Pernahkah dalam percakapan sehari-hari kita sering mendengar ungkapan berikut ini, “kamu sih jarang ibadah, makanya kariernya disitu-situ aja!” Mungkin ujaran tersebut adalah celotehan sambil lalu, tetapi jika ditelisik lebih jauh kalimat tersebut sebenarnya mengungkapkan pemahaman yang seringkali kita anut. Seringkali kita merasa ibadah/doa dan disiplin spiritualitas adalah “alat tukar” kepada Allah untuk mendapatkan segala kebaikan dalam hidup serta hal-hal lain yang diinginkan. Dalam bentuk yang serupa muncul juga pada motivasi kita memberi persembahan. Kita memberi banyak agar Tuhan memberkati berlimpah-limpah. Padahal ibadah dan doa kita jauh lebih dalam dari hal tersebut.
Tuhan yang kita sembah selalu diperkenalkan sebagai pencipta segala sesuatu. Ia adalah raja semesta, satu-satunya yang patut kita sembah. Ibadah, doa, dan persembahan kita bukanlah prasyarat akan kuasa dan keberadaan-Nya. Inilah yang ditentang oleh pemazmur dalam Mazmur 50:1-12. Tuhan bukanlah Allah yang haus dan lapar akan pujian, penyembahan, serta persembahan umat-Nya. Merupakan sebuah kekeliruan dan kebodohan jika umat-Nya berpikir seperti itu (ay.8-9).
Pemazmur lantas menegaskan kembali kepemilikan Allah atas segala sesuatu yang ada di alam semesta. Dunia adalah kepunyaan-Nya. Jika Ia menginginkan sesuatu, Ia tidak perlu meminta manusia untuk mempersembahkannya kepada-Nya (ay. 10-12). Tuhan memang memerintahkan umat pada masa itu untuk mempersembahkan kurban bakaran, tetapi semua itu bukanlah untuk memuaskan diri-Nya. Sejatinya, kurban bakaran merupakan tanda perjanjian yang membedakan umat-Nya dengan bangsa-bangsa lainnya. Kurban tersebut cara Tuhan mengajarkan untuk membangun relasi serta kebergantungan penuh kepada-Nya.
Sahabat Alkitab, marilah kita membangun relasi yang tulus dengan Allah melalui doa dan ibadah kita kepada-Nya. Jika kita menyembah-Nya, hal tersebut bukan karena kita menginginkan sesuatu dari-Nya. Melainkan karena kita hendak bersyukur atas segala kasih dan kebaikan-Nya. Allah mengundang kita untuk hidup dalam relasi yang benar dengan-Nya. Maka bangunlah sikap hati tersebut dalam proses keberagamaan kita masing-masing.