Saat merespons bencana dan penderitaan, sering kali kita mati-matian membela kedaulatan Tuhan. Kita merasa harus menjelaskan mengapa Tuhan membiarkan penderitaan itu terjadi. Kesimpulan akhirnya ialah Tuhan adalah sosok yang Maha Adil, sehingga tidak mungkin bagi-Nya untuk mendatangkan derita dan bencana, jika manusia tidak bersalah. Kita ingin memberi jawaban, seakan-akan Tuhan perlu dibersihkan dari tuduhan mereka yang mengalami penderitaan. Akan tetapi, dalam kitab Ayub, kita belajar sesuatu yang mengejutkan: Tuhan tidak perlu dibela, sebaliknya justru kitalah yang perlu belajar dan menerima hal yang sulit diterima. Para sahabat Ayub mencoba membela Tuhan dengan mengatakan bahwa penderitaan Ayub pasti akibat dosanya. Namun justru karena itulah mereka keliru. Mereka memaksakan doktrin di atas realitas, dan menyakiti hati sahabatnya.
Pada perikop ini Ayub tidak hanya berbicara kepada sahabat-sahabatnya, melainkan ia seolah berbicara kepada setiap orang yang hendak mempertahankan serta menegakkan keadilan Tuhan. Ia tidak mungkin bersalah dan jika ada penderitaan, itu semua karena ulah manusia. Ayub berkata, bahwa kita tidak mungkin benar-benar dapat memahami Allah yang Maha Tinggi. Allah adalah Hakim atas segala yang tinggi, termasuk malaikat-malaikat surgawi. Jadi, apakah kita pikir kita bisa membela atau mengarahkan Tuhan? Ayub menunjukkan bahwa kenyataan hidup tidak selalu sejalan dengan dogma-dogma yang selama ini disampaikan manusia. Orang fasik bisa hidup panjang umur, bahagia, dan mati dalam kehormatan. Sementara orang benar bisa menderita seumur hidup dan mati dalam kesepian. Di sinilah doktrin para sahabat Ayub runtuh. Mereka yang ingin mempertahankan ‘nama baik’ Tuhan, justru melakukan kekeliruan dengan menyalahkan Ayub sebagai korban. Mereka berbicara, bukan untuk menghibur atau menolong Ayub, tapi untuk membuktikan bahwa pemahaman mereka benar. Ayub menyebut kata-kata mereka sebagai "sia-sia" (ayat 34). Mengapa? Karena kebenaran tanpa kasih adalah kekosongan, dan teologi tanpa empati adalah luka.
Sahabat Alkitab, kita dipanggil untuk mencerminkan kasih-Nya dalam kehidupan kita. Tuhan adalah Allah yang berdaulat dan Maha Tahu. Namun kita tidak perlu melakukan pembelaan-pembelaan atas nama keadilan Tuhan. Pemahaman manusia tidak akan pernah mampu menjangkau seluruh hikmat-Nya. Tugas kita adalah hidup setia serta menghadirkan kasih-Nya melalui perkataan dan tindakan. Saat melihat orang lain menderita, belajarlah hadir dengan empati, bukan menghakimi.