Paulus menyadari bahwa kesempatan hidup yang ia miliki, termasuk hingga masa ketika ia harus ditawan bertahun-tahun lamanya tanpa adanya kejelasan hukum, merupakan bagian dari pemberitaan firman dan kesaksiannya sebagai orang bertobat, orang yang telah diselamatkan oleh Kristus. Kesaksian Paulus pada bagian ini cukup menunjukkan bahwa ia tidak menganggap situasi terpenjara pada saat itu sebagai beban sebagai pengikut Kristus, melainkan sebagai kesempatan untuk membangun imannya menjadi lebih kokoh. Paulus telah memberikan kesaksian imannya mengenai narasi perjalanan dirinya sebagai pengikut Kristus yang telah diubahkan dan diutus ke berbagai lokasi untuk melakukan pemberitaan dan pengajaran firman kepada banyak orang, termasuk orang-orang non-Yahudi. Semua itu dilakukan sebagai bentuk ketaatannya kepada pengelihatan dari surga yang telah menjadi momentum perubahan dirinya.
Sahabat Alkitab, kesaksian dari Paulus ini telah menunjukkan kepada kita salah satu aspek penting dari proses beriman, yakni kesetiaan. Kesetiaan bukanlah satu kata sifat maupun kata benda yang bersifat pasif apalagi sekadar pernak-pernik dalam kehidupan seorang pengikut Kristus. Justru, kesetiaan semestinya menjadi aspek yang perlu terus mewujud dalam berbagai sikap di tengah beragam situasi-kondisi kehidupan, entah senang maupun susah, suka maupun duka, tenang maupun galau. Kesetiaan itulah yang akan teruji sering dengan kehadiran beragam pengalaman hidup yang kita dapatkan yang akan menuntut kita untuk melakukan respons nyata sebagai umat TUHAN.
Kesaksian dari Paulus berdasarkan bacaan hari ini telah menampilkan sebuah upaya nyata dari seorang umat TUHAN yang bersedia untuk terus persisten dalam mengupayakan kesetiaan menjadi konkret dalam perjalanan kehidupannya. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita sudah cukup gigih untuk menumbuh-kembangkan kesetiaan sebagai pengikut Kristus? Kemudian apakah kita memiliki daya juang dan daya tahan untuk mewujudkan kesetiaan di berbagai situasi-kondisi kehidupan?
