Saat pagi tiba, kita terbangun dan menikmati hari tanpa bertanya, “siapa yang ‘menjadwalkan’ datangnya pagi?” Kita lebih fokus tentang rencana kita hari ini, tentang apa yang akan kita lakukan dan siapa yang akan kita temui. Namun, ketika hidup kita diterpa ‘malam’ yang panjang, saat penderitaan datang dan doa tak kunjung dijawab, kita mulai mempertanyakan Tuhan. Namun, pernahkah kita berfikir, siapkah kita mendengar jawaban dari-Nya?
Perikop kita kali ini merupakan kelanjutan dari jawaban Allah kepada Ayub, Ia tidak hanya menyatakan kuasa-Nya atas kosmos, tetapi juga memperlihatkan betapa kecilnya pengetahuan dan kuasa manusia. Fajar, terang, gelap, laut, dan kematian, semuanya tunduk pada tatanan ilahi yang tidak mampu kendalikan oleh manusia. Tuhan menantang Ayub (dan kita juga) dengan serangkaian pertanyaan retoris. Bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk menghadirkan kesadaran, bahwa kita sering menuntut jawaban tanpa memiliki kapasitas untuk memahami keseluruhan jawaban itu. Dalam tradisi kuno, fajar dan senja bukan sekadar fenomena alam. Mereka dipersonifikasikan sebagai makhluk surgawi, pengatur waktu dan batas-batas moral dunia. Setiap kali fajar datang, ia mengusir kegelapan, bukan hanya secara fisik, tetapi juga simbolik. Ia mengguncang para pelaku kejahatan dari persembunyiannya (Ayub 38:13). Tuhan menunjukkan bahwa, bahkan dalam keteraturan alam yang tampak biasa, Dia sedang bekerja memelihara keadilan. Ia juga mengajak Ayub untuk mempertimbangkan kedalaman yang tak terjamah, seperti dasar lautan, pintu-pintu kematian, dan tempat tinggal terang serta gelap. Semua itu berada dalam pengaturan-Nya, bukan di tangan manusia. Ini merupakan pengingat, bahwa manusia bukan pencipta realitas ini, Tuhanlah Pemilik dan Penata segala sesuatu. Dia hadir, bahkan di tempat yang paling gelap dan terdalam.
Sahabat Alkitab, kita kembali disegarkan mengenai pemaknaan akan dinamika relasi kita dengan Allah. Kita belajar bahwa Tuhan tidak selalu menjawab dengan penjelasan yang sesuai bayangan kita. Ia menjawab dengan kehadiran dan pertanyaan yang membentuk kembali perspektif kita. Dalam penderitaan, ada kalanya kita ingin mendapatkan jawaban yang lugas dari-Nya tentang alasan penderitaan itu datang atau kapan waktu berakhirnya segala penderitaan tersebut. Namun seringkali, Tuhan justru mengundang kita masuk ke dalam misteri-Nya. Ia memang tidak memberi kita kendali atas terang dan gelap, tetapi memberi kita iman untuk berjalan di antaranya. Maka, saat doa kita terasa tak terjawab, jangan buru-buru menyimpulkan bahwa Tuhan diam. Mungkin Ia sedang menuntun kita, seperti Ia menuntun Ayub untuk berefleksi atas deritanya. Dengan penuh kejujuran marilah kita merenungkan sebuah pertanyaan, “Siapkah saya mendengar jawaban-Nya yang sesungguhnya?”.