Pendeta Hernald Dingang Patianom: Pionir yang Penuh Daya Gerak Di Antara Sebangsanya

Pendeta Hernald Dingang Patianom: Pionir yang Penuh Daya Gerak Di Antara Sebangsanya

 

Mengkatip adalah sebuah desa kecil di Kalimantan yang menjadi tempat yang bersejarah bagi Gereja Kalimantan Evangelis (GKE). Pada 29 Oktober 1902 di tempat tersebut lahir seorang anak yang diberi nama Hernald Dingang Patianom. Ia nantinya menjadi orang Dayak pertama yang menjadi seorang misionaris. Ayahnya Ferdinand Dingang Patianom merupakan Kepala Suku Dayak Ngaju di desa Mengkatip yang membawa sejumlah besar warganya untuk dibaptis bersama-sama dengannya oleh penginjil Kühnle. Untuk mencapai desa Mengkatip harus menyusuri sungai terpanjang di Kalimantan Selatan, yakni Sungai Barito. Jarak Mengkatip dari Banjarmasin 125,21 km, dan untuk mencapai tempat tersebut hanya bisa ditempuh dengan perahu menyusuri Sungai Barito yang hulunya ada di Pegunungan Schwaner. Desa Mengkatip seperti mengingatkan kita akan Betlehem, sebuah kota kecil yang dipandang sebelah mata, namun dipilih oleh Allah untuk menjadi tempat kelahiran Yesus Kristus. 

Sebagai anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan tinggal di daerah tepi sungai tidak banyak hal yang bisa dilakukan oleh Hernald. Masa kecilnya dilalui sebentar saja di Mengkatip. Hernald kemudian harus menempuh pendidikannya di Banjarmasin karena di Mengkatip saat itu belum ada sekolah. Untuk mencapai Banjarmasin hanya bisa dilakukan perjalanan dengan Jukung Rangkang, yakni sebuah perahu tradisonal  yang memiliki atap untuk melindungi penumpangnya dari panas dan hujan, dan ujung perahu melengkung. Dibutuhkan dua orang untuk mengayuh perahu dengan dayung, tidak seperti sekarang ada speed boat yang banyak ditemukan hilir mudik sebagai alat transportasi. Hernald bersama orangtuanya menyusuri Sungai Barito yang saat itu di kanan kirinya adalah hutan tropis Kalimantan. Hutanpun sampai sekarang menjadi salah satu ekosistem yang berperan besar bagi kelangsungan hidup orang-orang Dayak. 

 

Dari Mengkatip ke Banjarmasin

Banjarmasin pada masa itu masuk ke dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan merupakan wilayah terakhir di Kalimantan yang masuk ke dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Setelah gugurnya Sultan Banjar saat itu yakni Sultan Muhammad Seman pada tahun 1905 menjadi awal kekuasaan bangsa asing di tanah Kalimantan yang dulunya bernama Borneo. Tidak ada pilihan pendidkan yang bisa dinikmati oleh Hernald saat di Banjarmasin oleh karena kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda yang membagi status masyarakat ke dalam golongan-golongan. DI Banjarmasin Hernald memulai langkah awal pendidikannya di Volkschool atau Sekolah Rakyat yang dibangun oleh masyarakat secara gotong royong di bawah pengawasan Belanda. Gurunyapun seorang pribumi, sehingga tidak memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di dalam kelas. Pelajaran yang diikuti juga sederhana saja yakni membaca, menulis dan menghitung. Hernald termasuk anak yang tekun mengikuti setiap pelajaran di Sekolah Rakyat sehingga dapat melanjutkan ke sekolah lanjutan, Vervlogschool. Modal pendidikan inilah yang membawa Hernald untuk melamar bekerja di dinas pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1918. Usianya saat itu masih 16 tahun dan berhasil diterima bekerja. Usianya termasuk paling muda dibanding teman-teman kerjanya. 

Usianya yang masih muda tidak menjadi hambatan bagi Hernald untuk dapat berprestasi diantara teman-temannya. Hernald mampu meresap setiap ajaran seniornya dan mempraktekkan dengan baik di dalam tugas-tugas yang diberikan. Tanpa menghabiskan waktu yang lama, setelah 6 tahun bekerja Hernald kemudian dipercaya sebagai pejabat pemerintah Hindia Belanda. Dia dipindah tugaskan ke Buntok yang banyak didiami oleh orang Dayak Maanyan dan di masa sekarang Buntok masuk ke dalam Provinsi Kalimantan Tengah. Letaknya tidak jauh dari desa Mengkatip tempat Hernald dilahirkan yakni sekitar 56 km dengan menyusuri sungai Barito. Selain itu Buntok juga letaknya cukup strategis karena saat itu sudah terhubung melalui jalur darat dengan kota Palangkaraya dan juga Buntok terhubung dengan desa-desa yang letaknya di daerah aliran sungai Barito. 

Tempat tinggalnya yang strategis dan statusnya sebagai pejabat membuat Hernald sering berhubungan dengan pejabat-pejabat Belanda yang tinggal diam di sana. Dan singkat cerita dia kemudian mengetahui ada Basler Missiongesellschaft (BMG) yakni sebuah Lembaga pekabaran Injil yang sedang melayani di sana. Lembaga pekabaran Injil ini berasal dari Swiss dan termasuk baru melayani di wilayah Kalimantan. Sebelum BMG sebenarnya sudah ada Rheinische Missiongesellschaft (RMG) yang melayani terlebih dahulu di Kalimantan. Ketika meletus Perang Dunia I, RMG mengalami kesulitan keuangan untuk membiayai Pekabaran Injil sehingga menyerahkan ladang pelayanannya ke BMG pada tahun 1920. Sejak saat itulah  Lembaga ini yang kemudian secara penuh terlibat dalam pertumbuhan gereja GKE.

 

Penginjil pertama dari Dayak

Di sela-sela pekerjaannya sebagai pejabat di Buntok, Hernald menyempatkan juga untuk bertemu dan berkomunikasi dengan BMG. Pelayanan-pelayanan yang dilakukan BMG ke orang-orang Dayak lambat laun menggugah hatinya. Hernald yang memang memiliki darah Dayak ikut terbeban kepada sesamanya orang-orang Dayak agar mereka juga dapat mengenal Injil. Suatu hari Hernald mengambil keputusan besar, untuk meninggalkan pekerjaannya yang sudah mapan. Keinginannya yang teguh dan motivasinya yang kuat membawanya ikut kursus penginjilan pada tahun 1924. Hernald dengan sungguh-sungguh mengikuti kursus ini dan menyelesaikannya dalam waktu 2 tahun saja. 

Setelah selesai kursus Hernald dipanggil ke Banjarmasin untuk ikut dalam Konferensi para pengerja zending BMG pada 1926. Di acara inilah dia kemudian diangkat menjadi penginjil. Maka tahun itu menjadi tahun yang bersejarah bagi dunia misi di Kalimantan karena Hernald menjadi penginjil pertama dari Suku Dayak. Tak lama setelah diangkat Hernald langsung melayani di Buntok. Hernald menyadari, sebagai orang Dayak pun ia tidak selalu mudah untuk melayani orang-orang dari kaumnya. Penginjilan di kalangan Suku Dayak memang sangat sukar. Ini berkaitan dengan kuatnya ikatan orang Dayak terhadap adat dan agama sukunya. Tapi lambat laun Hernald mulai bisa masuk dan mengajar tentang kabar keselamatan kepada suku bangsanya sendiri. Dia harus menembus medan yang tidak mudah, menembus hutan dengan transportasi hanya melalui sungai atau berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer untuk bertemu langsung dengan kaumnya.

Berdirinya Gereja Dayak Evangelis

Setelah dua tahun melayani di Buntok kemudian Hernald diutus BMG untuk memperlengkapi dirinya lebih baik lagi dengan belajar teologi di Sekolah Teologi Banjarmasin pada tahun 1932 dan ia pun menyelesaikannya selama 3 tahun. Di tahun itu juga yakni di tahun 1935 berlangsung Konfrensi para pengerja zending yang dihadiri juga Dr. Hendrik Kraemer, utusan misi dari Lembaga Alkitab Belanda (NBG), untuk membahas kemungkinan-kemungkinan berdirinya Gereja Dayak. Dan dengan penuh hikmat dan iman berdirilah secara resmi  Gereja Dayak Evangelis (GDE) pada 24 April 1935. Dan tepat satu abad Injil masuk ke Kalimantan dilakukan juga ibadah penahbisan lima pendeta yang baru lulus dari Sekolah Teologi Banjarmasin di gedung Gereja Hampatuang, Hernald salah satu dari pendeta baru tersebut. Setelah ditahbiskan Hernald ditempatkan di Sungai Tiwei dan tinggal di Benangin.

Fridolin Ukur dalam bukunya “TuaianNya Sungguh Banyak” menulis, “Kelima pendeta ini adalah tokoh pionir yang penuh daya gerak di antara sebangsanya. Datang sebagai orang pertama sebagai pengerja nasional gereja dan bukan dari badan zending luar negeri.” 

Masa pendudukan Jepang di tahun 1942 menjadi masa penuh tantangan bagi GDE saat itu. Borneo Minseibu yang merupakan pemerintah Jepang di Banjarmasin menangkap dan mengusir pendeta-pendeta BMG yang berasal dari Eropa. Hal ini menyebabkan kosongnya pucuk pimpinan di GDE yang biasanya dipegang pendeta yang berasal dari sana. Tidak sampai disitu, pendeta asli dayaknya pun tidak dipercayai juga oleh Jepang karena nanti bisa menghasut jemaat untuk melawan mereka. Hernald sebagai seorang pendeta yang memiliki jam terbang yang tinggi hadir sebagai gembala di tengah krisis yang terjadi saat itu. Hernald rajin menyurati pendeta-pendeta, guru Injil, penatua dan diaken yang ada di wilayah pelayanannya. Isi suratnya mengajak mereka untuk tetap setia dalam pelayanan. “Adalah lebih taat kepada Tuhan daripada kepada manusia.” Ungkap Hernald dalam suratnya.

 

Dari Gereja Dayak menjadi Gereja Kalimantan

Setelah masa pendudukan Jepang selesai dan Jepang meninggalkan Indonesia, GDE kembali mengadakan Sinode raya di Banjarmasin. Dalam acara ini diputuskan memilih Hernald untuk menduduki pucuk pimpinan GDE dan menjadi orang Dayak pertama yang menjadi Ketua Sinode GDE. Saat menjabat sebagai ketua sinode Hernald mengusulkan supaya mengganti nama Gereja Dayak menjadi Gereja Kalimantan. Dia mengatakan bahwa perubahan dari Dayak ke Kalimantan menghilangkan kesan diskriminatif terhadap semua suku di Kalimantan ini. Harapannya Sinode ini terbuka bagi semua orang Kristen di Kalimantan. Usulnya baru diterima di saat sidang sinode umum pada tahun 1950 di Banjarmasin. Nama Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) menunjukkan fungsi dan tugas Gereja yang ditetapkan oleh Tuhan di bumi Kalimantan.

Begitu besar ladang pelayanan di bumi Kalimantan sehingga Hernald merasa perlu pengadaan para pengerja gereja yang memberitakan Injil di seluruh Kalimantan. Dia membuka kembali Sekolah Teologi di Banjarmasin yang sebelumnya sudah tutup di tahun 1937. Hernald sendiri yang turun langsung menjadi rektor membenahi sekolah teologi dari awal. Hernald memiliki visi bahwa sekolah teologi ini nantinya menjadi pusat pendidikan bagi calon-calon pendeta di GKE.

 

Masa akhir pelayanan

Setelah melepas jabatan rektor di STT Banjarmasin, dia menjadi pendeta jemaat di Banjarmasin. GKE mengangkatnya menjadi penasihat sinode dari tahun 1954 sampai masa akhir pelayanannya. Hernald juga menjadi perwakilan GKE saat pembentukan Dewan Gereja Indonesia pada tahun 1949. Hernald menempatkan dirinya sebagai pelayan yang sungguh-sungguh mencintai Tuhannya. Hernald Dingan Patianom menikah dengan Jemina Sendong dan memiliki 11 anak. Keturunannya menyebar ke seluruh Indonesia. Penyertaan Tuhan hadir merangkai semua sisi kehidupan Hernald sampai masa akhir hidupnya pada 12 Desember 1987.