Seorang anak kecil bertanya kepada ayahnya, “Ayah, mengapa salju turun dari langit? Siapa yang menaruhnya di sana?” Sang ayah tersenyum, mencoba menjelaskan dengan ilmu pengetahuan sederhana, tetapi anak itu kemudian bertanya lagi, “Tapi kenapa Tuhan tidak menaruh salju di padang pasir saja?” Ayahnya terdiam. Ia menyadari bahwa tak semua pertanyaannya dapat dijawab dengan sempurna. Demikianlah cerminan jiwa Ayub, yang penuh gejolak, ingin tahu, dan menggugat. Namun, dalam pasal 38 ini, Tuhan menjawab, bukan dengan pembelaan, melainkan dengan pertanyaan yang memberi didikan.
Dalam bahasa puitis dan metaforis, Tuhan menggambarkan fenomena alam seperti salju dan hujan sebagai komoditas surgawi, seakan Ia menyimpannya di gudang raksasa di langit. Salju dan hujan bisa menjadi berkat bagi bumi tapi juga sebagai alat penghakiman ilahi. Bahkan hujan yang turun di tanah tandus (ayat 26–27) menunjukkan bahwa kasih karunia Tuhan tak terbatas hanya pada wilayah yang dihuni manusia. Alam tunduk pada desain dan waktu ilahi. Bahkan badai pun berjalan pada jalur yang ditetapkan. Tak ada yang acak. Ini adalah jawaban dalam bentuk didikan, Allah mendidik dengan menyadarkan. Lalu Ia melanjutkan pengajaran kepada Ayub melalui gambaran proses kelahiran, “Apakah hujan itu berayah? Atau siapakah yang melahirkan tetesan embun?” Dengan indah, metafora kelahiran menyingkap misteri dari hal-hal yang tampak biasa. Hujan bukan sekadar uap yang mengembun, melainkan bagian dari rahmat dan misteri Allah yang tidak dimiliki manusia. Es yang menutup permukaan samudera ( תְהֹ֑ום — tahom, bdk. Kejadian 1:2) adalah lambang bagaimana kekuatan yang penuh kasih bisa menutupi kekacauan, gambaran dari bagaimana anugerah bisa menjadi penghalang atas kekacauan dunia bawah. Di balik fenomena itu ada tatanan dan makna yang jauh melampaui pengetahuan manusia. Tatanan surgawi yang paralel dengan tatanan di bumi. Maka, bila Ayub ingin memahami penderitaannya, ia terlebih dahulu harus mengakui keterbatasannya. Penderitaan yang dialaminya bukan bukti ketidakhadiran Tuhan, tetapi justru bagian dari tatanan yang lebih besar—yang belum bisa ia mengerti.
Sahabat Alkitab, yakinlah bahwa Allah hadir dalam segala sesuatu. Bahkan hembusan angin yang paling lembut dapat menjadi teguran dan sapaan-Nya. Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Ia selalu mendidik dengan cara-Nya. Saat hidup menjadi begitu berat karena pergumulan kita yakinlah bahwa Allah selalu bekerja. Pada akhirnya dalam dunia yang sering tampak kacau dan tak adil, iman bukan sekadar mencari penjelasan, tetapi belajar hidup dalam kekaguman dan ketaatan.