Zofar, salah satu sahabat Ayub, menyampaikan kegelisahannya atas pembelaan Ayub sebelumnya. Ia berkata: “Itulah sebabnya pikiran-pikiranku mendorong aku untuk menjawab, karena hatiku tidak sabar lagi. Kudengar teguran yang menghina aku, tetapi roh yang memberi pengertian memberi jawaban bagiku.” (Ayub 20:2-3). Zofar menyampaikan bahwa kegelisahan batinnya bukan hanya karena argumen Ayub, tetapi juga karena teguran yang dianggap mencela dirinya. Namun, alih-alih berempati, Zofar justru kembali kepada logika lamanya, bahwa penderitaan adalah akibat dosa, dan bahwa orang fasik tidak akan bertahan lama (ay. 4-5). Bagi Zofar, sejarah telah mengajarkan bahwa kesuksesan orang fasik bersifat sementara. Ia menggambarkan kehidupan mereka yang seolah tinggi menjulang, tetapi akhirnya lenyap seperti mimpi malam (ay.6–8). Gambaran ini sangat puitis, sekaligus menggugah, orang yang dahulu diagungkan, suatu hari bisa dilupakan seolah tidak pernah ada.
Namun, yang menarik adala walau ucapan Zofar mengandung unsur kebenaran—bahwa kejahatan pada akhirnya tidak memiliki masa depan—tetapi ia gagal menerapkannya secara tepat. Ia menuduh Ayub sebagai orang fasik, padahal Ayub bukan menderita karena dosanya, melainkan sebagai bagian dari rencana ilahi yang lebih besar dari yang dapat dipahami manusia. Zofar melihat kebenaran, tetapi menerapkannya secara salah. Ia mengutip prinsip kekal tentang kefanaan kejahatan, tetapi ia tidak memahami penderitaan Ayub.
Sahabat Alkitab, kadangkala sesuatu yang kita pandang sebagai “kebenaran” bisa saja tidak menjadi berkat bagi orang lain, jika kebenaran itu dikenakan secara buta dan seolah-olah bernilai universal dalam segala konteks serta sudut pandang. Sadarilah bahwa kebenaran bisa menjadi alat yang melukai jika disampaikan pada waktu dan konteks yang salah. Seperti halnya Zofar, meski menyampaikan kenyataan bahwa kejahatan dan kesombongan tidak bertahan lama, tetapi ia gagal memahami bahwa tidak semua penderitaan adalah akibat dosa. Ia menghakimi Ayub dari luar tanpa menyelami kedalaman hatinya.
Marilah kita belajar untuk melihat dunia dengan segala kompleksitasnya. Termasuk tentang bagaimana setiap orang berproses melalui segala peristiwa yang dialaminya, menilai peristiwa tersebut berdasarkan sudut pandangnya sendiri, serta mencoba untuk bersuara lantang di tengah situasi yang mungkin begitu berat untuk bersuara. Penghargaan terhadap proses dan berbagai cara pandang yang membentuknya membuat kita tersadar bahwa pendapat kita akan menjadi bermakna jika turut mempertimbangkan hal tersebut. Saat itu terjadi kita dapat sungguh-sungguh berempati terhadap derita sesama bukan hanya melihat sekitar dengan sebelah mata serta berdasarkan penilaian kita semata.