Romo Soegija: Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Indonesia 

Romo Soegija: Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Indonesia 

 

Meskipun Mgr. Albertus Soegijapranata masuk dalam jajaran Pahlawan Nasional Republik Indonesia, tidak banyak orang sekarang yang mengenal sosoknya. Mungkin, seperti kata sastrawan Ayu Utami, karena perannnya dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia bukan memegang bambu runcing atau senapan, seperti yang biasanya dibayangkan dalam perayaan 17 Agustus atau Hari Pahlawan. Soegija seorang rohaniwan. Ia berhasil mengupayakan gencatan senjata dalam peristiwa Perang Lima Hari di Semarang (Oktober 1945) yang menghindarkan dari dari banjir darah pemuda republik. Roma Vatikan, sebagai pusat kekuasaan Gereja Katolik, termasuk dalam jajaran negara-negara yang paling awal mengakui kemerdekaan Indonesia, karena dorongan dari Soegija. Selama perpindahan ibukota di Yogyakarta, Mgr. Soegija dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX bahu membahu menyokong pemerintahan yang pincang karena pemerintah pusat ditangkap dan dibuang Belanda ke pengasingan. Mereka berjuang lewat jalur diplomasi maupun merawat dan memelihara para pengungsi. 

Bagi umat Katolik Indonesia, Soegija adalah tokoh yang sangat istimewa. Ia adalah uskup pribumi yang pertama di Nusantara. Ia merumuskan pernyataan terkenal: 100 % Katolik, 100 % Indonesia. Di bawah kepemimpinannya seluruh umat Katolik di Jawa menjadi pendukung dan pejuang republik. 

 

Murid Sekolah Van Lith

Sesungguhnya Soegija tidak berasal dari keluarga Katolik. Agama Katolik, waktu Soegija masih kecil, masih baru sukses membaptis beberapa keluarga Jawa. Soegija terlahir dari keluarga berlatar belakang Islam Jawa (kaum abangan). Keluarga Soegija yang berasal dari Surakarta, kemudian hijrah ke Yogyakarta. Di kota itulah Soegija bertemu dengan Romo Franciscus Georgius Josephus van Lith yang sedang merekrut calon murid sekolah guru di Muntilan. 

Kala itu, Soegija bersekolah di sekolah dasar Volkschool di Lempuyangan, Yogyakarta. Soegija tak berkeberatan belajar di sekolah katolik milik Serikat Jesuit itu. Pemuda kelahiran 25 November 1896 itu berasal dari keluarga abangan yang dekat dengan Islam. Dia sendiri keturunan Kyai Supa, seorang tokoh Islam terkenal Mataram. Usia Soegija kala itu masih 13 tahun. 

Sejak awal memasuki tempat pendidikan yang dikelola Van Lith, Soegija tidak ingin menjadi Katolik. Ia menyatakan tidak hanya menyatakan hal tersebut kepada ayahnya tetapi juga kepada Rama Mertens, rama pamongnya di Muntilan. Bahkan ia mengejek Rama Belanda datang ke Jawa, Indonesia, hanya untuk mengeruk kekayaan, setelah itu akan pulang ke negerinya. Setahun setelah tinggal di Muntilan Soegija ternyata kemudian mengikuti pelajaran magang untuk agama Katolik, mula-mula hanya karena ingin memenuhi rasa ingin tahunya. Namun akhirnya toh ia minta dibaptis. Pada 24 Desember 1909, Soegija dibaptis dengan nama baptis Albertus.

Tahun 1915, Soegija lulus dari Kweekschool Muntilan dan kemudian selama setahun menjadi guru di almamaternya. Tak lama kemudian ia merasa terpanggil untuk menjadi imam Katolik. Untuk memperdalam agama Katolik, sejak 1916 hingga 1919, dia menjalani pendidikan imamat. Dia juga belajar dari JAA Mertens soal bahasa Latin dan Yunani. Soegija kemudian belajar di Negeri Belanda juga pada 1919. Sebelum masuk Novisiat, Soegija menyelesaikan dulu pembelajaran bahasa latin dan Yunani di Gimnaisum Orde Salib Suci. Barulah pada 27 September 1920, dia masuk Novisiat Jesuit di Mariendaal, Grave. “Ia mengikuti pelajaran filsafat di Oudenbosch, lalu mengikuti novisiat. 

Soegija baru pulang sebagai frater pada 1926 untuk mengajar di Sekolah Guru Muntilan, namun pada 1928 dia kembali lagi Negeri Belanda dan belajar di Maatstricht. Dia baru kembali ke Jawa pada 1933. Dia belakangan dikenal sebagai Albertus Sogijopranoto. Setiba di Indonesia, Soegija berkarya sebagai pastor paroki di Bintaran, Yogyakarta. 

 

Menjadi Uskup Pertama Pribumi

Soegija bukan orang Indonesia pertama yang jadi pastur. Tapi, Albertus Soegijopranoto adalah orang Indonesia yang menjadi Uskup pada  1940. Itu adalah saat Belanda diserang tentara Jerman. Paus Pius XII mengangkat Soegija menjadi Uskup Agung untuk daerah Vikariat Apotolik Semarang pada 1 Agustus 1940, dan dilantik pada 6 November 1940. Wilayah apostolik Semarang itu meliputi daerah keresidenan Semarang. Tak hanya kota dan kabupaten Semarang, tapi juga Jepara, Rembang, Temanggung, Magelang, Yogyakarta dan Surakarta. 

Pengangkatannya dianggap jalan aman agar agama Katolik yang sebelumnya banyak dipimpin oleh orang-orang Belanda atau Eropa lain itu tak dianggap agama orang Eropa, yang jadi musuh Asia Timur Raya. Dengan posisi itu, dia harus menjadi pemimpin umat di masa perang, setidaknya sejak Perang Pasifik dan masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Itu adalah satu dekade perang yang banyak mengubah jalan sejarah di Asia dan Afrika. 

Sebelum kepindahannya ke Semarang sebagai uskup, Soegijapranata mengungkapkan salah satu rahasia pribadinya. Beliau menyatakan salah satu motivasinya menjadi imam bukanlah melulu alasan religius saja, tetapi dorongan rasa nasionalisnya. 

“…keputusanku untuk menjadi imam itu karena didorong untuk mengabdi bangsa. Saya telah mencari beberapa kemungkinan profesi, tetapi tidak ada yang lebih memuliakan Tuhan dan sekaligus untuk mengabdi bangsa selain menjadi imam.”

“Sebagai uskup, kegiatan-kegiatan Mgr Soegijopranoto terutama melakukan pemeliharaan dan pembinaan rohani umatnya di tengah pergolakan masa itu,” tulis Romo Budi Subanar dalam pengantar buku Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup di Masa Perang: Catatan Harian Mgr. A. Soegijapranata, S.J., 13 Februari 1947-17 Agustus 1949. Setiap hari, di masa-masa perang itu, Soegijo mempersembahkan misa. Dia kerap memimpin sakrame-sakramen—mulai dari baptis, tobat, perkawinan. Tak hanya memimpin misa, tapi juga bertemu dengan orang-orang penting. Setelah Perang Dunia II rampung pada 1945, maka Indonesia menyatakan diri merdeka di tahun yang sama. Namun, ambisi Belanda untuk menguasai kembali Indonesia, membuat konlik terjadi antara Indonesia-Belanda. 

“Banyak orang-orang Katolik dari daerah Republik yang meninggalkan tempatnya untuk mencari kehidupan yang lebih aman yaitu dengan pindah ke Semarang,” tulis M. Henricia Moeryantini dalam Mgr. Albertus Soegijapranata S.J. (1975:50). Kehidupan di daerah pendudukan Belanda tergolong aman secara ekonomis. Soegijo malah berpikir sebaliknya. Dia memilih sengsara bersama Republik. Dukungan Mgr Soegijopranoto terhadap Republik Indonesia (RI) sangatlah jelas. Setelah ibukota RI pindah ke Yogyakarta dari Jakarta, Soegijo juga pindah ke Yogyakarta dari Semarang, sejak 13 Februari 1947. 

“Seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia,” kata Soegija. Kalimat itu belakangan jadi semboyan orang Katolik Indonesia terhadap kemerdekaan Indonesia. Banyak pemuda terpelajar Katolik yang bergabung dengan Republik, bahkan juga ada yang gugur untuk Republik Indonesia. Sebutlah Agustinus Adisucipto atau Ignatius Slamat Rijadi. Berita sedih, tentang gugurnya Adisucipto ketika ikut pesawat pengangkut obat-obatan tertembak di Yogyakarta, tentu sampai ke Soegija. Mengenang Gugurnya Rombongan Adisucipto Atas serangan militer Belanda dia bereaksi. Apa yang dilakukan Belanda, seperti ditulis JB Sudarmanto dalam Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia (2007:442), menurut Soegija hanya “mendatangkan kesusahan dan penderitaan kepada beribu-ribu orang, dan karenanya di masa mendatang tidak menguntungkan bagi kerja sama yang diharapkan akan berlangsung hangat atas dasar persamaan derajat menurut hukum dan keadilan.” Soegijapranoto dianggap berjasa dalam mendapatkan dukungan dari Tahta Suci Vatikan untuk kemerdekaan Indonesia. 

“Negara Vatikan adalah salah satu dari negara-negara (Eropa) yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia,” tulis FX Murti Hadi Wijayanto dalam Soegija in Frame (2012:138). Saat itu Georges Marie Joseph Hubert Ghislain de Jonghe d'Ardoye menjadi perwakilan Vatikan untuk Indonesia. Setelah pengakuan kedaulatan 1949 dan tentara Belanda diharuskan angkat kaki, Soegija kembali ke kantor pusat keuskupannya di Semarang. 

Soegija terus memimpin umat Katolik, termasuk di masa perseteruan orang-orang Katolik dengan orang-orang komunis yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Romo Soegija dikenal sebagai pastor yang memakai kebudayaan lokal Indonesia, khususnya Jawa, dalam membumikan Katolik di Indonesia. Dia membolehkan wayang dan juga gamelan dalam dakwah-dakwah katolik. 

 

Meninggal Sebagai Pahlawan Nasional

Romo Soegija meninggal pada 22 Juli 1963, tepat hari ini 55 tahun lalu, di sebuah biara di Steyl, Belanda. Dua bulan sebelum meninggal, pada 30 Mei 1963, ia menghadiri pemilihan Paus di Vatikan—saat itu Paulus VI yang terpilih. Setelah itu, Soegija mampir ke Belanda dan jatuh sakit di sana hingga ia meninggal. Seperti diungkap Anhar Gonggong (hlm. 124), Presiden Sukarno tidak menghendaki Romo Soegija dimakamkan di Belanda. Atas permintaan Presiden, jenazah Mgr. Albertus Soegijapranata, S.J. diterbangkan ke tanah airnya tercinta, Indonesia dan dikebumikan sebagai Pahlawan Nasional di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang. Bung Karno menggelarinya Tokoh Nasional dan Jenderal Anumerta, dan Ibu Negara, Fatmawati mengiringi hingga pemakaman itu selesai. Lagu Ave Maria, yaitu Doa Salam Maria, selalu dinyanyikan untuk mengantar pemakaman.