Setiap manusia pasti pernah merasakan titik tergelap dalam hidupnya, saat segala daya upaya tampak sia-sia, saat kata-kata kehilangan makna, dan satu-satunya yang tersisa hanyalah ratapan. Dalam kondisi seperti itu, doa tidak lagi menjadi kalimat yang indah, melainkan jeritan jiwa yang terlukai. Kita mungkin pernah berada di sana, ketika kehilangan orang yang dikasihi, menghadapi ketidakadilan yang menyesakkan, atau menyaksikan kehancuran yang tak terelakkan. Di ruang inilah Mazmur 79 menyuarakan resonansi terdalam, menghadirkan doa yang bangkit dari reruntuhan sejarah dan luka kemanusiaan.
Mazmur ini berakar pada tragedi kehancuran Yerusalem, yang kemungkinan besar terjadi pada 586 SM ketika bait Allah dihancurkan oleh pasukan Babel. Struktur Mazmur ini memperlihatkan kerapuhan batin umat: diawali dengan deskripsi tentang kehancuran yang menimpa kota dan umat Allah (ayat 1–4), lalu bergeser pada doa yang tidak sepenuhnya teratur, bercampur antara permohonan belas kasih dan seruan keadilan atas musuh (ayat 5–12), dan akhirnya ditutup dengan nada pujian yang tak terduga (ayat 13). Ketidakteraturan ini merefleksikan wajah doa di tengah krisis, doa yang lahir bukan dari susunan retorika yang rapi, melainkan dari kegelisahan eksistensial. Namun, di balik kekacauan itu, pesan utamanya tetap teguh, yaitu permohonan yang dinaikkan bukan demi nama Israel, melainkan demi nama Allah sendiri.
Doa pemazmur menyingkap dinamika batin manusia dalam trauma: pikiran yang melompat-lompat, perasaan terombang-ambing antara putus asa, marah, dan harap. Hal inilah yang membuat Mazmur 79 terasa begitu jujur. Mengingatkan kita bahwa doa sejati bukanlah usaha mengubah Allah sesuai kehendak kita, tetapi sarana bagi Allah untuk membentuk kehendak kita. Maka tak heran, meski ada seruan permohonan keadilan atas musuh, doa ini tetap berpusat pada Allah, bukan pada ego manusia. Kesadaran ini menunjukkan bahwa doa bukanlah pelarian dari penderitaan, melainkan ruang transformasi jiwa.
Sahabat Alkitab, kita pun sering tergoda untuk berdoa hanya demi keselamatan diri atau kelompok kita. Namun Mazmur 79 mengingatkan bahwa doa sejati adalah doa yang menundukkan diri, “Tolonglah kami, ya Allah Penyelamat kami, demi kemuliaan nama-Mu”. Artinya, kita berani menempatkan kepentingan Allah, yaitu keadilan, kasih, dan pemulihan, di atas ego kita. Maka, ketika jiwa kita benar-benar berdoa, doa itu bukan lagi sekadar permintaan pribadi, melainkan ungkapan iman yang menyerahkan seluruh keberadaan hidup kepada kehendak Tuhan.