Penyair Amsal melalui teks bacaan hari ini masih tetap memberikan wejangan sekaligus teguran hidup dengan menggunakan model pengulangan syair yang dinegasikan. Dia cenderung membedakan dengan drastis segala bentuk dan hasil dari hidup manusia yang benar dan fasik, antara orang yang berprinsip hidup takut akan TUHAN dari orang yang memilih hidup melanggar firman-Nya. Pada ayat 19-23, dia pun menitikberatkan perhatiannya terhadap perilaku orang melalui bibir atau perkataan. Penyair Amsal membedakan dengan sangat kontras antara bentuk dan hasil perkataan orang benar dari orang fasik.
Bibir para fasik hanyalah menghasilkan dusta yang lekas lenyap seperti sekam, sedangkan perkataan yang dihasilkan dari kebenaran bersifat kokoh tahan lama. Mulut para fasik pun cenderung penuh dengan tipu muslihat sebagai hasil dari hati yang penuh kejahatan, sedangkan setiap orang benar mengeluarkan perkataan yang penuh niatan damai penuh sukacita. Kemudian, berdasarkan semuanya itulah penyair Amsal memberikan kesimpulan bahwa menjalani hidup sebagai orang benar berarti pasti menghasilkan perkataan yang berkenan di hadapan TUHAN, yakni perkataan berhikmat, jujur dan damai yang muncul dari hati yang dipenuhi kebenaran firman-Nya.
Sahabat Alkitab, bacaan Amsal pada hari ini sudah dengan tegas mengajar kita mengenai hasil dari bibir yang berkenan di hadapan TUHAN, yakni perkataan yang muncul dari hati yang penuh kebenaran. Oleh sebab itu, kita pun perlu menilik ke dalam diri sendiri secara jujur, yakni: apakah kita sudah cukup efektif menggunakan bibir untuk menghasilkan perkataan yang membawa damai atau justru berujung perpecahan? Apakah kita sudah mampu membangun kata-kata yang jujur dan tulus atau justru penuh dengan tipu muslihat yang jahat?