Ketika seseorang mengalami penderitaan, sering kali kita merasa terdorong untuk memberikan nasihat. Kita ingin menghibur, membantu, atau bahkan mencari jawaban atas penderitaan itu. Namun, apakah setiap nasihat yang kita berikan selalu benar dan bijaksana? Inilah yang bisa kita pelajari dari kisah Elifas dalam Ayub 4:1-11.
Elifas adalah sahabat Ayub yang berasal dari Teman, sebuah kota yang terkenal sebagai pusat kebijaksanaan. Dengan niat baik, ia mencoba menasehati Ayub yang sedang menderita. Ia berkata bahwa Ayub, yang sebelumnya meneguhkan orang lain, kini justru tampak goyah (Ayub 4:3-5). Elifas menganggap bahwa penderitaan Ayub adalah akibat dari dosanya sendiri (Ayub 4:7-8). Pandangan ini seolah masuk akal, karena secara umum orang di masa itu meyakini bahwa mereka yang hidup dalam kejahatan akan menuai konsekuensinya. Barangsiapa hidup saleh maka akan diperlakukan dengan baik, sementara yang berlaku salah akan dihajar.
Selanjutnya Elifas melanjutkan nasehatnya dengan memberikan berbagai argumentasi yang dipahaminya sebagai hikmat. Hukuman atas mereka yang berlaku salah di hadapan Allah bukan terjadi hanya karena sebab akibat saja melainkan dijalankan oleh Allah. Oleh karena itu, pembalasan tidak dapat dielakkan. Walaupun belum tampak dalam jangka waktu dekat, pembalasan pasti terjadi dalam jangka waktu panjang dan di dunia ini. Inilah ajaran yang dipegang teguh oleh Elifas dan kedua temannya. Paham tersebut haruslah juga diterima dan dipahami oleh Ayub dalam rangka menerima serta memahami deritanya. Dalam pemahaman itulah akan datang penghiburan.
Namun justru di sinilah kesalahan Elifas, ia menerapkan prinsip ini sebagai hukum mutlak, tanpa mempertimbangkan bahwa ada penderitaan yang bukan akibat dari dosa pribadi. Ayub sendiri adalah orang yang benar di hadapan Allah (Ayub 1:8), dan penderitaannya bukanlah hukuman dari Allah. Bisa saja ada derita yang merupakan akibat dari tindakan-tindakan manusia, tetapi tidak demikian dengan apa yang dialami Ayub. Lantas apakah penjelasan Elifas cukup menghibur Ayub? Tentu saja tidak.
Maka dari situasi ini kita belajar bahwa hendaknya dalam penghiburan-penghiburan yang kita lakukan kepada orang lain yang tengah dalam derita atau pergumulan mempertimbangkan situasi yang mereka alami dan bukan hanya berdasarkan maksud dan pola pikir kita saja. Seringkali penghiburan dan pemahaman yang biasa kita sampaikan kepada mereka justru menampilkan sebuah situasi yang timpang. Kita sebagai pemberi nasehat adalah pihak yang superior dan sedang baik-baik saja, sementara mereka yang tengah menderita adalah pihak yang inferior dan sedang tidak baik-baik saja. Kiranya kita dimampukan untuk berbela rasa terhadap derita sesama. Nasehat akan dapat berdampak baik jika mempertimbangan situasi dan suara orang yang sedang dalam derita.