Banyak upaya yang akan dilakukan demi membungkam kebenaran, misalnya dengan melancarkan serangan berita-berita bohong yang sangat jauh dari kebenaran itu sendiri. Perilaku para nabi palsu di dalam perikop ini pun menjadi contoh dari upaya membungkam kebenaran. Nampaklah dengan jelas bahwa para nabi palsu tersebut tidak memahami dan memaknai secara utuh nilai dari peran serta jabatan yang dilekatkan pada diri mereka. Alih-alih menjadi ‘penyambung perkataan TUHAN’, mereka justru menjadi pemuas hasrat kekuasaan, meskipun hal tersebut harus menggiring mereka menjauhi kebenaran dari TUHAN itu sendiri. Itulah mengapa, pada saat nabi Mikha dipanggil menghadap raja, ia diarahkan untuk juga ikut terlibat dalam persekongkolan para nabi palsu tersebut. Mikha dipengaruhi untuk mengganti perkataan kebenaran dengan suara-suara kebohongan demi memuaskan ego dan nafsu pada pengguna pakaian kebesaran yang duduk di atas takhta kekuasaan.
Sahabat Alkitab, situasi yang dihadapi oleh Mikha pada perikop ini sesungguhnya juga masih sangat marak kita temui di dalam keseharian kita, mulai dari lingkup kekuasaan politik praktis hingga dalam ruang-ruang sosial keseharian, entah di ruang nyata maupun di ruang-ruang maya. Misalnya saja, kita dapat menemui beragam berita bohong yang dengan sangat mudahnya beredar di sekitar kita demi menjatuhkan citra dan harkat seseorang demi tujuan-tujuan politis tertentu, maupun berita-berita bohong lain yang dibuat demi keuntungan semata. Bukankah hal ini persis seperti yang dilakukan oleh para nabi palsu yang seolah-olah bernubuat di hadapan raja Ahab dan raja Yosafat? Mereka membagikan berita bohong kepada para penguasa demi mendukung ego takhta dan demi memenuhi kebutuhan para nabi itu sendiri.
Para nabi palsu di dalam perikop ini menyadari bahwa memilih kebohongan adalah langkah paling masuk akal untuk menghadirkan kenyamanan. Tentu saja, cara berpikir seperti demikian adalah contoh dari kerusakan orientasi dan moralitas seorang manusia yang tidak memahami nilai dirinya sendiri. Namun, Mikha tampil sebagai orang yang jauh berbeda. Sikapnya pada saat melawan rancangan ketidakbenaran telah menunjukkan bahwa sebagai umat TUHAN yang mengenal kebenaran adalah jauh lebih penting mewujudkan hal tersebut dibanding mendapatkan keuntungan tetapi harus menyangkal kebenaran tersebut. Sikap ini pula lah yang semestinya muncul pada diri setiap umat TUHAN di tengah budaya hidup yang seolah ‘acuh- tak acuh’, bahkan tidak jarang terkesan menormalisasi ketidakbenaran.