Akal budi manusia menghadirkan sebuah keyakinan bahwa dengan kemampuannya sendiri seseorang bisa dan mampu menghadirkan apapun dalam kehidupannya. Kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri ini penting untuk bertahan di dunia. Namun pada sisi yang lain keyakinan itu perlu diimbangi dengan kesadaran bahwa pada akhirnya yang menentukan adalah Allah. Ia memiliki dan menentukan segala sesuatu dalam semesta.
Dengan tegas pemazmur mengalamatkan syairnya kepada “orang-orang bodoh” dan “dungu”. Kedua kata tersebut tidak selalu merujuk kepada kemampuan kognitif seseorang, melainkan kategori manusia yang meletakkan kebanggaan pada dirinya. Mereka menganggap segala pencapaian serta kegemilangan semasa hidup sudah cukup untuk menjadi alasan bagi mereka untuk tetap diingat. Dalam hikmat Tuhan, pemazmur mengingatkan bahwa hal tersebut adalah fana.
Segeralah berbalik kepada hikmat-Nya, mereka yang terlalu berbangga hati serta tinggal dalam kecongkakkan akan binasa. Mereka akan binasa menuju dunia orang mati, seperti domba yang digiring ke pembantaian. Dari segala kebinasaan itu hanya Allah yang dapat membebaskan. Maka dari itu kebermaknaan hidup manusia tidak terletak pada hal-hal fana yang dicapainya, melainkan dalam ketertundukan kepada Allah dan relasi kekal bersama-Nya. Namun bukan berarti segala kegemilangan hidup tersebut tidak boleh dicapai manusia, sebagaimana digambarkan melalui pesan Sang Pemazmur bahwa segala sesuatu harus disertai dengan hikmat dan pengertian-Nya.
Maka marilah menundukkan diri kepada Allah dalam segala pengambilan keputusan kita. Tidak mengedepankan hawa nafsu serta pemikiran kita sendiri melainkan turut kepada hikmat Allah yang mendatangkan pengertian akan hidup. Itulah penanda akan hidup yang sungguh-sungguh dipersembahkan kepada Tuhan.