Kekuatan untuk menjalani kehidupan dapat berasal dari berbagai hal. Salah satunya adalah dengan menemukan kebermaknaan hidup dan penghayatan yang benar akan tujuan keberadaan kita di dunia. Dalam kacamata kita sebagai orang beriman maka seluruh jawab tersebut terletak kepada relasi kita dengan Allah Sang Pencipta dan Penyelamat. Namun ada masanya bahwa kebermaknaan hidup itu hilang saat diterpa badai persoalan yang begitu hebat. Disinilah tantangan yang harus kita jawab.
Pada Ayub 6:11-12, nampak bahwa Ayub mengajukan sebuah pertimbangan dan pemikiran yang begitu mendalam. Apakah hidupnya masih berarti atau tidak? Apakah ia dapat bertahan secara fisik dan batin di tengah segala pergumulannya? Apakah kekuatannya sehingga masih sanggup bertahan? Kata kekuatan dalam ayat ini identik dengan sumber atau daya kehidupan yang memampukan seseorang untuk bertahan dan terus menjalani kehidupan dengan baik. Pada kitab Mazmur misalnya, pemazmur sering mengeluhkan “kekuatan yang habis atau kering” sebagai gambaran dari daya hidup tersebut. Rangkaian pertanyaan tersebut mau tidak mau mengarahkan kepada perenungan selanjutnya yakni apakah masih ada masa depan baginya saat masa kini terasa begitu berat dan menyulitkan. Ia beranjak dari kondisi tubuhnya yang semakin melemah dan rapuh tidak seperti batu dan tembaga yang merupakan simbol dari kekuatan (ay.12).
Ayub kemudian mengungkapkan bahwa tidak ada lagi pertolongan baginya dan penyelamatan Allah terasa begitu jauh. Apakah masih ada harapan untuk melampaui segala penderitaan tersebut? Bahkan tiada lagi teman serta sahabat yang sungguh-sungguh dapat memahaminya. Ayub memiliki sahabat tetapi mereka salah memahaminya. Bagi Ayub sebagaimana yang diungkapkan pada ayat 14, menolak untuk menolong sahabat yang memerlukan berarti tidak menerima tugas yang Allah berikan, karena tidak menghormati perhatian serta kasih setia Tuhan terhadap teman sahabat yang sedang menderita itu. Dari sini kita melihat bahwa memang Ayub sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Tuhan terkait dengan keberadaannya sebagai orang yang tidak berbuat salah kepada Tuhan tetapi menerima penderitaan yang begitu hebat, tetapi ia tidak pernah sedikitpun kehilangan iman akan Allah.
Keberadaan teman-temannya selayaknya wadi, sunga musiman yang deras di musim semi ketika es dan salju meleleh dan yang kering pada akhir musim panas. Ia mengharapkan air yang segar bagaikan kasih setia, tetapi tidak mendapatkannya. Sahabat Ayub bagaikan wadi itu yang hanya datang secara musiman dan tidak dapat diandalkan dengan seutuhnya. Menderita dan hidup dalam kesendirian serta disalah pahami oleh sahabat-sahabatnya. Sungguh dapat dipahami jika ia kehilangan kebermaknaan hidupnya. Namun pada akhirnya Ayub tetap memilih untuk terus menjalani hidupnya meskipun segala tanya menyeruak dengan hebat bahkan seringkali seperti sepercik pertentangan dengan Allah. Meskipun begitu tidak pernah sekalipun Ayub kehilangan imannya kepada Allah.
Kiranya segala derita, tantangan, dan pergumulan yang kita hadapi tidak pernah menjauhkan kita dari-Nya. Kita tetap dapat memaknai kehidupan kita sebagai anugerah dari Allah. Pergumulan boleh datang silih berganti, justru iman kepada-Nya lah yang membuat kita kuat. Dalam kondisi tersebut mengajukan pertanyaan-pertanyaan adalah sebuah kewajaran. Hal itu bukan tanda ketidakpercayaan, melainkan lahir dari kesadaran bahwa hanya kepada Tuhan saja lah kita dapat bertanya. Tuhan adalah sumber jawaban serta makna hidup kita.