Festus memberikan respons yang cukup keras dengan nuansa penolakan terhadap penjelasan sekaligus kesaksian dari Paulus. Meskipun, respons itu dapat juga dianggap ‘agak terlambat’, mengingat ini bukanlah kali pertama Paulus memberikan kesaksiannya di hadapan Festus. Ada kemungkinan Festus berperilaku seperti demikian karena kehadiran raja Agripa dan para pembesar kerajaan lainnya. Meski demikian, respons yang diberikan oleh raja Agripa dan para pembesar pun sangat bertolak-belakang dengan Festus. Agripa telah dengan lugas menilai bahwa kasus Paulus tidak selayaknya dipermasalahkan dan dikenakan pasal dakwaan apa pun sebagai tindakan yang melanggar hukum Romawi. Paulus semestinya sudah bisa dibebaskan. Namun, karena ketidakjelasan sikap dari para pemimpin sebelumnya justru semakin mengaburkan fakta dan nilai kebenaran dari kasus Paulus tersebut.
Tindakan lain yang menarik dalam bacaan ini adalah mengenai cara Paulus mengundang Agripa untuk percaya terhadap kebagnkitan Kristus. Hal ini bukanlah tanpa alasan, mengingat raja Agripa tentu sudah mengetahui segala peristiwa, desas-desus, dan gerakan yang terjadi di wilayah Yudea. Artinya, kesaksian Paulus merupakan sebuah momentum yang semakin membuktikan hidupnya gerakan para murid Kristus, sosok yang telah dibunuh namun telah bangkit dari kematian. Paulus menyadari adanya peluang dari untuk membina iman Agripa sebagai orang yang juga sudah mendengarkan berita mengenai Yesus Kristus. Sikap Paulus ini pun sangat menarik karena ia tidak berusaha meyakinkan raja Agripa untuk membebaskan dirinnya, melainkan menggunakan kesempatan tersebut untuk semakin mengukuhkan kesaksian imannya.
Sahabat Alkitab, kisah Paulus ini telah menjadi sebuah contoh hidup dari seorang umat TUHAN yang terus persisten dalam menggaungkan kesaksian iman. Paulus lebih memilih untuk menggunakan momentum untuk mengukuhkan kesaksian iman dibanding mencari kebebasan personal. Ia lebih mementingkan pertumbuhan imannya dibanding kenikmatannya sendiri. Tentu saja hal ini terjadi karena ia percaya bahwa jaminan penyertaan TUHAN selalu tergenapi dan hal itu adalah cukup baginya. Biarlah renungan ini juga mengingatkan bahwa kita perlu membangun sikap hidup yang persisten dalam memprioritaskan iman dibanding ambisi maupun pengejaran akan kenikmatan diri sendiri.