Kehidupan zaman ini tidak henti-hentinya mempertontonkan pencitraan, kepura-puraan, dan komunikasi yang penuh dengan agenda tersembunyi. Banyak orang berkata manis di depan, tetapi menyimpan tipu daya di dalam hati. Dalam realitas seperti ini, ketulusan menjadi nilai yang langka. Situasi serupa telah menjadi keprihatinan bagi pemazmur pada zaman lampau, yang tertulis dalam Mazmur 12. “Tolonglah kiranya, TUHAN, sebab orang saleh telah habis, telah lenyap orang-orang yang setia dari antara anak-anak manusia.” (ayat2), ayat tersebut menjadi ratapan akan hilangnya integritas dan kejujuran di tengah masyarakat yang semakin rusak. Kata-kata tak lagi digunakan untuk kebaikan, melainkan untuk memanipulasi dan menguasai.
Pemazmur melihat bahwa akar dari kehancuran ini terletak pada hati yang bercabang. Ketika hati manusia tidak lagi selaras dengan perkataannya, maka hubungan antar manusia pun menjadi rapuh. Kebohongan, kemunafikan, dan kesombongan bukan hanya melukai sesama, tetapi juga merupakan bentuk pelanggaran pada janji kesetiaan kepada Allah. Di tengah situasi ini, pemazmur tidak tinggal diam dalam keputusasaan. Ia berseru kepada Tuhan dan memohon pertolongan-Nya. Seruan ini bukan hanya jeritan pribadi, tetapi juga mewakili hati orang-orang benar yang merasa tertindas oleh dominasi orang fasik.
Jawaban Tuhan atas seruan itu sangat menghibur, “Sekarang juga Aku bangkit, firman TUHAN; Aku akan memberi kepada orang yang mendambakannya.” (ayat 6). Tuhan bukan hanya mendengar, tetapi juga bertindak sebagai pembela orang yang tertindas. Janji-Nya disampaikan dengan kata-kata yang murni, seperti perak yang dimurnikan tujuh kali, dimurnikan dengan sempurna. Perkataan atau janji Tuhan ini kontras dengan kata-kata manusia yang penuh tipu daya. Di tengah dunia yang menormalisasi kebohongan, janji Tuhan tetap menjadi jangkar yang kokoh, dapat dipercaya, dan di sanalah kita menemukan kekuatan untuk tetap setia dan tulus.
Sahabat Alkitab, kiranya ketulusan menjadi bagian dalam karakter kita. Ketika banyak orang memilih kepalsuan demi keuntungan pribadi, hidup dalam kasih dan ketulusan menjadi kesaksian iman yang kuat. Ketulusan memang tidak selalu mudah dan tidak selalu dihargai, tetapi Tuhan melihat dan menghargai setiap langkah setia umat-Nya. Maka, marilah kita menjadi jembatan kasih-Nya, melalui hati yang tulus, perkataan yang membangun, dan hidup yang mencerminkan kebenaran Allah. Ketulusan bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang memuliakan Tuhan di tengah dunia yang luruh martabatnya.