Dalam hidup ini kita sungguh menyadari bahwa sesungguhnya tidak ada satupun dari manusia yang hidup terlepas dari berbagai penderitaan dan pergumulan. Kita begitu familiar dengan penderitaan dan pergumulan. Kadangkala penderitaan itu tercermin melalui situasi-situasi yang ada di luar diri kita, tetapi tidak jarang pergumulan tersebut lahir dari keresahan pribadi atau konsekuensi atas beragam tindakan kita. Cara menghadapi atau merespon pergumulan pada akhirnya menjadi sebuah pertanyaan abadi yang tidak kunjung diperoleh jawabannya. Dalam segala tanya yang menyeruak tersebut, kita hanya dapat berjalan langkah demi langkah berharap Tuhan segera mengangkat pergumulan kita. Bahkan jika pergumulan itu telah berlangsung begitu lama, rasanya ada kerinduan yang besar agar damai segera kembali karena pergumulan kita telah tuntas.
Ayub merindukan perasaan yang serupa. Kitab Ayub pasal tiga berisi tentang keluh kesah Ayub yang telah kehilangan segalanya. Ia menderita penyakit kulit yang begitu parah dan istrinya pun meninggalkan dia karena tidak sanggup lagi menghadapi segala dukacita yang terjadi. Keterpurukan Ayub tergambar jelas pada ayat 16, ia berharap seandainya kelahirannya tidak perna ada atau langsung meninggal ketika lahir maka akan menjadi sebuah kedamaian yang luar biasa karena ia tidak perlu mengalami penderitaan yang begitu hebat seperti saat itu. Ia membayangkan dunia orang mati jauh lebih tenang. Semua orang diperlakukan dengan sama tidak ada perbedaan sama sekali.
Dengan pedih hati Ayub berkata, “Mengapa terang diberikan kepada yang bersusah payah, dan hidup kepada yang pedih hati, yang menantikan maut yang tak kunjung datang, mengejarnya lebih daripada harta terpendam;” Orang yang susah adalah mereka yang menanggung beban kerja atau tanggung jawab yang melampaui kekuatannya sehingga mereka diliputi rasa gagal, hilang muka, malu, yakni berhati pedih atau pahit. Dalam situasi ketika kesusahan sama sekali tidak dapat diatasi, hanya ada satu jalan keluar, yaitu maut yang tak kunjung tiba. la dinanti-nantikan dengan hasrat dan tindakan, sama seperti upaya dari seorang yang mengetahui bahwa ada harta terpendam di tanah dan menggali hingga kekuatannya terkuras. Pencari emas itu akan bergembira ketika mendapatkannya. Demikianlah juga orang susah yang mencari kubur, tetapi apakah mereka akan bersorak-sorai? Ternyata belum tentu juga karena semuanya berupa ketidakpastian.
Dalam semua kegelisahan dan kegentaran dalam pergumulan, Ayub tidak berani untuk menatap masa depan. Sebagai sebuah respon khas manusiawi maka jiwanya ikut terguncang. Ketakutan dan kecemasan kini menjadi kawan menggantikan ketenangan dan kedamaian. Ayub masih berjuang untuk memperoleh makna dan jawaban atas apa yang dialaminya. Dengan demikian belum ada tanda-tanda menyerah dalam diri Ayub, meskipun bayangannya akan kematian seperti jauh lebih damai dari hidup penuh derita yang saat itu tengah dialaminya.
Sahabat Alkitab, membaca kitab Ayub sesungguhnya kita diajak untuk masuk kedalam sebuah realitas yang sering kita temui dalam hidup, tetapi seringkali begitu sulit untuk kita bicarakan dan refleksikan. Ayub berhadap-hadapan dengan penderitaannya melalui segala tanya, keluhan, dan refleksi atas relasinya bersama Allah. Kita seolah-olah ditunjukkan keinginan Ayub untuk menyerah dengan pendambaannya atas dunia orang mati, tetapi sesungguhnya ungkapan tersebut adalah tanda dari perjuangannya. Ayub memperlihatkan bahwa dalam upaya mempertanyakan derita sesungguhnya tersirat kegairahan dan hasrat untuk menanti jawaban, atau dengan kata lain semangat untuk tetap hidup. Saat ini mungkin kita tengah dirundung derita yang begitu berat. Hingga lupa akan artinya hidup dalam ketentraman dan kedamaian. Satu-satunya hal yang dapat kita lakukan adalah menjalaninya dengan utuh, tegar, meskipun hanya bisa melangkah pelan-pelan. Mengajukan tanya pada-Nya dalam bingkai pengharapan yang tidak terputus akan pertolongan Tuhan.