Kata-kata kita memiliki kuasa yang jauh lebih besar dari apa yang dapat kita bayangkan. Bayangkanlah sebuah kerusuhan besar dapat tersulut hanya karena seseorang yang menyebarkan kabar burung atas sesuatu yang belum tentu terjadi. Pada sisi yang lainnya seseorang yang terpuruk karena masalah yang dihadapinya, merasakan kekuatan serta penghiburan luar biasa karena kehadiran seorang sahabat dengan kata-katanya yang melahirkan harapan. Pilihannya terletak pada kita masing-masing, bagaimanakah kita hendak berkata-kata. Satu hal yang perlu diingat bahwa mereka yang terluka karena perkataan orang lain, biasanya akan terdampak dengan begitu hebat dan butuh waktu untuk pulih. Hal terakhir inilah yang terjadi pada Ayub.
Melalui ayat 21-23 terpancar kegundahan Ayub atas apa yang dilakukan sahabat-sahabatnya. Ia sangat mengharapkan pendampingan sahabatnya, tetapi ternyata mereka begitu terkejut melihat Ayub dalam keadaan yang mengerikan sehingga kesanggupan dan keinginan menolong hilang. Ayub tidak berhutang budi kepada mereka, tidak pernah minta apapun, tidak pernah meminta tindakan untuk membebaskan dari musuh. Apakah yang menghindarkan sahabatnya menolong? Ayub meminta diberitahukan apa rintangan antara mereka dan dirinya maka ia akan menerima uraian sahabat-sahabatnya. Bahkan sekalipun Ayub telah berada dalam kesesatan, tunjukkanlah jalan yang menurut mereka sebagai sebuah kesesatan.
Sayangnya yang dapat diberikan para sahabatnya adalah kata-kata yang menurut mereka adalah sebuah kejujuran, tetapi justru bentuknya adalah celaan kepada Ayub. Sayangnya percakapan seolah-olah terjadi dalam “satu arah”. Sahabat-sahabat Ayub mendengar perkataan Ayub, tetapi hanya sambil lalu saja. Mereka menelaah perkataan Ayub, tetapi tidak memperhatikannya sebagai jeritan hati orang yang tengah berputus asa. Teriakan kesakitan Ayub hanya dinilai benar dan salahnya menurut kaidah keimanan saat itu. Bagaikan angin sajalah kata-kata Ayub. Maka wajarlah bila apa yang dinilai sebagai penghiburan oleh sahabat Ayub, merupakan kata-kata kosong belakang yang tidak mencerminkan empati terhadap Ayub.
Mereka begitu keras hati sehingga bisa jadi membuang undi atas anak yatim, untuk mengetahui siapa yang akan mempunyainya atau mereka memperlakukan sahabat sebagai barang dagangan (Ay. 27). Ayub berusaha menarik perhatian para sahabatnya pada dirinya sendiri dan kembali memandangnya sebagai manusia. Bukan sekedar obyek yang bisa mereka nilai sepuasnya. Dua kali Ayub menyuruh sahabatnya untuk berpaling atau berbalik sebagaimana tampak pada ayat 28 dan 29. Ayub mengajak mereka untuk melihat bahwa bahwa dirinya tidak pernah berdusta, tetapi bukan klaim bahwa ia selalu benar. Kiranya mereka memperhatikan penderitaan di belakang kata-katanya dan tidak semena-mena menghakimi lewat perkataan yang disampaikan. Ayub menantang mereka untuk menjawab alasan mengapa penderitaan terjadi pada dirinya, meskipun ia tidak bersalah.
Sahabat Alkitab, sesungguhnya kita selalu memiliki pilihan termasuk dalam menggunakan lidah kita. Apakah lidah ini hendak dipakaikan untuk menghibur serta menguatkan sesama, atau menghakimi dan sekadar menyebar berita bohong (hoax). Dewasa ini lidah (perkataan)bahkan diwakili oleh jari-jari kita saat menggunakan media sosial. Kita sering merasa berkuasa dan menjadi netizen maha benar dengan mengeluarkan komentar-komentar pada orang lain yang bahkan tidak kita kenal dan menilai situasi yang kita tidak tahu benar kejelasannya. Bijaklah dalam berkata terutama saat memberikan penghiburan kepada mereka yang tengah berduka dan berada dalam pergumulan. Semoga Tuhan senantiasa menuntun kita dengan hikmat-Nya.