Di reruntuhan Bait Suci, debu masih beterbangan, dan suara tangis bercampur dengan keheningan yang nyaris membatu. Umat Israel berdiri di antara puing-puing yang dulu megah, kini tinggal kenangan yang pahit. Mereka tidak hanya kehilangan bangunan, tetapi juga kehilangan arah: bagaimana merayakan Allah bila rumah-Nya runtuh? Bagaimana menyebut-Nya Raja bila musuh menista nama-Nya tanpa balasan? Di titik itu, ratapan menjadi satu-satunya bahasa yang tersisa. Namun ratapan bukan sekadar keluh kesah; ia adalah doa yang jujur, usaha hati manusia untuk tetap menggenggam harapan di tengah kegelapan.
Pemazmur dalam pasal ini tidak berhenti pada nestapa. Setelah menggambarkan rasa tertinggal dan terhina, ia tiba-tiba menoleh ke masa silam. “Namun, Engkau, ya Allah adalah Rajaku dari zaman purbakala” (ayat 12). Kata “namun” itu menjadi jembatan. Ratapan tidak menutup mata dari luka, tetapi ia juga tidak memutus ingatan akan karya Allah. Umat kembali mengingat Allah yang perkasa mengalahkan laut, yang menghancurkan naga dan Lewiatan. Dalam mitologi bangsa-bangsa sekitarnya, kekacauan itu hanya bisa ditaklukkan melalui perang para dewa. Namun Israel menyatakan bahwa hanya Allah yang sejati, yang menaklukkan kekacauan dan dari tangan-Nya lahirlah dunia yang teratur. Ia membuka mata air, mengeringkan sungai, mengatur musim, dan menetapkan sebaga batas bumi. Dengan mengingat karya purbakala itu, umat bukan sekadar bernostalgia. Mereka sedang menanam harapan di tanah retak penderitaan mereka. Jika Allah pernah berdaulat atas chaos kosmik, bukankah Ia sanggup pula menolong umat dari reruntuhan sekarang?
Itulah sebabnya seruan selanjutnya begitu berani, “Ingatlah bagaimana musuh mencela Engkau, ya Tuhan” (ayat 18). Umat menyebut diri mereka seperti merpati rapuh, mereka memohon agar perjanjian tidak dilupakan, agar suara orang tertindas tidak hilang dalam diam, dan akhirnya, dengan nada yang nyaris menegur, mereka berkata “Bangunlah, ya Allah, belalah perkara-Mu!” (ayat 22).
Sahabat Alkitab, ratapan yang diungkapkan pemazmur sangatlah sangat manusiawi. Ratapan adalah dialektika antara absurditas dan iman. Umat berani mempertanyakan Allah, bahkan “membangunkan”-Nya. Namun justru dalam keberanian itu mereka meneguhkan relasi. Mereka sadar, satu-satunya tempat untuk bersandar tetaplah Allah. Ratapan, dengan demikian, bukan tanda hilangnya iman, melainkan cara iman bernafas ketika dunia runtuh.