Dunia hukum selalu menyimpan paradoks. Di satu sisi, hukum ditetapkan untuk melindungi keadilan, menjaga keteraturan, dan menjadi penopang bagi kehidupan bersama. Namun di sisi lain, tak jarang kita melihat hukum dipermainkan oleh mereka yang berkuasa. Hakim yang seharusnya menegakkan kebenaran sering kali tergoda oleh uang, tekanan politik, atau kepentingan pribadi. Akibatnya, keadilan tidak lagi dirasakan sebagai panglima tertinggi, melainkan sebagai barang dagangan. Realitas inilah yang menciptakan luka sosial yang mendalam. Mereka yang lemah semakin tertindas, sedangkan mereka yang kuat semakin semena-mena. Fenomena semacam ini bukan hanya milik zaman modern. Mazmur 75, yang menjadi dasar renungan kita, lahir dari pengalaman umat Israel di tengah situasi serupa: ketika penguasa dan sistem hukum dunia tampak tak berpihak pada kebenaran.
Mazmur 75 membuka refleksinya dengan pengakuan iman bahwa Allah hadir dan berdaulat atas sejarah (ayat 2), sekaligus menegaskan identitas-Nya sebagai Hakim sejati yang menegakkan keadilan pada waktu yang ditentukan-Nya (ayat 3–4). Pernyataan ini memiliki implikasi teologis yang penting: Allah berbeda secara radikal dari hakim-hakim dunia yang dapat dipengaruhi oleh kepentingan atau suap. Sebagai Hakim ilahi, Ia menimbang perbuatan manusia dengan standar keadilan yang mutlak dan tidak memihak. Dalam kerangka historis, teks ini menegaskan iman Israel di tengah realitas bangsa-bangsa lain yang kerap menyembah dewa-dewa dengan karakter arbitrer dan imoral. Dengan demikian, Mazmur 75 mengandung kritik ideologis terhadap praktik pengadilan dunia yang kerap mencerminkan ketidakadilan, sekaligus mengafirmasi keyakinan bahwa ada pengadilan ilahi yang murni dan tak tergoyahkan. Keyakinan inilah yang memberi fondasi spiritual dan politik bagi umat untuk bertahan dalam situasi ketidakpastian sosial-politik. Sejalan dengan itu, filsuf Yunani, Aristoteles, ia menyebut keadilan sebagai virtue of virtues, artinya keutamaan dari segala keutamaan, karena tanpanya kehidupan bersama akan runtuh. Dalam pandangan modern, Immanuel Kant menegaskan bahwa keadilan tak boleh tunduk pada kepentingan apapun, sebab martabat manusia adalah nilai yang tak dapat diperdagangkan. Mazmur 75 seakan berdialog dengan semua gagasan ini: Allah adalah Hakim yang murni, yang tak bisa disogok oleh kuasa atau harta, yang mengadili dengan melihat hati, bukan sekadar bukti formal.
Sahabat Alkitab, di tengah dunia yang sarat dengan manipulasi hukum dan ketidakadilan sosial, Mazmur 75 mengajak kita untuk tidak kehilangan arah. Keyakinan bahwa Allah adalah Hakim yang tak bisa disuap menumbuhkan harapan sekaligus tanggung jawab. Harapan, karena kita percaya bahwa pada akhirnya kebenaran akan ditegakkan oleh Allah sendiri. Tanggung jawab, karena iman kepada Hakim yang adil seharusnya mendorong kita untuk melawan praktik ketidakadilan, menjaga integritas, dan menjadi saksi kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Mazmur 75 tidak hanya menghibur, tetapi juga menantang kita untuk berani hidup adil, meski dunia sering kali tidak demikian.