“Ampuni Ketidaktahuanku”

Renungan Harian | 15 Jun 2025

“Ampuni Ketidaktahuanku”


Kehidupan mengantar kita pada beragam dinamika, krisis pekerjaan, perceraian, pengkhianatan, diagnosa medis yang mengubah arah hidup, atau kegamangan dalam doa yang tak kunjung dijawab. Dalam pergumulan seperti itu, seperti Ayub, kita pun bisa tergoda menyimpulkan bahwa Allah tidak peduli. Kita ingin memaksa logika kita bekerja di tengah misteri ilahi—dan saat gagal, kita kecewa. Namun seperti Ayub, kita perlu sampai di titik hening. Titik ketika kita tak lagi sibuk membela diri atau menyalahkan ilahi, tetapi hanya berkata dengan penuh kesadaran, “Ampuni ketidaktahuanku. Aku kira Engkau tidak hadir, tapi ternyata Engkau tetap menjagaku.” Ayub pernah merasa demikian. Setelah kehilangan harta, keluarga, kesehatan, bahkan harga diri, Ayub merasa Tuhan tidak lagi peduli. Ia menangis, mempertanyakan, bahkan menantang Allah untuk menjawab penderitaannya. Dalam kegentingan itu, Ayub mencoba merumuskan keadilan menurut logikanya sendiri—sebuah keadilan yang mengharuskan Allah menjawab “mengapa orang benar menderita?”


Namun, ketika Allah akhirnya menjawab dari dalam badai (Ayub 38–40), Ayub tidak mendapatkan penjelasan sebab-akibat, melainkan perjumpaan yang mengguncangkan sekaligus menenangkan. Allah tidak datang untuk menghakimi Ayub karena keluhannya, tetapi untuk menunjukkan bahwa dunia ini jauh lebih luas dan misterius dari yang bisa dipahami manusia. Ayub pun terguncang. Ia menyadari bahwa kata-katanya terlalu gegabah. Ia berkata, “Aku ini terlalu hina (Ibrani: קַלֹּתִי – qalalti). Ungkapan ini bukanlah pengakuan dosa moral, melainkan ekspresi kerendahan hati yang lahir dari kesadaran akan keterbatasan manusia di hadapan Allah yang Mahabesar. Ia menutup mulutnya, bukan karena kalah debat, tetapi karena hatinya tersentuh oleh realitas ilahi yang melampaui pemahamannya. Seandainya Ayub bisa merangkum isi hatinya saat itu, mungkin inilah yang ia katakan: “Ampuni ketidaktahuanku. Aku mengira Engkau telah meninggalkanku, ternyata aku salah. Seharusnya aku bertahan sedikit lagi, seharusnya aku tidak merasa malu menjadi ejekan, karena Engkau tetap menjagaku meski aku tak mengerti cara-Mu.”


Allah tidak memarahi Ayub karena bergumul. Sebaliknya, Ia mengajak Ayub masuk ke dalam dialog yang membentuk dan mengubah perspektifnya. Allah menggeser fokus Ayub dari “perkaraku” (מִשְׁפָּטִי —mishpati) kepada “keadilanku” (מִשְׁפָּטִי —mishpati) yang mencakup seluruh ciptaan. Ayub tidak lagi menuntut pengertian total, melainkan menyerahkan dirinya kepada Allah yang lebih tahu.


Sahabat Alkitab, kadang ketika kita tengah berada dalam penderitaan kita merasa Allah menjauh, dan kita pun tergoda mengukur kasih Allah dengan kondisi hidup kita. Namun Ayub menjadi saksi bahwa keheningan Allah bukanlah ketidakhadiran-Nya. Dalam badai sekalipun, Ia tetap berbicara. Dalam keluh kesah kita, Ia tetap mendengar, bahkan mengajar kita untuk dapat melihat dari sudut yang lebih luas—bahwa tidak semua harus dijawab, tetapi semua bisa dijalani bersama-Nya.



Logo LAILogo Mitra

Lembaga Alkitab Indonesia bertugas untuk menerjemahkan Alkitab dan bagian-bagiannya dari naskah asli ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Kantor Pusat

Jl. Salemba Raya no.12 Jakarta, Indonesia 10430

Telp. (021) 314 28 90

Email: info@alkitab.or.id

Bank Account

Bank BCA Cabang Matraman Jakarta

No Rek 3423 0162 61

Bank Mandiri Cabang Gambir Jakarta

No Rek 1190 0800 0012 6

Bank BNI Cabang Kramat Raya

No Rek 001 053 405 4

Bank BRI Cabang Kramat Raya

No Rek 0335 0100 0281 304

Produk LAI

Tersedia juga di

Logo_ShopeeLogo_TokopediaLogo_LazadaLogo_blibli

Donasi bisa menggunakan

VisaMastercardJCBBCAMandiriBNIBRI

Sosial Media

InstagramFacebookTwitterTiktokYoutube

Download Aplikasi MEMRA

Butuh Bantuan? Chat ALIN


© 2023 Lembaga Alkitab Indonesia