Pernahkah Anda merasa hidup Anda tiba-tiba menjadi kacau, seperti langit cerah yang dalam sekejap berubah menjadi mendung dan hujan badai? Pekerjaan yang dulu stabil mendadak goyah. Relasi yang harmonis berubah menjadi penuh jarak. Kesehatan yang baik kini diwarnai kekhawatiran. Bahkan batin yang biasanya tenang kini mudah cemas dan kosong. Hidup rasanya berubah dengan cepat. Terang dan badai datang silih berganti dengan begitu cepat. Bisakah kita menghadapi ragam dinamika kehidupan tersebut? Mungkin yang perlu kita perlengkapi adalah cara pandang yang baru dalam melihat peristiwa-peristiwa tersebut termasuk badai yang hadir di hidup kita. Pada hari ini kita akan melihat pendapat Elihu untuk melihat badai dalam perspektif lain.
Pada pasal 37, Elihu mengawali pidatonya dengan mengatakan, “Sungguh, oleh karena itu hatiku berdebar-debar”. Ia sedang berbicara tentang pengalaman batin yang dalam saat menyadari kehadiran Allah dalam badai, baik badai di langit, maupun badai hidup. Guntur, kilat, angin, dan hujan menurut Elihu bukanlah sekadar fenomena alam; mereka adalah “sabda kosmis”—firman tanpa kata, tetapi tidak tanpa pesan.
Tradisi Ibrani, seperti Mazmur 29, menggambarkan guntur sebagai suara Tuhan. Bukan hanya firman tertulis yang menyampaikan kehendak Allah, tetapi alam ciptaan pun dapat menjadi perpanjangan suara-Nya. Bagi Elihu, Allah adalah pengatur badai. Dialah yang mengarahkan awan, menurunkan hujan, mengatur angin dan salju (ay. 11–12). Tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Maka, badai kehidupan, apapun bentuknya bisa menjadi sarana pewahyuan Allah. Bahkan jika kita membaca ayat 13, disana dituliskan bahwa badai bisa datang sebagai teguran atau sebagai tanda kasih setia. Artinya, Tuhan bisa menyatakan kehadiran-Nya baik untuk menyadarkan, maupun untuk menguatkan dan menghibur.
Sahabat Alkitab, kehidupan zaman ini sering kali mengajarkan kita untuk menghindari penderitaan atau badai kehidupan. Kita ditunjukkan cara mencari solusi cepat, hiburan instan, atau pelarian sesaat. Namun bacaan hari ini memberikan sebuah sudut pandang yang menggugat cara berpikir tersebut, “Sudahkah kita cukup tenang untuk mendengar Tuhan dalam badai? Apakah hati kita masih bergetar tatkala menyadari kehadiran-Nya?” Elihu tidak mengajak kita untuk menikmati badai, tetapi untuk menyadari bahwa Tuhan tidak diam. Ia sedang berbicara, mungkin bukan dengan kata-kata, tetapi melalui keadaan yang mengajak kita merenung dan bertumbuh. Allah tidak selalu mengangkat kita dari badai. Kadang kala Ia justru menyatakan siapa diri-Nya di tengah badai.