Setiap orang memiliki kebutuhan untuk mengungkapkan apa yang sedang dialami, khususnya ketika sedang mengalami beban, tantangan hidup, dan pergumulan. Entah itu tekanan dari pekerjaan, konflik keluarga, rasa cemas menghadapi masa depan, atau bahkan luka pengkhianatan dari orang terdekat. Akhirnya curahan hati (curhat) menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan. Pada masa kini banyak orang melarikan diri ke media sosial, menuangkan perasaan di ruang publik, berharap mendapat simpati, tetapi justru berakhir pada penghakiman atau kesalahpahaman. Ada pula yang memilih diam, menumpuk luka batin, hingga akhirnya jatuh dalam depresi.
Psikologi modern menyebut curhat sebagai bagian dari catharsis, pelepasan emosi yang menolong seseorang mengurangi tekanan batin. Hal ini tampak sejalan dengan yang dilakukan pemazmur, dalam Mazmur 55. Lebih dari itu, pengalaman pemazmur menunjukkan arah lebih dalam, ia mengalamatkan curhatnya kepada Allah yang sudi menampung keluh kesah tanpa menghakimi. Pemazmur membuka hatinya tanpa sensor, jujur dengan rasa takut, cemas, bahkan keinginannya untuk melarikan diri. Di sini kita belajar, iman bukan berarti menutupi luka dengan senyum palsu, melainkan membawa kegelisahan terdalam ke hadapan Tuhan. Pemazmur memulai dengan empat kali seruan yang mendesak, “Pasanglah telinga, janganlah bersembunyi, perhatikan, jawablah” (ayat 2-3). Intensitas ini menunjukkan keputusasaan yang nyata. Ia merasa ditindas musuh, jantungnya berdebar, tubuhnya gemetar. Ekspresi ini mengingatkan kita bahwa penderitaan dapat berdampak pada tubuh.
Di tengah kepanikan itu, ia berangan-angan bisa terbang jauh ke padang gurun, mencari pondok sunyi yang aman. Inilah gambaran universal manusia: kerinduan melarikan diri dari hiruk-pikuk dan luka kehidupan. Keinginan ini muncul karena pemazmur menyaksikan, betapa kota yang seharusnya jadi tempat aman justru dipenuhi kekerasan dan tipu daya. Lebih menyakitkan lagi, ancaman terbesar yang dihadapinya bukan dari musuh asing, tetapi dari orang terdekat yang mengkhianati. Luka karena dikhianati orang terdekat selalu lebih menyakitkan daripada serangan musuh.
Sahabat Alkitab, dalam dunia yang bising, di mana curhat bisa dengan mudah berubah menjadi konsumsi publik, kita diajak menemukan “padang gurun” rohani (ruang doa pribadi) di mana jiwa dapat bebas menangis dan beristirahat. Berbicara kepada Allah adalah bentuk komunikasi terdalam manusia. Ketika manusia gagal memahami kita, Tuhan tetap menjadi ruang aman yang tidak membocorkan rahasia, tidak mengecilkan penderitaan, dan tidak menjawab dengan sinisme. Ia menerima curahan hati kita sebagai doa. Namun, ini tidak berarti kita mengecilkan peran sesama. Bisa jadi, orang-orang yang hadir di sekitar kita adalah utusan Tuhan, perpanjangan tangan-Nya untuk menolong, menguatkan, dan menyertai kita melewati lembah kehidupan.