Dikecewakan sepertinya menjadi bagian yang tak terelakkan dalam sebuah relasi. Terkadang kekecewaan tersebut datang bukan dari orang asing, tapi justru dari mereka yang sangat dekat dan kita percaya, misalnya teman dekat, sahabat, bahkan saudara. Jika demikian yang terjadi, rasa kecewa ini jauh lebih menyakitkan dibanding serangan dari luar, sebab luka yang datang dari orang terdekat menyentuh ruang terdalam hati kita. Dalam era media sosial, kita juga sering menjumpai pengkhianatan yang muncul dalam bentuk lain: janji yang diingkari, gosip yang disebarkan, atau rahasia yang dibocorkan. Tidak heran bila banyak orang akhirnya hidup dengan hati yang waspada, bahkan tertutup. Mazmur 55 memberi suara bagi pengalaman batin ini.
Pemazmur mengungkapkan kekecewaannya terhadap seorang sahabat yang sangat dekat. Kata yang dipakai dalam ayat 13 berasal dari akar kata ידע (yudda‘: mengenal, mengetahui), menandakan relasi yang intim. Mereka bukan hanya berjalan bersama, tetapi juga beribadah bersama di rumah Allah (ayat 15). Itulah sebabnya pengkhianatan ini terasa sangat menusuk. Namun, pemazmur tidak berhenti pada luka pribadi, ia juga memiliki kerinduan akan keadilan. Menariknya, di tengah situasi emosi yang tidak teratur, pemazmur menemukan keyakinan bahwa Allah mendengar dan menyelamatkan. Doa ini menjadi oasis bagi jiwa yang terguncang. Namun setelah pengakuan iman itu, pemazmur kembali menyinggung sahabat yang menusuk dari belakang (ayat 21-22). Ini menunjukkan betapa luka batin tidak bisa sembuh secara instan. Pada akhirnya, pemazmur berserah, “Serahkanlah kekhawatiranmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau!” (ayat 23).
Kekecewaan mendalam, terutama akibat pengkhianatan, bisa melukai kepercayaan diri dan memicu kecemasan. Menurut teori attachment (kelekatan), luka yang ditimbulkan oleh pihak yang dipercaya memiliki implikasi langsung pada kestabilan rasa aman, sebab kelekatan yang semula menjadi dasar kepercayaan berubah menjadi sumber ancaman. Namun, proses penyembuhan dapat dimulai dengan membuka “ventilasi emosi” atau curhat, seperti yang dilakukan pemazmur dalam doa. Kierkegaard, filsuf eksistensialis, menyebut doa sebagai “komunikasi terdalam manusia dengan Allah,” sebuah ruang aman ketika dunia di sekitar kita gagal memahami.
Sahabat Alkitab, cara menghadapi kekecewaan tidak berarti menutup diri dari dunia, melainkan belajar meletakkan luka kita di tempat yang tepat, yaitu di hadapan Allah. Kita boleh marah, menangis, bahkan mendoakan keadilan, sebab Tuhan tidak alergi pada kejujuran hati kita. Namun, kita juga diajak untuk menyadari bahwa kekecewaan bukan akhir, melainkan jalan menuju pemurnian iman, sebab Tuhan menopang orang benar dan memberi damai di tengah luka. Maka, ketika dikecewakan, jangan biarkan hati kita tertutup. Belajarlah menyerahkan beban itu kepada Tuhan, sambil tetap memberi ruang bagi sesama yang mungkin dipakai-Nya sebagai perpanjangan tangan kasih. Dengan demikian, kekecewaan tidak lagi menjadi belenggu, melainkan kesempatan menemukan kembali arah, kekuatan, dan pengharapan.