Bertanya dan Berpasrah
Setelah Elifas dan Bildad, tibalah giliran Zofar menasihati Ayub. Nasihatnya sama dengan kedua teman sebelumnya: Ayub harus mengakui dosa dan kesalahannya. Tidak mungkin Allah menghukum manusia sewenang-wenang. Menurut Zofar, Ayub terlalu lancang berkata-kata. Ayub dituduh membenarkan diri sendiri dan menganggap dirinya bersih. Padahal bukan itulah inti keluhan Ayub. Ayub hanya ingin meminta penjelasan: mengapa ia mendapat penderitaan sehebat ini?. Ayub mengakui bahwa ia pasti punya cacat dan kesalahan. Akan tetapi, penderitaan seekstrim ini koq rasanya tidak seimbang dengan dosa-dosanya. Maka, Ayub merasa Allah memperlakukannya secara tidak fair. Itu saja.
Zofar malah mengecam Ayub. Ia menegaskan kemahakuasaan Allah untuk menghukum dan mengganjari manusia. Hanya Allah yang tahu siapa yang layak dihukum dan diganjari berkat. Di situlah dialog keduanya tidak nyambung. Ayub mencari penjelasan tentang keadilan Allah, Zofar bersikeras menegaskan kebebasan dan kemahakuasaan Allah, sekaligus mempersalahkan Ayub dan menyuruhnya bertobat dan memohon pengampunan.
Ada dua pesan buat kita. Dari Ayub kita belajar bahwa keraguan dalam beriman itu wajar. Mempertanyakan keadilan dan kebaikan Allah itu adalah bagian dari pendewasaan iman. Pertanyaan, keraguan, protes, kemarahan, dll, dalam hidup beriman adalah hal yang wajar, tetapi harus terus diarahkan kepada Tuhan. Carilah jawaban di hadapan-Nya, dalam terang Firman-Nya, bukan dalam hal-hal lainnya.
Dari Zofar kita belajar iman tradisional bahwa hanya Allah yang tahu siapa kita sebenarnya. Hanya Tuhanlah yang melihat dan menilai kelayakan diri kita. Oleh karena itu, biarlah Dia saja yang menguji dan menilai kita. Maka, janganlah kita sedih dan patah semangat, kalau ada pendapat dan penilaian manusia yang merendahkan, meremehkan dan meragukan kita.
Salam Alkitab Untuk Semua