakan pidatonya yang terkenal: To Built The World a New. 

Pada 27 Maret 1966, lebih dari dua minggu setelah turunnya Surat Perintah 11 Maret 1966, Rumambi dipercaya untuk menjabat kedudukan baru, yaitu Menteri Penerangan R.I. Rumambi menjabat kedudukan tersebut tidak lama. Hanya sekitar lima bulan di tengah situasi politik yang memanas. 

Pada tahun 1967, Rumambi diangkat sebagai Sekretaris Gereja dan Masyarakat DGI. Lima tahun setelahnya pada 1972, dalam Sidang Raya DGI di Pematang Siantar beliau terpilih menjadi Ketua DGI. Sejak 14 Desember 1968, Ds. W.J. Rumambi menjabat sebagai Ketua Umum LAI hingga Oktober 1974. 

Pada akhir 1967, proses penerjemahan Alkitab yang dilakukan oleh Komisi Penerjemahan telah mendekati selesai. Rumambi dan Komisi Penerjemahan berpendapat tibalah saatnya konsep-konsep terjemahan yang telah dikerjakan komisi diajukan kepada wakil-wakil gereja. Sebagian dari pengurus LAI berkeberatan kalau setiap gereja secara langsung berurusan dengan penerjemahan Alkitab bahasa Indonesia. Tetapi Rumambi berkeyakinan agar konsep terjemahan dan beberapa soal khusus yang terkait tradisi gerejani dihadapkan kepada wakil-wakil gereja. Dengan kebijaksanaannya Rumambi mampu meyakinkan pengurus untuk menyelenggarakan konsultasi dengan gereja-gereja. Dalam Konsultasi tersebut  para Uskup dari Gereja Roma Katolik di Indonesia menyatakaan kesediaannya untuk menerima terjemahan LAI sebagai terjemahan gerejani. Keputusan penyelenggaraan Konsultasi Nasional bukan berarti Rumambi mendudukkan LAI bergantung penuh dan tunduk di bawah gereja-gereja Indonesia. Semuanya sudah dibuktikan dalam laporan Baron van Tuyll (Sekum Lembaga Alkitab Belanda),  pada 21 November 1950, di mana tercatat bahwa dari awal Rumambi sudah menyetujui kalau LAI berdiri sebagai yayasan otonom dan mandiri yang tidak semata-mata merupakan suatu badan gerejani. 

Selanjutnya mulai Oktober 1974, beliau dipercaya mengemban jabatan Sekretaris Umum menggantikan Ph. J. Sigar. Pdt. Roesman Moeljodwiatmoko menyatakan, diangkatnya Rumambi sebagai Sekretaris Umum LAI karena Rumambi memang diyakini memimiliki kemampuan untuk memegang jabatan tersebut. “LAI banyak berhubungan dengan mitra-mitra dan badan-badan zending luar negeri.  Untuk menghubungkan itu, pasti LAI membutuhkan orang yang memiliki jaringan komunikasi yang baik. Rumambi punya hubungan yang baik dengan para pengurus Dewan Gereja Sedunia maupun United Bible Societies

 Tahun 1974 juga merupakan masa-masa yang penting karena  pada tahun tersebut  Alkitab Terjemahan Baru terbit. Rumambi dan seluruh jajaran pengurus pada masa itu berjuang keras memasyarakatkan Alkitab Terjemahan Baru tersebut. Rumambi seperti pada masa-masa awal berdirinya LAI, kembali berkeliling gereja-gereja, maupun hadir dalam siaran-siaran di televisi dan radio untuk memperkenalkan Alkitab Terjemahan Baru. Sebagai pimpinan LAI beliau juga mengajak umat untuk mengadakan ibadah syukur atas hadirnya Alkitab Terjemahan Baru lewat Hari Doa Syukur Alkitab yang mulanya diselenggarakan pada bulan Juli mulai 1975. Pada tahun 1977 waktunya dipindahkan menjadi bulan September hingga hari ini. Kelak nama kegiatan berubah menjadi Hari Doa Alkitab (HDA). 

Di tengah masa jabatannya, Pdt. Rumambi terserang penyakit lever yang cukup berat. Karena kondisi kesehatannya yang terus menurun, pada 1983, Pdt. Chr. A. Kitting menggantikan beliau sebagai Sekretaris Umum LAI. Pdt. W. J. Rumambi dipanggil Tuhan pada 22 Januari 1984, dalam usia 68 tahun, di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Meskipun dalam keadaan sakit, Rumambi masih memberikan penghiburan dan nasihat-nasihat kepada setiap orang yang menengoknya. Jiwa kependetaan tidak pernah lepas dari diri Rumambi. Kepada banyak orang yang menjenguknya Rumambi meski dalam keadaan lemah selalu menekankan perkataan yang berulang-ulang: “only by faith, only by faith.’’ Rumambi salah satu teladan kita memang telah lama pergi, seperti seorang atlet ia telah mencapai garis finish perjuangan hidup, dan berolah mahkota kehidupan surgawi dari Bapa di Sorga. Tinggal kita yang masih diberi kesempatan hidup meneruskan visi yang ditegaskan Rumambi,” “Tugas umat Kristen di Indonesia ialah turut mengusahakan kesejahteraan, perdamaian, keadilan dan ketertiban untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan saja untuk golongan Kristen, baik dengan kata maupun perbuatan berdasar rencana Tuhan kami yang nyata dalam Kitab Suci.” Sampai  Maranatha.