Kadangkala sikap kita saat menyembah-Nya menyerupai sikap seorang anak kecil yang tengah merajuk kepada orang tuanya. Kita menuntut segala sesuatunya terjadi sesuai dengan keinginan kita serta menggugat Allah untuk segera merespons segala pertanyaan kita. Padahal iman yang hidup dan dewasa adalah iman yang tetap setia kepada-Nya meskipun seringkali kita tidak mendapatkan sesuai yang diinginkan. Hal itulah yang hendak kita pelajari dari Ayub 38: 1-11.
Ayub telah lama berseru, menggugat, dan menantang Tuhan untuk menjawab penderitaannya. Ia tidak puas dengan jawaban teman-temannya dan bahkan merasa Tuhan bungkam. Tetapi dalam bacaan ini, sesuatu yang menakjubkan terjadi, Tuhan benar-benar menjawab! Ia menjawab dari dalam badai, suatu tanda kehadiran ilahi yang agung dan mengguncangkan. Bukan hanya jawaban secara verbal, melainkan theofani—sebuah kehadiran ilahi yang menegaskan siapa yang sedang berbicara. Momen tersebut mengubah arah kisah. Jika pada rangkaian peristiwa sebelumnya, Tuhan hanya disebut dengan gelar-gelar seperti El, Shaddai, atau Eloah. Namun kini, ketika Ia berbicara kepada Ayub, Ia menyatakan diri sebagai Yahweh—nama perjanjian-Nya, nama yang penuh relasi, dan memperlihatkan bahwa Dia bukan sekadar kekuatan misterius, tapi Allah yang mengikat diri-Nya dengan umat-Nya.
Menariknya Tuhan tidak langsung menjawab “mengapa” Ayub menderita. Sebaliknya, Ia mengajukan pertanyaan demi pertanyaan yang membawa Ayub ke dasar hakikat ciptaan, “Di manakah engkau ketika Aku meletakkan dasar bumi?” (38:4). Tuhan menggambarkan proses penciptaan alam semesta melalui penggambaran seorang arsitek agung yang membangun dunia dengan hikmat dan kasih. Tuhan seakan berkata, “Jika kamu tidak memahami dasar-dasar ciptaan, bagaimana kamu bisa menilai tindakan-Ku dalam sejarah hidupmu?” Namun jangan keliru, semua ini bukan semata-mata Tuhan ingin “menyombongkan” diri. Sebaliknya, Tuhan mau menjawab dan tidak tinggal diam. Ia datang meskipun jawabannya bukan berupa penjelasan, tetapi berupa kehadiran. Kehadiran-Nya dalam badai adalah jawaban yang jauh lebih kuat dari seribu teori tentang penderitaan.
Sahabat Alkitab, kisah ini menegaskan satu hal penting, ternyata Tuhan mau menjawab dan tidak menutup telinga terhadap seruan manusia. Ia mungkin menunda atau memilih beragam cara yang tidak terduga. Meskipun demikian, Ia tetaplah Allah yang hadir, bersuara, dan bersedia menjumpai manusia. Ayub tidak mendapatkan penjelasan logis, tetapi ia mendapatkan “perjumpaan ilahi”, dan itu cukup untuk mengubah perspektifnya. Dalam dunia yang sering menuntut jawaban cepat atas penderitaan dan ketidakadilan, kisah ini mengingatkan kita bahwa Allah tidak selalu memberi jawaban, tetapi Dia selalu memberi diri-Nya. Kadangkala keheningan-Nya bukanlah penolakan, melainkan penciptaan ruang bagi pertumbuhan iman.