Salah satu gejala yang kerap dialami manusia modern adalah anxiety—rasa cemas yang terus menghantui, meski segala kebutuhan tampak tercukupi. Kita hidup di era di mana teknologi memberi kenyamanan, akses informasi terbuka lebar, dan pilihan hidup semakin luas. Namun justru di tengah kelimpahan itu, muncul ketidakpuasan yang sulit dijelaskan. Media sosial memperbesar jurang ini, membuat banyak orang merasa hidupnya selalu kurang dibandingkan orang lain. Dalam situasi seperti ini, rasa syukur sering terkikis, digantikan dengan kegelisahan, keluhan, dan tuntutan yang tak ada habisnya.
Fenomena ini mengingatkan pada pengalaman bangsa Israel di padang gurun. Meski telah menyaksikan karya-karya Allah yang besar (laut terbelah, tiang awan dan api, hingga air yang memancar dari bukit batu) mereka tetap merasa kurang dan meragukan kuasa-Nya. Mazmur 78:12–22 merekam pergulatan ini sebagai memori kolektif iman: Allah yang menyelamatkan mereka dari Mesir dan menopang perjalanan di padang gurun seharusnya menjadi dasar syukur dan ketaatan. Namun, alih-alih berterima kasih, mereka justru menantang Allah dengan pertanyaan sinis, “Sanggupkah Allah menata meja hidangan di padang gurun?” (ayat 19). Persoalan terdalam mereka bukanlah kebutuhan yang belum terpenuhi, melainkan hati yang meragukan kesetiaan Allah.
Mazmur ini ditulis sebagai pengajaran bagi generasi penerus agar tidak mengulangi kesalahan leluhur. Allah yang telah bertindak dalam sejarah tidak boleh diragukan kesetiaan-Nya. Ironisnya, bangsa Israel justru menanggapi karya besar Allah dengan sikap tidak percaya. Karena itu, apa yang mereka lakukan bukan sekadar keluhan, tetapi pemberontakan iman, meremehkan kuasa Allah sekaligus meragukan kasih setia-Nya.
Sikap Israel ini selaras dengan kecenderungan psikologis yang kita kenal sebagai negativity bias. Dalam kondisi cemas, manusia lebih mudah mengingat kekurangan daripada kebaikan, sehingga kebaikan Allah yang nyata sering terabaikan. Ketika pikiran terus dipenuhi dengan anxiety, hal-hal kecil yang belum terpenuhi terasa jauh lebih besar daripada kasih karunia yang sudah diberikan. Mazmur ini mengingatkan kita bahwa melupakan karya Allah di masa lalu hanya akan menjerumuskan kita pada lingkaran ketidakpuasan yang tak berujung.
Sahabat Alkitab, melalui mazmur hari ini kita diingatkan agar tidak terjebak pada keraguan yang lahir dari kecemasan dan ketidakpuasan. Hidup beriman bukanlah rangkaian tuntutan agar Allah memenuhi semua keinginan kita, melainkan mempercayai bahwa kasih setia-Nya telah menopang kita, bahkan di padang gurun kehidupan. Ratapan boleh hadir, keluhan pun bisa terucap, tetapi jangan sampai hal itu mengikis keyakinan bahwa Allah sanggup dan setia. Kebahagiaan sejati tidak terletak pada banyaknya hal yang kita miliki, melainkan pada kemampuan untuk mengingat dan mengakui karya Allah yang telah hadir dalam hidup kita.